Trrrttt.. trrrttt..
From : Anya
Subject : Annyeoung!
Ayu nna! Aku sudah selesai.
-Anya-
Ayu tersenyum melihat e-mail dari temannya itu. Ia yakin, Anya sedang dalam masa sulit sekarang. Entah apa yang membuatnya terdengar begitu menyedihkan. Ayu segera membalas e-mail temannya yang berada di seberang negara.
To : Anya-chan
Subject : Re : Annyeong!
Arassou..
-Ayu-
Send..
Ayu segera memencet tombol 5 di ponselnya, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. Terdengar nada sambung untuk panggilan keluarnya itu.
Klik.
“Yoboseyo..” ucap orang di seberang telepon.
“Yaa! Anya nna!!” teriak Ayu. “Ini aku.” Katanya lagi.
“Aku tahu.” Anya terdengar lemah diseberang sana.
“Yaa! Kalau kau terdengar lemas seperti itu, aku tutup teleponnya!” ancam Ayu.
Anya tersedak mendengar ancaman Ayu, dia sedang minum saat itu. “Jangan!!” kata Anya buru-buru.
“Minum suplement lagi?” tebak Ayu.
“Un.” Anya tak bisa berbohong di hadapan Ayu.
Ayu adalah teman kuliah Anya. Satu universitas tapi berbeda jurusan. Anya bahasa Korea, Ayu bahasa Jepang. Tujuan mereka sama, melambung tinggi. Tapi tempat yang mereka tuju berbeda. Seoul dan Tokyo. Keinginan mereka sama, berada disisi orang yang dicintai. Tapi kenyataan berbeda. Anya sedang dilema di Seoul, Ayu sedang kasmaran di Tokyo.
“Baik,” Di telinga Anya, kata ini terdengar seperti kata yang akan melahirkan kata lainnya.
“Kapan kau akan sembuh dari penyakit mundurmu itu? Kapan kau akan melangkah maju? Kapan kau akan berdiri tegak dihadapannya dan bilang suka padanya? Kapan dilema hati mu bisa hilang? Jangan bersimpati dengan pria lain jika tujuanmu sudah jelas!” berondong Ayu.
Anya membuka mulutnya hendak menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Ayu. Tapi ia hanya bisa mengangguk dan berkata, “Iya, maafkan aku..”
“Aku tidak butuh maafmu!” Ayu berkata dengan tegas. Membuat Anya mengeluarkan air matanya.
“Ayu nna, jangan kejam begitu padaku..” kata Anya merengek.
“Aku tidak kejam. Aku hanya mengatakan hal yang ingin ku katakan pada teman ku.” Ayu berkata dengan nada biasa lagi.
“Aku mendengarmu..” kata Ayu lagi. Anya tahu, jika Ayu sudah bicara seperti ini, ia menyuruhnya untuk menumpahkan segala isi hatinya.
“Kau tahu, waktu di Seoul Television aku melihat seorang wanita yang sedang bicara dengan oppa. Mereka terlihat bicara serius. Mereka bicara dalam bahasa inggris. Kau tahu aku sangat benci bahasa itu.” Anya memulai ceritanya.
“Aku sangat tahu. Nilaimu tak lebih dari angka 2.” Komentar Ayu yang disambut wajah cemberut Anya.
“Tidak usah sampai disebutkan seperti itu.” Anya merajuk.
“Iya, iya. Terus?”
“Saat aku mendekat, oppa menarik ku dan memelukku. Saat itu dia juga bicara dengan bahasa inggris. I can, I can’t, entahlah. Aku lupa.” Anya berusaha mengingat tapi benar-benar lupa.
“I can’t! Now, you’ve knew what the reason,” Ayu mengatakannya dengan lancar.
Anya berteriak. “Nah! Itu! Aku dengar kalimat itu!”
“Tidak bisa. Sekarang kau tahu alasannya.” Ayu mengartikan kalimat yang pernah diucapkan Nam kepada Anya.
“Alasan apa?” Anya balik bertanya. “EEEEEHHHHH????!!!” Anya histeris. “Kenapa kau tahu kalimat yang diucapkan oppa?????”
Ayu mendengus geli. “Sudah ku bilang, jangan meremehkan jaringan informasiku.” Kata Ayu dengan suara bangga.
“Kau ini mengerikan.” Anya mencibirnya. Bukannya tersinggung, Ayu meneruskan omongannya.
“Dia hanya memanfaatkan mu waktu itu.” kata Ayu tanpa menyaring kalimatnya.
Anya tertunduk. “Jangan mengatakannya segamblang itu donk.” Kata Anya.
“Aku hanya ingin kau sadar. Itu saja.”
“Mo? Arassou..”
“Aku mendoakan yang terbaik untuk mu.” Kata Ayu tulus.
“Kumawo..”
“Bagaimana dengan Rain oppa?” tanya Ayu lagi.
“Rain ssi, dia,,” Anya terdengar menarik napas panjang dan membuangnya. “Penyakit kanker ada di paru-parunya.” Anya mengatakannya dengan setengah hati.
Ayu tersenyum. “Semuanya akan baik-baik saja.” Kata Ayu. “Dia termasuk tipe orang yang tidak akan mengulangi kesalahannya untuk yang kedua kali jika itu masalah kesehatan yang serius. Aku jamin itu.”
Anya bengong. “Kenapa kau bicara seolah-olah kau mengenalnya dengan baik?” Anya curiga.
“Wah, bukan kah aku sudah bilang, jangan meremehkan jaringan informasiku!” Kata Ayu lagi.
“Informasi lagi?” Anya hampir tak percaya.
Ayu terdengar tertawa renyah. “Hahahahahaha.”
“Jangan tertawa!”
“Dia perokok pasif. Ayahnya perokok aktif. Sejak kecil dia sudah menghirup asap rokok yang dihisap ayahnya. Maka dari itu ia bisa terjangkit penyakit itu. Tapi dia rajin cek kesehatan. Kanker itu terdeteksi sejak dini. Dan dia bisa bertahan sampai sekarang.” Jelas Ayu.
“Wah, kau tahu banyak, ya. Hebat.” Seru Anya kagum.
“Bukan kah itu ada di berita eksklusif tentang Rain 5 tahun lalu?” Ayu mengingatkan ingatan Anya yang kadang lemot.
“Eh? Benarkah?” Anya balik tanya.
“Untung kau tidak ada di sampingku sekarang.” Ayu terdengar benar-benar ingin melempari Anya dengan sesuatu yang berat.
“Hehehehe.” Anya terkekeh.
“Yaa! Ayu nna!”
“Ng?”
“Kumawo.”
“Untuk?”
“Semuanya.”
“Sama-sama.”
“Anya nna!”
“Tte?”
“Saat aku datang ke Seoul nanti, ajak aku jalan-jalan, ya!”
Anya tersenyum. “Tentu saja.”
“Bagus! Kumawo!”
“Hu-uh.”
“Kau sudah merasa baikan?”
“Lumayan..” jawab Anya.
“Jika ada hal yang mengganggu pikiranmu lagi, jangan segan-segan mengirim e-mail pada ku. Jika aku bisa akan kubantu sebisaku.” Ada nada cemas di ucapan Ayu.
“Kau mencemaskan ku?” Anya tertawa senang.
“Akan ku gantung Nam-Gil oppa saat aku tiba disana!” kata Ayu dengan berapi-api.
“Kyaaa! Jangan!!” teriak Anya.
“Aku tutup dulu, Annyeong!”
“Annyeong.”
Klik. Sambungan mati.
Anya menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. “Aku baik-baik saja.” Katanya menenangkan diri.
Tok. Tok. Tok.
Pintu ruangan Direktur Park diketuk pelan oleh Anya, setelah yakin mendengar Direktur Park mengatakan “masuk,” kepadanya, Anya pun masuk dengan agak canggung. Sudah sering ia masuk tapi setelah merasakan atmospher kemarin yang tercipta tanpa sengaja di ruangan ini, mau tidak mau Anya jadi terus memikirkannya.
“Bagaimana?” tanya Direktur Park dengan senyum terkembang.
“Sudah selesai, Direktur Park.” Anya menyerahkan laporannya kepada Direktur Park.
Direktur Park membukanya dan membaca dengan teliti. “Kau benar-benar bisa diandalkan.” Kata Direktur Park tulus.
“Saya buktikan usaha Saya, Direktur.” Anya mengatakannya dengan semangat.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Anya pun keluar dari ruangan Direktur Park. Sebenarnya dengan langkah gontai yang tersisa, dia benar-benar sedang dalam kemelut sekarang.
Seseorang menepuk bahu Anya pelan, membuat Anya terlonjak secara berlebihan.
“Kau baik-baik saja?” tanya Rain yang sudah berada di samping Anya sekarang.
Anya membelalakkan matanya tak percaya. “Rain ssi?”
“Iya?” Rain menyahut sapaan Anya, walaupun sebenarnya terdengar seperti desisan di telinga Rain, tapi Rain yakin, Anya menyebut namanya.
“Aku,, aku,,” Anya merasa kehilangan suaranya. “Aku,,”
“Ikut aku!” Rain menarik tangan Anya tanpa disangka. Sebelum Anya sempat protes dengan penarikan tersebut, Rain berkata, “Ikut saja!”
Mereka berdua tiba di ruang kerja Anya. Anya terlihat bernapas lega sekarang. Rain melepaskan pegangannya di pergelangan tangan Anya saat mereka tiba.
Yang membuat Anya membelalakkan matanya lagi saat memasuki ruangan adalah, ada Nam yang sudah duduk manis di balik meja yang biasanya diduduki oleh Anya saat bekerja.
“Aku sudah menunggu kalian.” Kata Nam dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Eh?” Anya tidak mengerti.
“Aku langsung menangkapnya saat dia berjalan keluar dari tempat Direktur Park.” Rain mengatakannya sambil duduk di sofa dekat jendela.
Anya masih tidak mengerti. Dilihatnya Nam dan juga Rain secara bergantian. Rain, masih menundukkan kepalanya, Nam sibuk dengan pemikirannya karena terlihat ia sedang menatap langit-langit.
“Rain, sebaiknya kau mengatakan sesuatu sekarang.” Kata Nam mengakhiri kesunyian yang tidak biasa di dalam ruangan Anya.
Anya menatap Nam kemudian berpaling ke arah Rain yang tiba-tiba berdiri dan berjalan mendekat ke arah Anya. Anya merasa kakinya sedikit demi sedikit mundur teratur.
“Anya,” suara Rain membuat Anya terpaku di tempatnya. Anya tak bisa mundur lagi. Anya melirik Nam sekilas, Nam masih memandang langit-langit.
Rain mendekat lagi dan berhenti tepat di depan Anya. Jarak mereka kurang lebih 2m sekarang. Rain tampak sedang membawa sesuatu di tangan kirinya, Anya baru menyadari itu sekarang. Kantung belanjaan.
“Coklat mu berserakan kemarin.” Rain mengatakan kalimatnya sambil menggendong kantung belanjaan yang tadi dijinjingnya.
“Eh?” Anya tampak bodoh sekarang, ia hanya mengangguk ragu.
“Arrrrggghhh!! Lupakan itu!” Rain tampak frustasi di depan Anya sekarang. Ia meletakkan kantung belanjaannya ke lantai, kemudian menunduk dalam. “Maafkan aku!” seru Rain.
Anya menatap Rain tak percaya, Nam yang duduk menyaksikan Rain hanya tersenyum pelan.
“Eh?” pikiran Anya masih belum mencerna semua hal yang terjadi sekarang.
Rain putus asa mendengar Anya yang hanya berkata “eh” terus-menerus. Ia menegakkan badannya lagi. “Aku menghindarimu karena aku malu. Tapi semakin aku menghindarimu, aku semakin tersiksa. Aku akhirnya paham, aku tak bisa tak melihatmu. Kau bagian dari Nam, aku juga bagian dari Nam. Kita sama-sama hidup di samping Nam. Aku tak bisa tak menghindarimu.” Rain mengatakan semua hal yang dianggapnya sudah terpendam selama berbulan-bulan. Belum ada tanggapan dari Anya, Rain hampir berteriak saat ini,
“Saya yang seharusnya minta maaf.” Anya mengatakannya dengan suara bergetar. “Tidak seharusnya Saya menunjuk Rain ssi seperti itu. Tidak seharusnya Saya bertindak tidak sopan seperti itu. Saya menyesal. Maafkan saya.” Kali ini giliran Anya yang menunduk dalam di depan Rain, lagi-lagi Nam menampakkan senyumnya.
“Ah! Tidak masalah. Tidak masalah! Jangan dipikirkan lagi.” Rain salah tingkah tidak karuan.
Nam berdiri dari duduknya, bertepuk tangan sekilas, membuat kedua orang yang ada dihadapannya menghentikan acara saling membungkuk mereka, melihat Nam dengan pandangan bertanya.
Nam tersenyum. “Aku ingin kalian berbaikan. Dan kalian sudah berbaikan. Aku senang.” Kata Nam tulus.
“Nam, aku tidak bermaksud untuk..”
“Aku tahu Rain. Aku sangat tahu.”
“Nam-Gil ssi, aku...”
“Anya,” Nam menyebut nama Anya dengan begitu lembut, membuat Anya memandang Nam lagi. “Bukankah sudah ku katakan padamu, panggil aku oppa!” Kata Nam mengingatkan.
“Ta, tapi..” Anya tampak salah tingkah, terbukti wajahnya memerah saat ini.
“Kau juga harus memanggilku Oppa!” seru Rain bersemangat.
“T.. tte??” Anya menatap Rain benar-benar tak menyangka. Bergantian dengan Nam juga sama-sama bingungnya.
Ini sebenarnya ada apa sih??
“Natal terakhirku di Seoul. Aku tak ingin melewatkannya.” Kata Rain tiba-tiba. Walaupun Rain mengatakannya dengan tersenyum, tapi matanya terlihat sedih.
Anya yang sedang mengambil minum di kulkas ruangannya merasa kaku beberapa saat. “Rain, biarkan aku ikut denganmu!” Nam mengatakan keinginannya lagi. Rain menatapnya dari belakang pena yang ada di meja kerja Anya. Nam dan Rain duduk di tempat Anya duduk untuk bekerja.
“Kalau kau ikut aku, bagaimana dengan Anya?” pertanyaan Rain membuat Nam tersadar. Nam kembali menyandarkan punggungnya di punggung kursi.
“Aku tak bisa meninggalkannya.” Ucapan Nam membuat semburat merah di pipi Anya. Anya meletakkan 2 kaleng minuman yang sudah dihangatkan di depan kedua laki-laki yang ada di hadapannya sekarang. Anya memutuskan untuk duduk di dekat Rain.
“Apa yang Rain s..” Anya merasakan tatapan tak bersahabat dari Rain, “Rain oppa maksud dengan natal terakhir?” tanya Anya.
Rain menepuk kepala Anya dengan sayang. “Anak pintar! Anak pintar!” Katanya. “Hollywood memanggilku. Aku harus ada disana awal Januari nanti.” Jawab Rain dengan mudahnya.
“Rain,,”
“Diam Nam!” Rain menghentikan mulut Nam. “3 tahun mungkin cukup untuk ku di sana.” Rain melanjutkan pembicaraannya.
Anya menatap Rain dengan sedih. Kemudian pandangannya beralih ke dada Rain, paru-paru yang ada di dalamnya yang tepat. “Oppa..”
Rain melihat arah mata Anya, segera ia menutupi dadanya dengan cepat. “Anya! Mesum! Jangan lihat-lihat!” kata Rain bermaksud melucu.
“Oppa..” Anya memanggilnya dengan wajah tertunduk.
“Apa sih?” tanya Rain tidak sabar.
“Jangan pergi..” kata Anya lirih.
“Aku tidak kemana-kemana, baby! Aku tetap ada disampingmu..” Rain akan memeluk Anya, tangannya sudah terangkat hendak merengkuh tubuh kecil di depannya, tapi nasib berkata lain. Nam dengan tongkat terangkat ke arah wajah Rain, siap menusuk kapan saja, membuat Rain menurunkan tangannya. Anya tak tahu apa yang terjadi waktu ia menundukkan kepalanya barusan.
“Jangan pergi..” kata Anya lagi.
Rain hanya menepuk-nepuk kepala Anya dengan lembut. “Hanya 3 tahun..” ucapnya menenangkan Anya.
“Apa tidak bisa kurang?” kali ini Nam yang bertanya.
Rain menoleh ke arah Nam, “Ntahlah. Aku tidak tahu. Ada 4 kontrak yang aku terima. Film dan iklan. Untuk iklan mungkin tidak butuh waktu lama, tapi film, itu sangat di luar akal sehat, saudara ku.” Jawab Rain dengan senyum masih terkembang.
“Bukankah 3 tahun itu lama?” tanya Anya sambil menegakkan kepalanya.
“Sebentar kok.” jawab Rain.
“Itu lama, Rain.” Nam mengingatkan tentang arti 3 tahun.
Rain menatap Nam dengan tatapan membunuh. “Sebentar!” Rain bersikeras mengartikan 3 tahun dengan kata sederhana sebentar. “Kau mau merusak moment yang sudah tercipta ini, ya?” Rain merasa dirinya terus diganggu Nam. Moment yang dimaksud disini adalah, Anya yang menjadi tidak rela ditinggalkan oleh Rain.
“Semuanya akan baik-baik saja.” Ucap Rain. Anya tak memperhatikan itu.
=========
“Anya!”
Sapaan itu membuat Anya menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara. “Ada apa Nam-Gil oppa?” tanya Anya saat tahu siapa yang tadi memanggilnya, yang sekarang sedang berlari kecil ke arahnya.
“Kau mau pulang?” tanya Nam.
Anya menganggukkan kepala menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Nam.
“Biar ku antar.” Nam menawarkan diri.
Anya menggeleng menjawab tawaran itu. “Tidak perlu repot. Aku harus mampir ke suatu tempat dulu baru pulang.” Anya menolak dengan halus.
“Kalau begitu, sekalian ku antar sampai tempat tujuanmu.” Nam tidak menyerah.
“Tidak oppa. Kali ini aku harus pergi sendiri.” Anya masih menolak.
Nam melambaikan kain putih tanda menyerah. “Baiklah. Kalau begitu, hati-hati.” Kata Nam berpesan.
“Sudah pasti.” Anya menjawab dengan semangat. “Kalau begitu, sampai jumpa besok, oppa!” Anya mengatakanny sambil berlalu.
Nam mengangguk, “Sampai jumpa.”
=======
Anya masuk ke sebuah minimarket yang tidak begitu jauh dari apartment miliknya. Ia segera menuju ke konter khusus wanita.
“Beli ini tidak mungkin Nam-Gil ssi ikut, kan. Aku bisa malu.” Gerutunya sambil mengambil 3 pack pembalut wanita.
Setelah membayar di kasir, Anya segera keluar dari minimarket tersebut. Anya menghirup udara malam dengan bersemangat. Mengeluarkannya pun secara bersemangat juga. Hampir saja tersedak.
Anya menikmati pemandangan langit malam kota Seoul. Di jelajahinya seluruh sudut tempat yang dilewati Anya. Anya sengaja mengambil arah memutar untuk sampai ke apartment miliknya. Dia ingin jalan-jalan sebentar.
Saat Anya tengah menikmati jalan-jalannya, tak jauh dari tempatnnya berjalan, ia melihat sepasang kekasih sedang berciuman di pinggir jalan. Anya membelalakkan matanya karena terkejut.
“Ap.. apa? Di tengah jalan begini??” batin Anya.
Ia berusaha mengabaikan apa yang dilihatnya tadi. Matanya kembali menyapu semua ruas dan sudut yang bisa tertangkap mata. Dan,, dia melihat orang itu. orang yang tak ingin ditemuinya lagi.
============================
OWARIIIIIII
huah!!!
akhir'a, setelah sekian lama......
chapter yg ini terbit juga..
*nunduk dalam-dalam di depan Anya,
gomen, Nya..
maklum orang sibukk..
hehehehe
tapi tenang,,
pasti ku selesein oq..
buat para pembaca,,
gomen udah nunggu lama..
gomen banget..
saia dalam masa penggalauan nih..
#galau.com
mohon dimaafkan, ea!!
;)
saigo ni,
minna arigatou gozaimashita!!
ah,
kiite,
yume wa taisetsu na koto..
kiseki ga aru n dakara!
akiramenna yo!!
ganbatte!!
Ja ne!
Ayu deshita!
\^o^/