Trrrttt.. trrrttt..
From : Anya
Subject : Annyeoung!
Ayu nna! Aku sudah selesai.
-Anya-
Ayu tersenyum melihat e-mail dari temannya itu. Ia yakin, Anya sedang dalam masa sulit sekarang. Entah apa yang membuatnya terdengar begitu menyedihkan. Ayu segera membalas e-mail temannya yang berada di seberang negara.
To : Anya-chan
Subject : Re : Annyeong!
Arassou..
-Ayu-
Send..
Ayu segera memencet tombol 5 di ponselnya, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. Terdengar nada sambung untuk panggilan keluarnya itu.
Klik.
“Yoboseyo..” ucap orang di seberang telepon.
“Yaa! Anya nna!!” teriak Ayu. “Ini aku.” Katanya lagi.
“Aku tahu.” Anya terdengar lemah diseberang sana.
“Yaa! Kalau kau terdengar lemas seperti itu, aku tutup teleponnya!” ancam Ayu.
Anya tersedak mendengar ancaman Ayu, dia sedang minum saat itu. “Jangan!!” kata Anya buru-buru.
“Minum suplement lagi?” tebak Ayu.
“Un.” Anya tak bisa berbohong di hadapan Ayu.
Ayu adalah teman kuliah Anya. Satu universitas tapi berbeda jurusan. Anya bahasa Korea, Ayu bahasa Jepang. Tujuan mereka sama, melambung tinggi. Tapi tempat yang mereka tuju berbeda. Seoul dan Tokyo. Keinginan mereka sama, berada disisi orang yang dicintai. Tapi kenyataan berbeda. Anya sedang dilema di Seoul, Ayu sedang kasmaran di Tokyo.
“Baik,” Di telinga Anya, kata ini terdengar seperti kata yang akan melahirkan kata lainnya.
“Kapan kau akan sembuh dari penyakit mundurmu itu? Kapan kau akan melangkah maju? Kapan kau akan berdiri tegak dihadapannya dan bilang suka padanya? Kapan dilema hati mu bisa hilang? Jangan bersimpati dengan pria lain jika tujuanmu sudah jelas!” berondong Ayu.
Anya membuka mulutnya hendak menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Ayu. Tapi ia hanya bisa mengangguk dan berkata, “Iya, maafkan aku..”
“Aku tidak butuh maafmu!” Ayu berkata dengan tegas. Membuat Anya mengeluarkan air matanya.
“Ayu nna, jangan kejam begitu padaku..” kata Anya merengek.
“Aku tidak kejam. Aku hanya mengatakan hal yang ingin ku katakan pada teman ku.” Ayu berkata dengan nada biasa lagi.
“Aku mendengarmu..” kata Ayu lagi. Anya tahu, jika Ayu sudah bicara seperti ini, ia menyuruhnya untuk menumpahkan segala isi hatinya.
“Kau tahu, waktu di Seoul Television aku melihat seorang wanita yang sedang bicara dengan oppa. Mereka terlihat bicara serius. Mereka bicara dalam bahasa inggris. Kau tahu aku sangat benci bahasa itu.” Anya memulai ceritanya.
“Aku sangat tahu. Nilaimu tak lebih dari angka 2.” Komentar Ayu yang disambut wajah cemberut Anya.
“Tidak usah sampai disebutkan seperti itu.” Anya merajuk.
“Iya, iya. Terus?”
“Saat aku mendekat, oppa menarik ku dan memelukku. Saat itu dia juga bicara dengan bahasa inggris. I can, I can’t, entahlah. Aku lupa.” Anya berusaha mengingat tapi benar-benar lupa.
“I can’t! Now, you’ve knew what the reason,” Ayu mengatakannya dengan lancar.
Anya berteriak. “Nah! Itu! Aku dengar kalimat itu!”
“Tidak bisa. Sekarang kau tahu alasannya.” Ayu mengartikan kalimat yang pernah diucapkan Nam kepada Anya.
“Alasan apa?” Anya balik bertanya. “EEEEEHHHHH????!!!” Anya histeris. “Kenapa kau tahu kalimat yang diucapkan oppa?????”
Ayu mendengus geli. “Sudah ku bilang, jangan meremehkan jaringan informasiku.” Kata Ayu dengan suara bangga.
“Kau ini mengerikan.” Anya mencibirnya. Bukannya tersinggung, Ayu meneruskan omongannya.
“Dia hanya memanfaatkan mu waktu itu.” kata Ayu tanpa menyaring kalimatnya.
Anya tertunduk. “Jangan mengatakannya segamblang itu donk.” Kata Anya.
“Aku hanya ingin kau sadar. Itu saja.”
“Mo? Arassou..”
“Aku mendoakan yang terbaik untuk mu.” Kata Ayu tulus.
“Kumawo..”
“Bagaimana dengan Rain oppa?” tanya Ayu lagi.
“Rain ssi, dia,,” Anya terdengar menarik napas panjang dan membuangnya. “Penyakit kanker ada di paru-parunya.” Anya mengatakannya dengan setengah hati.
Ayu tersenyum. “Semuanya akan baik-baik saja.” Kata Ayu. “Dia termasuk tipe orang yang tidak akan mengulangi kesalahannya untuk yang kedua kali jika itu masalah kesehatan yang serius. Aku jamin itu.”
Anya bengong. “Kenapa kau bicara seolah-olah kau mengenalnya dengan baik?” Anya curiga.
“Wah, bukan kah aku sudah bilang, jangan meremehkan jaringan informasiku!” Kata Ayu lagi.
“Informasi lagi?” Anya hampir tak percaya.
Ayu terdengar tertawa renyah. “Hahahahahaha.”
“Jangan tertawa!”
“Dia perokok pasif. Ayahnya perokok aktif. Sejak kecil dia sudah menghirup asap rokok yang dihisap ayahnya. Maka dari itu ia bisa terjangkit penyakit itu. Tapi dia rajin cek kesehatan. Kanker itu terdeteksi sejak dini. Dan dia bisa bertahan sampai sekarang.” Jelas Ayu.
“Wah, kau tahu banyak, ya. Hebat.” Seru Anya kagum.
“Bukan kah itu ada di berita eksklusif tentang Rain 5 tahun lalu?” Ayu mengingatkan ingatan Anya yang kadang lemot.
“Eh? Benarkah?” Anya balik tanya.
“Untung kau tidak ada di sampingku sekarang.” Ayu terdengar benar-benar ingin melempari Anya dengan sesuatu yang berat.
“Hehehehe.” Anya terkekeh.
“Yaa! Ayu nna!”
“Ng?”
“Kumawo.”
“Untuk?”
“Semuanya.”
“Sama-sama.”
“Anya nna!”
“Tte?”
“Saat aku datang ke Seoul nanti, ajak aku jalan-jalan, ya!”
Anya tersenyum. “Tentu saja.”
“Bagus! Kumawo!”
“Hu-uh.”
“Kau sudah merasa baikan?”
“Lumayan..” jawab Anya.
“Jika ada hal yang mengganggu pikiranmu lagi, jangan segan-segan mengirim e-mail pada ku. Jika aku bisa akan kubantu sebisaku.” Ada nada cemas di ucapan Ayu.
“Kau mencemaskan ku?” Anya tertawa senang.
“Akan ku gantung Nam-Gil oppa saat aku tiba disana!” kata Ayu dengan berapi-api.
“Kyaaa! Jangan!!” teriak Anya.
“Aku tutup dulu, Annyeong!”
“Annyeong.”
Klik. Sambungan mati.
Anya menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. “Aku baik-baik saja.” Katanya menenangkan diri.
Tok. Tok. Tok.
Pintu ruangan Direktur Park diketuk pelan oleh Anya, setelah yakin mendengar Direktur Park mengatakan “masuk,” kepadanya, Anya pun masuk dengan agak canggung. Sudah sering ia masuk tapi setelah merasakan atmospher kemarin yang tercipta tanpa sengaja di ruangan ini, mau tidak mau Anya jadi terus memikirkannya.
“Bagaimana?” tanya Direktur Park dengan senyum terkembang.
“Sudah selesai, Direktur Park.” Anya menyerahkan laporannya kepada Direktur Park.
Direktur Park membukanya dan membaca dengan teliti. “Kau benar-benar bisa diandalkan.” Kata Direktur Park tulus.
“Saya buktikan usaha Saya, Direktur.” Anya mengatakannya dengan semangat.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Anya pun keluar dari ruangan Direktur Park. Sebenarnya dengan langkah gontai yang tersisa, dia benar-benar sedang dalam kemelut sekarang.
Seseorang menepuk bahu Anya pelan, membuat Anya terlonjak secara berlebihan.
“Kau baik-baik saja?” tanya Rain yang sudah berada di samping Anya sekarang.
Anya membelalakkan matanya tak percaya. “Rain ssi?”
“Iya?” Rain menyahut sapaan Anya, walaupun sebenarnya terdengar seperti desisan di telinga Rain, tapi Rain yakin, Anya menyebut namanya.
“Aku,, aku,,” Anya merasa kehilangan suaranya. “Aku,,”
“Ikut aku!” Rain menarik tangan Anya tanpa disangka. Sebelum Anya sempat protes dengan penarikan tersebut, Rain berkata, “Ikut saja!”
Mereka berdua tiba di ruang kerja Anya. Anya terlihat bernapas lega sekarang. Rain melepaskan pegangannya di pergelangan tangan Anya saat mereka tiba.
Yang membuat Anya membelalakkan matanya lagi saat memasuki ruangan adalah, ada Nam yang sudah duduk manis di balik meja yang biasanya diduduki oleh Anya saat bekerja.
“Aku sudah menunggu kalian.” Kata Nam dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Eh?” Anya tidak mengerti.
“Aku langsung menangkapnya saat dia berjalan keluar dari tempat Direktur Park.” Rain mengatakannya sambil duduk di sofa dekat jendela.
Anya masih tidak mengerti. Dilihatnya Nam dan juga Rain secara bergantian. Rain, masih menundukkan kepalanya, Nam sibuk dengan pemikirannya karena terlihat ia sedang menatap langit-langit.
“Rain, sebaiknya kau mengatakan sesuatu sekarang.” Kata Nam mengakhiri kesunyian yang tidak biasa di dalam ruangan Anya.
Anya menatap Nam kemudian berpaling ke arah Rain yang tiba-tiba berdiri dan berjalan mendekat ke arah Anya. Anya merasa kakinya sedikit demi sedikit mundur teratur.
“Anya,” suara Rain membuat Anya terpaku di tempatnya. Anya tak bisa mundur lagi. Anya melirik Nam sekilas, Nam masih memandang langit-langit.
Rain mendekat lagi dan berhenti tepat di depan Anya. Jarak mereka kurang lebih 2m sekarang. Rain tampak sedang membawa sesuatu di tangan kirinya, Anya baru menyadari itu sekarang. Kantung belanjaan.
“Coklat mu berserakan kemarin.” Rain mengatakan kalimatnya sambil menggendong kantung belanjaan yang tadi dijinjingnya.
“Eh?” Anya tampak bodoh sekarang, ia hanya mengangguk ragu.
“Arrrrggghhh!! Lupakan itu!” Rain tampak frustasi di depan Anya sekarang. Ia meletakkan kantung belanjaannya ke lantai, kemudian menunduk dalam. “Maafkan aku!” seru Rain.
Anya menatap Rain tak percaya, Nam yang duduk menyaksikan Rain hanya tersenyum pelan.
“Eh?” pikiran Anya masih belum mencerna semua hal yang terjadi sekarang.
Rain putus asa mendengar Anya yang hanya berkata “eh” terus-menerus. Ia menegakkan badannya lagi. “Aku menghindarimu karena aku malu. Tapi semakin aku menghindarimu, aku semakin tersiksa. Aku akhirnya paham, aku tak bisa tak melihatmu. Kau bagian dari Nam, aku juga bagian dari Nam. Kita sama-sama hidup di samping Nam. Aku tak bisa tak menghindarimu.” Rain mengatakan semua hal yang dianggapnya sudah terpendam selama berbulan-bulan. Belum ada tanggapan dari Anya, Rain hampir berteriak saat ini,
“Saya yang seharusnya minta maaf.” Anya mengatakannya dengan suara bergetar. “Tidak seharusnya Saya menunjuk Rain ssi seperti itu. Tidak seharusnya Saya bertindak tidak sopan seperti itu. Saya menyesal. Maafkan saya.” Kali ini giliran Anya yang menunduk dalam di depan Rain, lagi-lagi Nam menampakkan senyumnya.
“Ah! Tidak masalah. Tidak masalah! Jangan dipikirkan lagi.” Rain salah tingkah tidak karuan.
Nam berdiri dari duduknya, bertepuk tangan sekilas, membuat kedua orang yang ada dihadapannya menghentikan acara saling membungkuk mereka, melihat Nam dengan pandangan bertanya.
Nam tersenyum. “Aku ingin kalian berbaikan. Dan kalian sudah berbaikan. Aku senang.” Kata Nam tulus.
“Nam, aku tidak bermaksud untuk..”
“Aku tahu Rain. Aku sangat tahu.”
“Nam-Gil ssi, aku...”
“Anya,” Nam menyebut nama Anya dengan begitu lembut, membuat Anya memandang Nam lagi. “Bukankah sudah ku katakan padamu, panggil aku oppa!” Kata Nam mengingatkan.
“Ta, tapi..” Anya tampak salah tingkah, terbukti wajahnya memerah saat ini.
“Kau juga harus memanggilku Oppa!” seru Rain bersemangat.
“T.. tte??” Anya menatap Rain benar-benar tak menyangka. Bergantian dengan Nam juga sama-sama bingungnya.
Ini sebenarnya ada apa sih??
“Natal terakhirku di Seoul. Aku tak ingin melewatkannya.” Kata Rain tiba-tiba. Walaupun Rain mengatakannya dengan tersenyum, tapi matanya terlihat sedih.
Anya yang sedang mengambil minum di kulkas ruangannya merasa kaku beberapa saat. “Rain, biarkan aku ikut denganmu!” Nam mengatakan keinginannya lagi. Rain menatapnya dari belakang pena yang ada di meja kerja Anya. Nam dan Rain duduk di tempat Anya duduk untuk bekerja.
“Kalau kau ikut aku, bagaimana dengan Anya?” pertanyaan Rain membuat Nam tersadar. Nam kembali menyandarkan punggungnya di punggung kursi.
“Aku tak bisa meninggalkannya.” Ucapan Nam membuat semburat merah di pipi Anya. Anya meletakkan 2 kaleng minuman yang sudah dihangatkan di depan kedua laki-laki yang ada di hadapannya sekarang. Anya memutuskan untuk duduk di dekat Rain.
“Apa yang Rain s..” Anya merasakan tatapan tak bersahabat dari Rain, “Rain oppa maksud dengan natal terakhir?” tanya Anya.
Rain menepuk kepala Anya dengan sayang. “Anak pintar! Anak pintar!” Katanya. “Hollywood memanggilku. Aku harus ada disana awal Januari nanti.” Jawab Rain dengan mudahnya.
“Rain,,”
“Diam Nam!” Rain menghentikan mulut Nam. “3 tahun mungkin cukup untuk ku di sana.” Rain melanjutkan pembicaraannya.
Anya menatap Rain dengan sedih. Kemudian pandangannya beralih ke dada Rain, paru-paru yang ada di dalamnya yang tepat. “Oppa..”
Rain melihat arah mata Anya, segera ia menutupi dadanya dengan cepat. “Anya! Mesum! Jangan lihat-lihat!” kata Rain bermaksud melucu.
“Oppa..” Anya memanggilnya dengan wajah tertunduk.
“Apa sih?” tanya Rain tidak sabar.
“Jangan pergi..” kata Anya lirih.
“Aku tidak kemana-kemana, baby! Aku tetap ada disampingmu..” Rain akan memeluk Anya, tangannya sudah terangkat hendak merengkuh tubuh kecil di depannya, tapi nasib berkata lain. Nam dengan tongkat terangkat ke arah wajah Rain, siap menusuk kapan saja, membuat Rain menurunkan tangannya. Anya tak tahu apa yang terjadi waktu ia menundukkan kepalanya barusan.
“Jangan pergi..” kata Anya lagi.
Rain hanya menepuk-nepuk kepala Anya dengan lembut. “Hanya 3 tahun..” ucapnya menenangkan Anya.
“Apa tidak bisa kurang?” kali ini Nam yang bertanya.
Rain menoleh ke arah Nam, “Ntahlah. Aku tidak tahu. Ada 4 kontrak yang aku terima. Film dan iklan. Untuk iklan mungkin tidak butuh waktu lama, tapi film, itu sangat di luar akal sehat, saudara ku.” Jawab Rain dengan senyum masih terkembang.
“Bukankah 3 tahun itu lama?” tanya Anya sambil menegakkan kepalanya.
“Sebentar kok.” jawab Rain.
“Itu lama, Rain.” Nam mengingatkan tentang arti 3 tahun.
Rain menatap Nam dengan tatapan membunuh. “Sebentar!” Rain bersikeras mengartikan 3 tahun dengan kata sederhana sebentar. “Kau mau merusak moment yang sudah tercipta ini, ya?” Rain merasa dirinya terus diganggu Nam. Moment yang dimaksud disini adalah, Anya yang menjadi tidak rela ditinggalkan oleh Rain.
“Semuanya akan baik-baik saja.” Ucap Rain. Anya tak memperhatikan itu.
=========
“Anya!”
Sapaan itu membuat Anya menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara. “Ada apa Nam-Gil oppa?” tanya Anya saat tahu siapa yang tadi memanggilnya, yang sekarang sedang berlari kecil ke arahnya.
“Kau mau pulang?” tanya Nam.
Anya menganggukkan kepala menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Nam.
“Biar ku antar.” Nam menawarkan diri.
Anya menggeleng menjawab tawaran itu. “Tidak perlu repot. Aku harus mampir ke suatu tempat dulu baru pulang.” Anya menolak dengan halus.
“Kalau begitu, sekalian ku antar sampai tempat tujuanmu.” Nam tidak menyerah.
“Tidak oppa. Kali ini aku harus pergi sendiri.” Anya masih menolak.
Nam melambaikan kain putih tanda menyerah. “Baiklah. Kalau begitu, hati-hati.” Kata Nam berpesan.
“Sudah pasti.” Anya menjawab dengan semangat. “Kalau begitu, sampai jumpa besok, oppa!” Anya mengatakanny sambil berlalu.
Nam mengangguk, “Sampai jumpa.”
=======
Anya masuk ke sebuah minimarket yang tidak begitu jauh dari apartment miliknya. Ia segera menuju ke konter khusus wanita.
“Beli ini tidak mungkin Nam-Gil ssi ikut, kan. Aku bisa malu.” Gerutunya sambil mengambil 3 pack pembalut wanita.
Setelah membayar di kasir, Anya segera keluar dari minimarket tersebut. Anya menghirup udara malam dengan bersemangat. Mengeluarkannya pun secara bersemangat juga. Hampir saja tersedak.
Anya menikmati pemandangan langit malam kota Seoul. Di jelajahinya seluruh sudut tempat yang dilewati Anya. Anya sengaja mengambil arah memutar untuk sampai ke apartment miliknya. Dia ingin jalan-jalan sebentar.
Saat Anya tengah menikmati jalan-jalannya, tak jauh dari tempatnnya berjalan, ia melihat sepasang kekasih sedang berciuman di pinggir jalan. Anya membelalakkan matanya karena terkejut.
“Ap.. apa? Di tengah jalan begini??” batin Anya.
Ia berusaha mengabaikan apa yang dilihatnya tadi. Matanya kembali menyapu semua ruas dan sudut yang bisa tertangkap mata. Dan,, dia melihat orang itu. orang yang tak ingin ditemuinya lagi.
============================
OWARIIIIIII
huah!!!
akhir'a, setelah sekian lama......
chapter yg ini terbit juga..
*nunduk dalam-dalam di depan Anya,
gomen, Nya..
maklum orang sibukk..
hehehehe
tapi tenang,,
pasti ku selesein oq..
buat para pembaca,,
gomen udah nunggu lama..
gomen banget..
saia dalam masa penggalauan nih..
#galau.com
mohon dimaafkan, ea!!
;)
saigo ni,
minna arigatou gozaimashita!!
ah,
kiite,
yume wa taisetsu na koto..
kiseki ga aru n dakara!
akiramenna yo!!
ganbatte!!
Ja ne!
Ayu deshita!
\^o^/
Thursday, December 29, 2011
Sunday, October 09, 2011
[fanfic] Oppa, Saranghae yo! (chapter V)
Anya terbangun dari tidurnya. Ia mendapati matanya basah lagi. Ia menangis dalam tidurnya. Anya menegakkan badannya di tempat tidur yang bercover biru muda dengan motif bunga miliknya. Anya duduk lama disana. Merenungkan apa yang baru saja di dengarnya kemarin. Ia heran, kenapa air matanya keluar saat itu? Pertanyaan yang sama berulang-ulang terus di benaknya, sampai ia sendiri bingung menjawabnya.
Saat Anya melirik sekilas ke arah jam beker di samping tempat tidurnya, ia mendesah. Sudah sepagi ini kenapa ia baru bangun? Segera ia turun dari tempat tidur dan merapikannya. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar mandi. Ia patutkan wajahnya di cermin kamar mandi. Seperti zombie. Ia tersenyum lucu.
“Wajah ku parah.” Kata Anya sambil mengusap-usap matanya.
Anya membasuh wajahnya dan menyisir rapi rambutnya. Tak ada waktu untuk mandi. Ia hanya menggosok gigi dan membasuh muka. Itu saja cukup untuk mengawali pagi.
Tinggal ganti baju, semua akan beres.
Setelah mengganti baju tidur dengan setelan jas berwarna orange, Anya segera meraih ponsel sekaligus tumpukan file dan agenda. Setelah yakin dengan penampilannya –berkali-kali Anya mematutkan penampilannya di depan cermin- ia segera keluar dari apartment untuk berangkat ke SA.
Di jalan menuju SA, seperti biasa, ramai akan selebritis-selebritis dan managernya yang sedang terburu-buru masuk ke gedung. Anya tidak seperti biasanya pagi ini. Kerjaannya sangat santai hari ini. Hanya membuat file laporan saja. Duduk diam di meja kerjanya, yang sudah lama tidak dia sentuh karena sibuk dengan pekerjaan luar.
Anya masuk lift dan menuju lantai 2 untuk menyelesaikan tugas di ruangan miliknya.
Tring..
Sampai..
Dengan langkah gontai, Anya keluar dari lift dan menuju ruangan miliknya. Saat hendak membuka pintu ia baru sadar ada yang terlupakan dari tadi malam.
“Dimana coklat-coklat ku?” gumam Anya di depan pintu. Sambil menggigit kuku jari telunjuk kanan, Anya bersikeras mengingatnya. Tapi nihil, semuanya tak ia ingat dengan jelas.
“Hoh, sudahlah.” Kata Anya menyerah pada akhirnya. Ia masuk ruangan dan menutup pintu dibelakangnya.
“Haaaaaaaaaahhhhhhhhh...” ia membuang napas dengan keras. Anya benar-benar lelah sekarang.
Rrrrrrr.... Rrrrrr.....
Ponsel milik Anya bergetar lama. Seketika itu juga, Anya mengaduk-aduk isi tas nya untuk mencari benda berbentuk kotak kecil yang bergetar hebat dari tadi. Ketemu!
Klik.
“Yoboseyo,,” Anya mengangkat ponsel pribadinya yang berwarna putih bersih itu.
“...” tak ada tanggapan dari telepon seberang. Anya mengerutkan keningnya.
“Yoboseyo!” Anya mengulangi mengucapkan ‘halo’ lagi. Tetap tidak ada tanggapan. “Cih, akan saya tutup jika anda tidak ada kepentingan lagi.” Kata Anya kesal. Suara yang ada di seberang terdengar berdehem ria.
“Dame yo! Kore atashi da yo! _ Jangan! Ini aku!” terdengar bahasa jepang yang lancar dari suara di seberang telepon.
“Siapa?” Anya tetap menggunakan bahasa korea untuk bicara dengan orang diseberang telepon.
“Aku. Ayu.” Jawab orang diseberang menggunakan bahasa korea juga.
Anya membelalakkan matanya mendengar orang tadi menyebut namanya. “Tte??”
“Tidak usah terkejut seperti itu.” orang diseberang yang mengaku bernama Ayu terdengar tertawa kecil saat mendengar Anya meneriakkan kata ‘apa’.
“Ayu??” Anya berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.
“Un! Atashi da yo! _ iya! Aku!” kata gadis diseberang dengan nada ceria. “Hisashiburi, genki ka? _ Lama tidak jumpa, baik-baik saja?”
“Ayu nna?” Anya tetap belum yakin.
“Un. Are! Dare ga tte anata o omotta?” masih menggunakan bahasa jepang, Ayu menanyakan ‘memangnya kau pikir siapa?’ kepada Anya.
Anya merasa pipinya terangkat karena ia sedang tersenyum lebar sekarang. “Ayu nna!!” teriaknya.
“Ha?”
“Benarkah ini kau?”
“Un..” Ayu meng-iyakan pertanyaan Anya menggunakan bahasa korea yang masih belum sempurna. “Dou desu ka? Genki? _ Bagaimana? Baik-baik saja?” karena dirasa dia belum fasih mengatakan lafal korea –perbedaan lafal korea dan jepang sangat bisa di dengar, lidah Ayu belum sepenuhnya menerima bahasa yang dicintai oleh Anya, temannya itu.
“Hahahaha, un! Genki da. _ Hahahaha, iya! Baik.” Jawab Anya. Sekarang ia yang menggunakan bahasa jepang.
“Yokatta ne! _ Syukurlah!” terdengar helaan napas lega dari Ayu. Anya tersenyum mendengarnya.
“Aku merindukan mu.” Kata Anya tulus. Terlihat setitik bulir air mata di ujung matanya. Anya merasa lega mendengar suara orang diseberang sana terdengar lagi. Sudah lama ia tak mendengarnya.
“Eh?” suara terkejut Ayu membuat Anya salah tingkah,
“Bukan dalam artian negatif!” Anya buru-buru menambahkan maksud perkataannya.
“Hahahahaha. Arassou..” Ayu menarik napas dengan panjang lalu menghembuskannya dengan pelan. “Yaa, Anya,”
“Ng?”
“Nam-Gil ssi?”
Anya tampak gugup mendengar nama Nam disebut oleh Ayu. “Oppa?” suara Ayu diseberang sana terdengar benar-benar jahil saat mengatakan kata ‘oppa’.
“Yaa!! Ayu nna!!” wajah Anya memerah sekarang. Walaupun Ayu tidak melihat secara langsung, tapi ia yakin wajah temannya itu memerah. “Darimana kau tahu?”
“Wah! Kau meremehkan jaringan informasi ku, ya?” Ayu terdengar tersinggung dengan pertanyaan Anya.
“Itu kan bukan kejadian yang diberitakan di stasiun-stasiun televisi.” Anya mengingat dengan jelas saat ia memanggil Nam dengan sebutan ‘kakak’ di Seoul Television beberapa waktu lalu. Ia yakin dengan jelas, tidak ada kamera saat itu.
Ayu terkekeh. “Jangan-jangan kau ada disana waktu itu?” Anya curiga kepada Ayu yang tengah terkekeh disana.
“JUMP memang ada jadwal tampil di Seoul bulan Mei tahun depan.” Jelas Ayu.
“JUMP?” mata Anya melebar.
“Iya. JUMP.”
“Hey! Say! JUMP??” Anya tampak histeris.
“Jangan berteriak!” Ayu menjauhkan ponselnya saat Anya berteriak tadi. “Iya. Hey! Say! JUMP.” Ayu membenarkan.
“Yuri ku akan datang??” Anya tampak antusias.
“Bukan hanya dia, semuanya akan datang kesana.” Jelas Ayu. “Sudah dijadwalkan untuk bulan Mei semuanya akan ke Seoul. Mereka mengisi acara selama sehari penuh di Seoul.”
“Yuri ku, dia akan datang! Yuri ku! Yuri ku!”
“Hentikan teriakan histerismu itu!” Ayu berusaha menenangkah Anya yang benar-benar histeris sekarang. “Yaa!! Anya nna!!”
“Wae?”
“Jadi, bagaimana dengan Nam-Gil oppa?” kembali ke topik awal.
“Nam-Gil ssi, dia,,” Anya berhenti bicara.
Ayu mendesah, “Haahh, kau belum mengatakan padanya, ya?” tebak Ayu.
Anya mengangguk, tapi segera ia sadar, tak mungkin Ayu melihatnya. Sebagai gantinya ia hanya mengatakan, “Un.” Sebagi jawaban atas tebakan Ayu.
“Kenapa?”
Anya menarik napas dan membuangnya, “Banyak kejadian diluar dugaan selama aku disini.” Kata Anya memberitahu Ayu keadaan yang sedang dialami.
Terdengar Ayu sedang menjatuhkan sesuatu di ujung sana. “Ah, maaf. Aku menyenggol tumpukan buku ku.” Kata Ayu menjelaskan.
“Haaaaahhhhh.....” Anya membuang napas berat.
“Kau seperti orang tua.” Ayu berusaha mencairkan suasana. “Kau ada dimana sekarang?”
“SA.”
“Sedang ada pekerjaan?”
“Sebenarnya akan kerja.”
“Bagus.” Anya menelengkan kepala karena tanggapan Ayu.
“Selesai kerja e-mail aku, ya!” pinta Ayu.
Anya mengangguk. “Arassou..”
“Ada yang datang ke rumah. Aku tutup dulu. Annyeong!”
Klik. Sambungan telepon mati. Anya menatap ponselnya dengan pandangan nanar, kemudian meletakkan ponselnya di meja kerjanya. Sekali lagi ia menarik napas dan membuangnya. Baru ia sadar tentang keahlian Ayu yang baru.
Eh? Dia bicara menggunakan bahasa korea? Sejak kapan ia belajar??
Anya tidak mau larut dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh otaknya sekarang. Ia memutuskan untuk mengerjakan kerjaannya yang harus diberikan kepada Direktur Park untuk diperiksa.
==============
Gadis yang tengah menutup flip ponselnya itu langsung berdiri dari duduknya ketika mendengar suara bel apartmentnya dibunyikan berkali-kali. Ia mengumpat pelan saat tersandung serakan buku-buku di bawah kakinya. Ia baru saja menyenggolnya tadi. Semua buku tebal yang berserakan tak mengurungkan niatnya untuk tetap melangkah.
“Akan kuurus kalian nanti.” Kata gadis itu sambil menunjuk buku-bukunya.
Segera ia keluar dari kamar dan berjalan ke pintu depan apartment. Ia mengintip dari lubang kecil di pintu, melihat siapa yang dari tadi asik memainkan bel apartmentnya. Seseorang yang menutup wajahnya dengan rangkaian bunga yang dibawanya.
“Donata desu ka? _ Siapa?” gadis itu berkata agak keras supaya orang yang di depan apartmentnya mendengar.
“Ore _ Aku.” Jawab orang itu singkat.
Deg. Suara ini??
Segera ia membuka pintu dengan tergesa. Ia mendapati seorang laki-laki yang tingginya 10cm darinya berdiri tegak di hadapannya. Laki-laki itu mengenakan setelan kemeja berwarna putih, sedang tersenyum hangat ke arah gadis itu saat gadis itu memandangnya dengan pandangan heran.
“Doushita? _ Kenapa?” gadis itu masih menatap tamu nya tak percaya.
“Aku dengar dari Manager Yanagi, kau sedang sakit.” Laki-laki itu menjelaskan maksud kedatangannya. Gadis itu masih menatap tak percaya.
Sadar sedang ditatap seperti itu, laki-laki itu tersenyum kemudian menyerahkan karangan bunga mawar merah kepada gadis di depannya. “Uso da! Aitakute na! _ Bohong kok! Aku ingin bertemu denganmu!” katanya.
Gadis itu menyambut bunga yang disodorkan kepadanya. Bingung mau bicara apa, ia hanya tersenyum kikuk. “Arigatou _ Terimakasih.” Katanya lagi. Laki-laki itu tersenyum.
“Kau tidak menyuruhku masuk?”
Gadis itu tertawa, wajahnya merona merah. “Hahahahaha, douzo! _ Hahahahaha, silakan!” katanya sambil membuka lebar pintu.
“Ojamashimasu _ Maaf mengganggu.” Kata laki-laki itu saat memasuki pintu apartment.
“Douzo.” Kata gadis itu lagi.
Laki-laki itu menghirup udara di dalam apartment dengan wajah yang lega. Seperti menghirup udara segar di Bukit Ise, laki-laki itu juga merentangkan tangannya.
“Ne, Ryosuke..” gadis itu memanggil laki-laki di depannya.
Laki-laki yang dipanggil Ryosuke itu menurunkan tangannya dan berbalik ke arah gadis yang berdiri di belakangnya. “Nani? _ Apa?”
Gadis itu menatapnya dengan sungguh-sungguh lalu kemudian menggelengkan kepalanya dan tersenyum. ”Nandemonai _ tidak apa-apa.”
Gadis itu hendak berjalan masuk saat Ryosuke memanggilnya lagi. “Ayu!”
Ayu memutar badannya dan menghadap Ryosuke. “Hai? _ Ya?”
“Suki desu ka? _ Kau menyukainya?”
Ayu menelengkan kepalanya, “Nan no koto? _ Tentang apa?”
“Hana ga. Suki? _ Bunganya. Kau suka?” Ryosuke bertanya dengan wajah cemas.
Ayu mengangguk dan tersenyum. “Un. Suki. Arigatou na!”
“Yokatta!” Helaan napas lega terdengar dari Ryosuke, membuat Ayu tersenyum dibuatnya.
Ayu berjalan ke arah dapur yang berada di dalam. Ryosuke mengikutinya dari belakang. Ryosuke duduk di kursi meja makan, melihat Ayu yang mengenakan celemek dapur berwarna orenji dan meletakkan bunga mawar pemberiannya di vas berwarna senada juga.
Tiap kali Ryosuke main ke tempat Ayu, ia sangat suka berlama-lama di dapur milik Ayu. Tertata rapi dan berwarna orenji. Dapurnya tidak luas, tapi menyenangkan jika dilihat. Sangat nyaman jika berada disini.
Setelah meletakkan vas berisi bunga mawar di tengah meja makan, Ayu mencondongkan badannya ke arah Ryosuke yang sudah merebahkan kepalanya di atas meja makan.
“Nomitai ka? Nani ga ii ka na? _ Kau ingin minum? Mau minum apa?” tanya Ayu.
Tanpa mengangkat kepalanya, Ryosuke bertanya, “Juusu ga aru? _ Apa ada jus?”
Ayu mengangguk. “Un. Orenji wa ii n desu ka? _ Ada. Jus jeruk mau?”
“Ii yo _ Boleh.”
Ayu membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol jus jeruk dari dalam sana. Ryosuke menegakkan kepalanya dan ditopang dengan dagunya, memperhatikan Ayu yang sedang repot di dapur dengan seksama. Tanpa sadar ia tersenyum melihat Ayu sibuk di dapur.
“Andai saja aku bisa melihat mu seperti ini setiap hari.” Gumam Ryosuke.
Ayu menoleh ke arah Ryosuke dengan pandangan bertanya. “Kau mengatakan sesuatu?” tanya Ayu.
Ryosuke merasa tertangkap basah. Ia gelagapan sekarang. “Ah, itu, anu.. aku lapar.” Jawab Ryosuke sekenanya.
Ayu mengangguk. “Yappari na _ sudah kuduga.” Ayu kemudian mengambil panci dan juga membuka kulkas untuk mengambil bahan-bahan masakan. “Akan ku buatkan kau sesuatu. Kau mau makan apa?” tanya Ayu menoleh ke arah Ryosuke.
Ryosuke menopang dagunya dengan tangan kanannya, tersenyum ke arah Ayu yang sedang berdiri memegang panci dan membuka kulkas. “Kau seperti istriku.” Kata Ryosuke kemudian.
Wajah Ayu berubah merah dan dia merasa gugup luar biasa. “Ah, itu.. aku tidak bermaksud untuk..”
“Sup miso.” Ryosuke mengatakannya dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya. “Selama aku di New York, aku tidak menemukan sup miso dimana pun.” Jelasnya.
Ayu mengangguk. “Wakatta _ Aku mengerti.”
Ayu segera mengeluarkan bahan sup miso dari dalam kulkas. Mengolahnya menjadi sup buatannya. Ia juga menggoreng ikan untuk lauk. Nasi sudah ada di dalam magic jar di pojok meja makan.
Hari memang masih pagi. Dan menu sup miso di pagi hari, sangat umum di keluarga yang bertempat tinggal di Negara Matahari Terbit ini. Ayu belajar mati-matian untuk membuat sup miso khas buatan tangan dia sendiri. Dan hasilnya, sangat memuaskan. Ini kali ke-3 Ryosuke sarapan di rumahnya. Saat para JUMP menginap untuk pertama kalinya disini, saat Ryosuke yang tiba-tiba datang ke apartmentnya pagi-pagi sekali –Ryosuke beralasan ia tengah jogging dan melewati apartment Ayu, karena lapar, ia mampir untuk makan. Dan sekarang, setelah perjalanan pulang dari New York untuk shooting video clip terbaru NYC disana.
“Bagaimana perjalanmu?” tanya Ayu sambil menyendok nasi ke dalam mangkuk. “Apa menyenangkan?”
“Sangat melelahkan.” Jawab Ryosuke.
Ayu meletakkan mangkuk beserta nasinya di hadapan Ryosuke yang sudah duduk tegak di kursinya. “Jam berapa kau tiba?”
“25 menit yang lalu.” Ryosuke menjawab sambil menaruh sumpitnya di samping nasi. Ayu sudah meletakkan mangkuk berisi sup miso di depannya juga. Tak lupa lauk ikan goreng buatan Ayu juga. “Aku tiba langsung membeli bunga dan datang kemari.”
Ayu menghentikan kegiatannya dan menatap Ryosuke. “Naze desu ka? _ Kenapa?”
“Naze ga wakannai _ Aku tak tahu kenapa.” Ryosuke menjawab tanpa melihat Ayu yang sedang menatapnya.
“Baka desu ka? _ Kau bodoh ya?” Ayu tetap tak melanjutkan kegiatannya. Sekarang ia benar-benar ingin menarik telinga Ryosuke dari tempatnya tertempel.
Ryosuke sekarang balas menatapnya, tersenyum lalu menggeleng. “Sudah kubilang aku ingin bertemu denganmu, kan?”
Ayu terduduk mendengar jawaban dari mulut Ryosuke. Tak bisa dipungkiri, kedekatannya dengan Ryosuke 6 bulan terakhir ini membuatnya mengerti akan Ryosuke. Perbedaan usia yang terpaut 1 tahun ini yang kadang membuat gusar Ayu. Tapi Ryosuke dengan tatapan ‘masa bohoh’nya mengatakan “Aku tak peduli tanggapan orang tentang perasaan ku pada gadis yang kusukai” kepada Ayu.
Ryosuke mengambil sumpitnya dan memegangnya di depan dada dengan kedua telapak tangan di satukan seperti memegang dupa, bedanya, sumpit di taruh di sela-sela kedua ibu jari dengan horizontal, jika dupa di tengah jari telunjuk membentuk vertikal.
“Itadakimasu _ Selamat makan.” Ucap Ryosuke, lalu menyumpitkan nasi ke mulutnya sendiri, menyesap sup dan memakan ikannya. Ayu memperhatikan cara makan Ryosuke yang benar-benar lahap. Ayu tersenyum melihatnya.
Ayu berdiri dan menuang air hangat ke gelasnya, kemudian duduk lagi untuk menemani Ryosuke di meja makan. “Berapa hari kau tidak makan?” tanya Ayu penasaran saat Ryosuke mengangkat mangkuk nasinya yang sudah kosong, minta tambah lagi.
“Aku selalu makan, kok.” jawab Ryosuke dengan mulut penuh.
Ayu tersenyum dan menyerahkan mangkuk yang sudah berisi nasi pada Ryosuke. “Mite koto dekiru _ Aku bisa melihatnya.”
“Aku tidak se-gembul Dai-chan.” Ryosuke membela diri dan menerima mangkuk yang disodorkan.
“Futari ga onaji yo ne _ Kalian berdua sama saja.” Kata Ayu tersenyum. Ryosuke menatapnya dengan mulut penuh nasi. Ada butir nasi menempel di bibirnya, Ayu tertawa kecil.
“Aku tidak sama dengan Dai-chan.” Ryosuke membela diri. Ayu tertawa sambil mengangguk, lalu berdiri dan mencondongkan badan ke arah Ryosuke. Ryosuke membelalakkan matanya saat Ayu hendak menyentuh bibirnya dengan tangan kanannya.
“Nani?” ucap Ryosuke gugup.
Ayu menghentikan gerakannya saat tangannya hampir menyentuh bibir Ryosuke, menatap Ryosuke dengan tatapan jahil. “Kau pikir apa?” Ayu mengambil butir nasi yang menempel di bibir Ryosuke. “Kalau makan pelan-pelan.” Katanya lagi sambil tersenyum.
Ting.. Tong..
Bel apartment berbunyi lagi.
“Akete kuru ne.. _ Aku buka pintu dulu dan segera kembali.” Kata Ayu sambil berdiri dan berjalan meninggalkan dapur. Ryosuke mengangguk sambil meneruskan sarapannya.
“Donata desu ka?” tanya Ayu saat sampai di pintu depan.
“Ore da yo~~” jawab orang di balik pintu. Suara kecil ini?
Ayu membuka pintu dengan segera. Di dapatinya 2 orang laki-laki dengan postur sedang, yang satu lebih kecil dari laki-laki yang membawa tas kertas belanjaan.
“Yurin, hisashiburi! Dai ohayo!” ucap Ayu dengan senyum terkembang.
“Ojamashimasu~~” ucap Arioka Daiki langsung masuk begitu saja ke dalam. Membuat Ayu melotot ke arahnya.
“Natsukashii~~ _ Kangeeenn~~.” Ucap Chinen Yuri sambil memeluk erat Ayu. Ayu balas memeluknya.
“Atashi mo _ Aku juga.” Kata Ayu tulus. Yuri melepas pelukannya lalu mencium pipi Ayu sekilas. Ayu memebelalakkan matanya, Yuri hanya cengengesan.
Tiba-tiba ada yang menarik tangan Ayu untuk menjauhi Yuri. Yuri memandang orang yang lebih tinggi darinya itu dengan pandangan kesal. Ia juga menarik tangan Ayu yang bebas.
“Hora! Oniisan, hanasete yo! _ Hei! Kak, lepaskan!” kata pemuda yang menarik tangan Ayu dari Yuri.
“Ryuun..” ucap Ayu saat tahu siapa pemuda di sampingnya. Pemuda yang sudah dianggap adik sendiri oleh Ayu, Morimoto Ryuutaro.
“Neechan daijobu? _ Kakak tidak apa-apa?” tanya Ryuutaro. Ayu mengangguk memberi jawaban, Ryuutaro tersenyum.
“Ryuu-chan wa Ayu-chan ni ichiban hanasete yo ne! _ Ryuu yang pertama lepaskan dari Ayu!” Yuri tak mau kalah.
“Iya da yo! _ Tidak mau!” Ryuu bersikeras mempertahankan Ayu di tangannya.
“Hanase! _ Lepaskan!” Yuri menarik Ayu mendekat ke arahnya.
“Iya da!” Ryuutaro tetap bersikeras.
Acara tarik menarik ini membuat Ayu geram. Sakit di tangannya membuat ia menjerit.
“Kyaaaaa~~!!!” teriak Ayu. Baik Yuri maupun Ryuutaro langsung melepaskan tangan mereka dari tangan Ayu yang tadi di pengangnya. Mereka mengangkat kedua tangannya di samping kepala.
“Hora! Omaera! Yamete yo!! _ Hei! Kalian! Hentikan!!” laki-laki yang masuk apartment Ayu bertubuh langsing dan tingginya tembus 170 cm. Ayu mendongak menatapnya.
“Yutti~~!” seru Ayu dan juga Yuri hampir bersamaan. Nakajima Yuto yang dipanggil ‘Yutti’ itu tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya.
“Ohayo!” katanya lagi. Yuri hendak memeluk Yuto saat tubuhnya terhenti karena telinga kanannya sudah ditarik ke atas oleh laki-laki yang tadi ada di belakang Yuto. Telinga Ryuutaro juga tak luput dari penarikan oleh laki-laki yang baru saja masuk lagi.
“Kou-Nii, Yuyan-Nii,” seru Ayu tak percaya mereka berdua ada disana.
“Yo!” ucap Yabu Kouta dan juga Takaki Yuya secara bersamaan. Mereka kemudian melihat anak nakal di depannya –yang telinganya ditarik oleh mereka.
“Itazurakko omaera! _ Dasar anak nakal!” kata Kou-Nii dan juga Yuya-Nii secara bersamaan sambil menarik telinga Yuri dan Ryuutaro ke atas.
“Aaaa, itai, itai, itai, _ Aaaa, sakit, sakit, sakit,” mereka berdua kesakitan.
Ayu tertawa melihatnya, “Hairimashou _ Ayo masuk.” kata Ayu kepada mereka. Semuanya mengangguk dan masuk ke dalam.
Mereka langsung masuk dapur karena di dapur terdengar suara ribut dari mereka.
“Hora! Yama-chan! Kocchi ni iru doushitan da yo na? _ Hei! Yama-chan! Kenapa ada disini?” suara Daiki terdengar jelas sampai tempat Ayu berdiri di pintu depan. Ayu yang mendengarnya tersenyum.
“Asagohan _ Sarapan.” Ryosuke yang merasa digerebek seperti itu hanya menjawab dengan wajah yang sok cool.
“Hontou desu ka?? _ Benarkah??” Daiki tetap tak percaya. Ia meletakkan tas belanjaannya di atas meja dan duduk di samping Ryosuke.
Yuri yang datang lalu menghampiri Ryosuke dan memandangnya dengan jengkel. “Usotsuki! _ Pembohong!” sembur Yuri dan Ryuutaro bersamaan. Ryosuke yang melihat mereka datang hanya menatap mereka dan menyembur balik.
“Urusee yo! _ Berisik!” kata Ryosuke.
“Shinjiranai, _ Tak dapat dipercaya,” kata Yuri. “Kau curang!”
“Ore janai _ Aku tidak.” Bela Ryosuke.
“Kau tidak melakukan apa-apa terhadap kakak ku, kan?” tanya Ryuutaro menatap Ryosuke dengan tatapan menuduh.
Ryosuke melihat Ryuutaro sebal. “Baka yaro! _ Dasar bodoh!” katanya. Ryuutaro menarik napas lega.
“Kalau sekedar menjamahnya aku sudah melakukannya.” Kata Ryosuke tanpa dosa dan terus makan.
Kouta-Nii menyemburkan air yang baru saja diminumnya –ia mengambil air dari kulkas sendiri. Yuya-Nii yang memegang sumpit, sumpitnya terlepas dari genggamannya. Yuto yang hendak duduk di kursi, sukses mendarat di lantai. Yuri dan Daiki secara bersamaan berteriak, “Nandato? _ Apa katamu?” dengan wajah sulit diartikan. Dan Ryuutaro, dia sampai mengeluarkan air mata.
Ryosuke merasa bersalah karena bercandanya keterlaluan. “Uso da.” Katanya lagi, disambut helaan napas lega dari mereka.
Yuto sudah duduk di kursi dengan benar, “Aku lapar.” Katanya.
“Aku dan Yuri baru saja belanja di supermarket.” Daiki ikut meminum jus jeruk jatah Ryosuke. Ryosuke cemberut.
“Ryo-chan, masak sesuatu untuk ku, donk!” Pinta Yuri.
“Tidak mau.” Tolak Ryosuke. Ia meminum jus yang tinggal separuh itu.
“Biar aku yang masak.” Kouta-Nii mengajukan diri. Ia mengambil celemek berwarna merah yang tergantung di dekat kulkas.
“Aku bantu.” Yuya-Nii juga ikut.
Ayu baru saja menutup pintunya dan berjalan kembali menuju dapur saat bel apartmentnya berbunyi lagi. Ia sempat jengkel.
Ayu membuka pintu tanpa bertanya. Ia mendapati 4 orang laki-laki sudah berdiri di depan sekarang. Satu sedang menyentuh bel hendak memencet lagi, tapi kemudian menurunkan tangannya saat tahu orang yang dirumah sudah keluar untuk membuka pintu. Ia tersenyum ke arah Ayu. Satu lagi bertubuh kekar dengan rambut dibuat jabrik, menatap Ayu dengan senyum yang tak mau lepas juga. Dan satu yang dibelakangnya sedang menopang kepala yang lain di bahunya.
“Yunyun.” Ayu menatap orang yang hendak memencet bel tadi. Nakayama Yuma, salah satu personil NYC yang diketuai oleh Ryosuke.
“Hisashiburi..” Yuma mengangkat tangan kanannya menyapa Ayu.
“Un, hisashiburi.” Ayu balas tersenyum ke arahnya.
“Genki ka?” tanya Ayu, Yuma mengangguk memberi jawaban. “Yokatta!”
“Keito-kun!” seru Ayu lagi saat melihat pria jabrik di depannya.
“’Kun’ janai yo! _ Bukan ‘kun’.” Okamoto Keito mengoreksi sapaan Ayu kepadanya. Ayu hanya menampakkan giginya, tersenyum.
Saat ayu melihat dua orang dibelakang Keito, matanya membesar. “Are! Hikka-Nii doshita?”
Tanpa bisa membuka mata, Yaotome Hikaru mengeluarkan suaranya. “Haaaa....” membuat Ayu menelengkan kepalanya.
“Dia lapar.” Sebagai ganti Hikka-Nii, Inoo Kei yang merasa bahunya sakit gara-gara dagu Hikka-Nii menjawab pertanyaan Ayu.
“Aku akan masak sesuatu untuk kalian semua. Masuklah.” Kata Ayu senang.
Kei-Nii dan juga Hikka-Nii masuk duluan. Disusul Yuma yang menyerahkan rangkaian bunga lily putih kepada Ayu.
“Ku harap kau suka.” Kata Yuma.
“Arigatou na,, kirei da ne.. _ Terimakasih,, cantiknya..” seru Ayu saat bunga lily sudah ada di tangannya. Yuma tersenyum dan masuk mengikuti Kei-Nii.
Keito masih ada di depan Ayu sekarang. Membuat Ayu bingung. “Nani?”
“Betsu ni _ Tidak.” Keito menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Memeluk Ayu sekilas dan ikut masuk. Ayu tertawa kecil.
Di dapur semuanya sudah berantakan. Kouta-Nii yang berusaha memasak okonomiyaki, menumpahkan adonannya di atas kompor. Yuya-Nii yang memang tidak bisa berada di dapur, memecahkan 2 butir telur di atas panci berisi air. Yuri ikut membantu, alih-alih memotong brokoli, telunjuk jari kanannya yang terkena irisan pisau. Membuat Ryuutaro panik melihat darah. Yuto yang sifatnya memang pencemas, segera mencari kotak P3K di lemari. Daiki tidak mau repot, ia hanya duduk sambil menopang dagunya dengan telapak tangan kanannya. Ryosuke yang sudah selesai makan sedang mencuci mangkuk bekasnya sambil tertawa keras.
“Anatatachi ga nani yatte no ka na?? _ Apa yang sedang kalian lakukan??” teriak Ayu frustasi melihat dapurnya jadi sedemikian rupa. Semua yang ada di dapur menoleh ke sumber suara.
“Membuat okonomiyaki.” Jawab Kouta-Nii sambil menunjuk adonan okonimyaki di atas kompor.
“Kau sebut itu okonomiyaki?” Ayu membelalakkan matanya melihat adonan gagal di atas kompor.
“Menggoreng telur.” Kata Yuya-Nii saat mata Ayu beralih menatapnya. Mata Ayu membesar lagi.
“Kau merebusnya, bukan menggorengnya!” Ayu menunjuk telur yang sudah mengambang di atas air mendidih.
Yuri memperlihatkan jarinya yang teriris pisau dengan wajah kesakitan kepada Ayu. “Itai..” keluhnya.
“Apa yang bisa kau lakukan tanpa bantuan ku?” Ayu hampir menangis melihat Yuri begitu imut.
“Mencatok rambut aku bisa sendiri.” Jawab Yuri bangga. Ayu hampir melempar wajah bangga itu dengan bunga lily di tangannya, tapi ia urungkan.
“Ryuun! Jangan berlari disini!” Ayu menghentikan langkah Ryuutaro dengan menangkap kerah belakang bajunya.
“Chi ga deru yo _ Darahnya keluar.” Kata Ryuutaro sambil memeluk Ayu.
“Hei, Ryuutaro! Kalau kau tidak melepaskan pelukanmu, kau akan melihat darah keluar dari tubuhmu!” ancam Ryosuke dan Yuri secara bersamaan.
Ryuutaro tak mengindahkan ancaman kedua kakak laki-lakinya itu. Dia terus memeluk Ayu. “Neechan, mereka kejam.” Kata Ryuutaro.
“Daijobu, daijobu.” Ayu menenangkan Ryuutaro sambil menepuk puncak kepalanya dengan tangan yang bebas. Yuri dan Ryosuke geram.
Ayu melihat Yuto panik. “Ada di lemari nomor 4 dari kanan.” Ayu memberitahu Yuto letak kotak P3K.
“Sankyu!” ucap Yuto saat menemukan kotak itu di lemari nomor 4. Segera ia berjalan ke arah Yuri dan mengobati luka Yuri.
Daiki berdiri hendak menghampiri Ayu, tapi Yuma dan Keito sudah menarik lepas Ryuutaro dari Ayu.
“Itu lebih baik.” Kata Daiki sambil duduk kembali. Kei-Nii mendudukkan Hikka-Nii di dekat Daiki duduk, dan dia sendiri juga duduk di sampingnya.
Ayu benar-benar kesal sekarang. Ia berjalan ke arah lemari dan mengambil vas lagi. Kali ini berwarna putih bersih. Ditaruhnya bunga lily pemberian Yuma dalam vas itu, dan menaruhnya di sudut ruangan. Ayu tersenyum puas.
Ayu menghampiri Kouta-Nii dan mengulurkan tangan meminta adonan okonomiyaki yang masih tersisa di tangan Kouta-Nii. Kouta-Nii tanpa bisa mengelak lagi –Ayu menatapnya dengan galak, menyerahkan adonan kepada Ayu. Yuya-Nii yang merasa dirinya juga sedang dipelototi oleh Ayu sekarang, hanya bisa tersenyum bersalah dan mematikan kompor. Yuri sudah memakai celemek merah yang tadi dipakai oleh Kouta-Nii, ia berdiri di samping Ayu sekarang, sambil memegang pisau dan jari telunjuk tangan kanannya sudah terbungkus plester.
Ayu mengangkat alisnya saat menatap mata Yuri. “Aku bisa bantu, kok.” kata Yuri merasa keahlian memasaknya dipertanyakan. Ayu mengangguk.
“Ryosuke apa kau,,” Ayu hendak meminta bantuan Ryosuke,
“Aku tidak mungkin diam melihatmu memasak untuk semua orang yang ada disini sendirian.” Kata Ryosuke sambil meletakkan mangkuk yang tadi dicucinya. “Ada celemek lagi?” tanya Ryosuke kemudian.
Ayu mengangguk, berjalan ke arah lemari dan membukanya. Ia menarik keluar celemek dapur berwarna dan bermotif senada dengan yang dikenakannya sekarang. Ia sempat ragu ingin menyerahkannya atau tidak.
“Anu, kalau kau tidak keberatan,,”
“Tentu saja tidak.” Ucap Ryosuke sambil menarik celemek dari tangan Ayu. “Dengan begini kita benar-benar serasi.” Tambahnya lagi sambil mengenakan celemek di badannya. Wajah Ayu memerah lagi. Yuri memperhatikan.
“Kau curang!” sembur Yuri. Ryosuke yang merasa menang telak hanya terkekeh.
“Niichan, yamete yo!” Ryuutaro mengatakannya dengan sedikit kesal kepada Ryosuke dan juga Yuri.
Ryosuke dan Yuri menatap Ryuutaro. “Anak kecil.” Kata keduanya.
“Siapa yang kecil? Lihat tinggi badan kalian!” Ryuutaro benar-benar tak ingin kalah.
Ryosuke merasa tersinggung dengan kata ‘tinggi badan’. Jujur saja, dia kalah 2 cm dari Ryuutaro tentang tinggi badan. Dan dia menang 3 cm dari Yuri.
“Jika kalian bertengkar disini, aku tidak akan segan-segan mengusir kalian keluar dari sini sekarang juga.” Ancaman Ayu keluar saat ia melihat mata Ryosuke dan Yuri berkilat memandang adik kecilnya. Semuanya tanpa terkecuali menggerang.
“Aku tidak bertemu dengan mu selama seminggu, lho!” Yuma, Ryosuke dan Yuri mengingatkan Ayu secara bersamaan. NYC shooting di New York untuk promo single terbaru selama seminggu. Pagi tadi baru tiba di Jepang. Ayu tak habis pikir, kenapa setelah tiba di Jepang mereka tidak pulang ke rumah masing-masing? Ia takut di demo 11 ibu gara-gara anaknya tidak langsung pulang kerumah.
“Aku tidak mau pulang.” Yuri melipat tangannya di depan dada, cemberut.
“Aku tetap disini.” Yuma menatap Ayu dengan serius.
“Aku tidak bisa meninggalkan mu.” Kata Ryosuke, menatap Ayu dengan mata teduhnya.
“Sudah 3 hari kami tidak melihatmu.” Kouta-Nii mengucapkan kalimat yang membuat Ayu menoleh padanya.
“Eh?” Ayu menelengkan kepalanya. “Sou desu ne..” ucapnya lagi sambil mengangguk-angguk.
Benar saja, selama 3 hari ini Ayu sibuk dengan pekerjaannya di luar JUMP. Hari pertama ia harus menata rambut anggota senior, KAT-TUN, yang sedang tampil di acara musik yang diadakan setiap sebulan sekali di Nichi TV. Hari kedua ia sibuk dengan Jonnhy's Junior. Dan hari ketiga ia membuat laporan, dan sesekali mendengar keluhan para personil Kanjani8 tentang rambut mereka. Dan hari ini ia dibebastugaskan untuk sehari penuh. Libur sehari.
“Asal kau tahu saja, kami rindu padamu.” Kei-Nii mengatakan kalimat yang bisa membuat Ayu mati berdiri. Seorang Kei-Nii mengatakan hal itu???
“Hontou desu ka?” tanya Ayu tak percaya.
Yuto berjalan ke arah Ayu dan menepuk pundaknya pelan. “Sou! _ Benar!” katanya. “Aku juga bantu masak ya?” tanya Yuto yang disambut anggukan kepala Ayu dan Ryosuke. Yuri langsung berhambur memeluk Yutti-nya.
Hikka-Nii dan Yuya-Nii mengacungkan ibu jarinya. “You are the best.” Kata mereka kepada Ayu, yang disambut Ayu dengan senyum terbaiknya.
Keito melihat kedua seniornya dengan tatapan takjub. “You two talked with english? Why you not tell to me if you can to speak with english? I very happy to know if you two can that language. And so...”
“Yemero!” ucap Hikka-Nii frustasi, mengangkat tangannya di depan Keito untuk menghentikan Keito bicara lagi.
“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.” Yuya-Nii menggelengkan kepalanya sambil memeganginya.
Wajah Keito berubah dari tatapan takjub ke keadaan sedih. Ryuutaro menepuk bahunya berusaha menghiburnya. “Sudah, sudah. Jangan sedih.” Ucap Ryuutaro. “Lihat tampang mereka berdua yang menyedihkan itu. Mana mungkin mereka sempat belajar bahasa inggris. Iya kan?”
Keito melihat Ryuutaro dengan pandangan sulit diartikan. “Kau ini kecil tapi mengesalkan, ya!” ucap Daiki sambil melingkarkan tangannya di leher Ryuutaro dari belakang. Ryuutaro terkekeh tertahan.
Ayu benar-benar bahagia melihat mereka. Selama 1 tahun ini dia bersama mereka. Selama 1 tahun ini dia tak hentinya bersyukur. Selama 1 tahun ini adalah waktu yang benar-benar berharga. Selama 1 tahun ini dia merasa sudah dekat dengan semuanya tanpa terkecuali. Selama 1 tahun ini, ia bangga bisa berjuang bersama mereka. Menjadi bagian dari mereka. Dan akan dia jaga sampai kapan pun juga.
“Watashi no koto ga suki desu ka? _ Kalian menyukaiku?” tanya Ayu menghentikan perdebatan mereka.
“Mochiron suki desu! _ Tentu saja suka!” semuanya menjawab secara bersamaan. Membuat Ayu tertawa senang lagi.
“Yokatta.” Ucap Ayu.
“Baiklah, ayo kita masak!!!” seru Ayu yang dijawab semua orang dengan kepalan tangan ke atas dan berteriak “Yooosssshhh!!!”
=======================
OWARIIIIIIIIIIIIIIIII
Kehkehkehkeh
kali ini setting'a tak taro di japan ea..
buat Anya, coir nih,,
tp sblum'a uda q sms kan..
chapter 5 buat q..
hehehe
#PLAKK
Hm,
utk pmberitahuan nih,,
bkal ngadat ampe 1bulan isa..
q suibuk buanget pake sekali..
maklum, dpet krjaan baru.
*gayanya~
tpi bneran lho!
q kan hairstylist yg msti trun tangan.
#PLAKK
hohohohohohoho
Saigo ni,
Minna-san, hontou ni arigatou gozaimasu~~~
yonda dakara, matte dakara, suki dakara,
Ja ne!
Ayu deshita!
\^o^/
Saat Anya melirik sekilas ke arah jam beker di samping tempat tidurnya, ia mendesah. Sudah sepagi ini kenapa ia baru bangun? Segera ia turun dari tempat tidur dan merapikannya. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar mandi. Ia patutkan wajahnya di cermin kamar mandi. Seperti zombie. Ia tersenyum lucu.
“Wajah ku parah.” Kata Anya sambil mengusap-usap matanya.
Anya membasuh wajahnya dan menyisir rapi rambutnya. Tak ada waktu untuk mandi. Ia hanya menggosok gigi dan membasuh muka. Itu saja cukup untuk mengawali pagi.
Tinggal ganti baju, semua akan beres.
Setelah mengganti baju tidur dengan setelan jas berwarna orange, Anya segera meraih ponsel sekaligus tumpukan file dan agenda. Setelah yakin dengan penampilannya –berkali-kali Anya mematutkan penampilannya di depan cermin- ia segera keluar dari apartment untuk berangkat ke SA.
Di jalan menuju SA, seperti biasa, ramai akan selebritis-selebritis dan managernya yang sedang terburu-buru masuk ke gedung. Anya tidak seperti biasanya pagi ini. Kerjaannya sangat santai hari ini. Hanya membuat file laporan saja. Duduk diam di meja kerjanya, yang sudah lama tidak dia sentuh karena sibuk dengan pekerjaan luar.
Anya masuk lift dan menuju lantai 2 untuk menyelesaikan tugas di ruangan miliknya.
Tring..
Sampai..
Dengan langkah gontai, Anya keluar dari lift dan menuju ruangan miliknya. Saat hendak membuka pintu ia baru sadar ada yang terlupakan dari tadi malam.
“Dimana coklat-coklat ku?” gumam Anya di depan pintu. Sambil menggigit kuku jari telunjuk kanan, Anya bersikeras mengingatnya. Tapi nihil, semuanya tak ia ingat dengan jelas.
“Hoh, sudahlah.” Kata Anya menyerah pada akhirnya. Ia masuk ruangan dan menutup pintu dibelakangnya.
“Haaaaaaaaaahhhhhhhhh...” ia membuang napas dengan keras. Anya benar-benar lelah sekarang.
Rrrrrrr.... Rrrrrr.....
Ponsel milik Anya bergetar lama. Seketika itu juga, Anya mengaduk-aduk isi tas nya untuk mencari benda berbentuk kotak kecil yang bergetar hebat dari tadi. Ketemu!
Klik.
“Yoboseyo,,” Anya mengangkat ponsel pribadinya yang berwarna putih bersih itu.
“...” tak ada tanggapan dari telepon seberang. Anya mengerutkan keningnya.
“Yoboseyo!” Anya mengulangi mengucapkan ‘halo’ lagi. Tetap tidak ada tanggapan. “Cih, akan saya tutup jika anda tidak ada kepentingan lagi.” Kata Anya kesal. Suara yang ada di seberang terdengar berdehem ria.
“Dame yo! Kore atashi da yo! _ Jangan! Ini aku!” terdengar bahasa jepang yang lancar dari suara di seberang telepon.
“Siapa?” Anya tetap menggunakan bahasa korea untuk bicara dengan orang diseberang telepon.
“Aku. Ayu.” Jawab orang diseberang menggunakan bahasa korea juga.
Anya membelalakkan matanya mendengar orang tadi menyebut namanya. “Tte??”
“Tidak usah terkejut seperti itu.” orang diseberang yang mengaku bernama Ayu terdengar tertawa kecil saat mendengar Anya meneriakkan kata ‘apa’.
“Ayu??” Anya berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.
“Un! Atashi da yo! _ iya! Aku!” kata gadis diseberang dengan nada ceria. “Hisashiburi, genki ka? _ Lama tidak jumpa, baik-baik saja?”
“Ayu nna?” Anya tetap belum yakin.
“Un. Are! Dare ga tte anata o omotta?” masih menggunakan bahasa jepang, Ayu menanyakan ‘memangnya kau pikir siapa?’ kepada Anya.
Anya merasa pipinya terangkat karena ia sedang tersenyum lebar sekarang. “Ayu nna!!” teriaknya.
“Ha?”
“Benarkah ini kau?”
“Un..” Ayu meng-iyakan pertanyaan Anya menggunakan bahasa korea yang masih belum sempurna. “Dou desu ka? Genki? _ Bagaimana? Baik-baik saja?” karena dirasa dia belum fasih mengatakan lafal korea –perbedaan lafal korea dan jepang sangat bisa di dengar, lidah Ayu belum sepenuhnya menerima bahasa yang dicintai oleh Anya, temannya itu.
“Hahahaha, un! Genki da. _ Hahahaha, iya! Baik.” Jawab Anya. Sekarang ia yang menggunakan bahasa jepang.
“Yokatta ne! _ Syukurlah!” terdengar helaan napas lega dari Ayu. Anya tersenyum mendengarnya.
“Aku merindukan mu.” Kata Anya tulus. Terlihat setitik bulir air mata di ujung matanya. Anya merasa lega mendengar suara orang diseberang sana terdengar lagi. Sudah lama ia tak mendengarnya.
“Eh?” suara terkejut Ayu membuat Anya salah tingkah,
“Bukan dalam artian negatif!” Anya buru-buru menambahkan maksud perkataannya.
“Hahahahaha. Arassou..” Ayu menarik napas dengan panjang lalu menghembuskannya dengan pelan. “Yaa, Anya,”
“Ng?”
“Nam-Gil ssi?”
Anya tampak gugup mendengar nama Nam disebut oleh Ayu. “Oppa?” suara Ayu diseberang sana terdengar benar-benar jahil saat mengatakan kata ‘oppa’.
“Yaa!! Ayu nna!!” wajah Anya memerah sekarang. Walaupun Ayu tidak melihat secara langsung, tapi ia yakin wajah temannya itu memerah. “Darimana kau tahu?”
“Wah! Kau meremehkan jaringan informasi ku, ya?” Ayu terdengar tersinggung dengan pertanyaan Anya.
“Itu kan bukan kejadian yang diberitakan di stasiun-stasiun televisi.” Anya mengingat dengan jelas saat ia memanggil Nam dengan sebutan ‘kakak’ di Seoul Television beberapa waktu lalu. Ia yakin dengan jelas, tidak ada kamera saat itu.
Ayu terkekeh. “Jangan-jangan kau ada disana waktu itu?” Anya curiga kepada Ayu yang tengah terkekeh disana.
“JUMP memang ada jadwal tampil di Seoul bulan Mei tahun depan.” Jelas Ayu.
“JUMP?” mata Anya melebar.
“Iya. JUMP.”
“Hey! Say! JUMP??” Anya tampak histeris.
“Jangan berteriak!” Ayu menjauhkan ponselnya saat Anya berteriak tadi. “Iya. Hey! Say! JUMP.” Ayu membenarkan.
“Yuri ku akan datang??” Anya tampak antusias.
“Bukan hanya dia, semuanya akan datang kesana.” Jelas Ayu. “Sudah dijadwalkan untuk bulan Mei semuanya akan ke Seoul. Mereka mengisi acara selama sehari penuh di Seoul.”
“Yuri ku, dia akan datang! Yuri ku! Yuri ku!”
“Hentikan teriakan histerismu itu!” Ayu berusaha menenangkah Anya yang benar-benar histeris sekarang. “Yaa!! Anya nna!!”
“Wae?”
“Jadi, bagaimana dengan Nam-Gil oppa?” kembali ke topik awal.
“Nam-Gil ssi, dia,,” Anya berhenti bicara.
Ayu mendesah, “Haahh, kau belum mengatakan padanya, ya?” tebak Ayu.
Anya mengangguk, tapi segera ia sadar, tak mungkin Ayu melihatnya. Sebagai gantinya ia hanya mengatakan, “Un.” Sebagi jawaban atas tebakan Ayu.
“Kenapa?”
Anya menarik napas dan membuangnya, “Banyak kejadian diluar dugaan selama aku disini.” Kata Anya memberitahu Ayu keadaan yang sedang dialami.
Terdengar Ayu sedang menjatuhkan sesuatu di ujung sana. “Ah, maaf. Aku menyenggol tumpukan buku ku.” Kata Ayu menjelaskan.
“Haaaaahhhhh.....” Anya membuang napas berat.
“Kau seperti orang tua.” Ayu berusaha mencairkan suasana. “Kau ada dimana sekarang?”
“SA.”
“Sedang ada pekerjaan?”
“Sebenarnya akan kerja.”
“Bagus.” Anya menelengkan kepala karena tanggapan Ayu.
“Selesai kerja e-mail aku, ya!” pinta Ayu.
Anya mengangguk. “Arassou..”
“Ada yang datang ke rumah. Aku tutup dulu. Annyeong!”
Klik. Sambungan telepon mati. Anya menatap ponselnya dengan pandangan nanar, kemudian meletakkan ponselnya di meja kerjanya. Sekali lagi ia menarik napas dan membuangnya. Baru ia sadar tentang keahlian Ayu yang baru.
Eh? Dia bicara menggunakan bahasa korea? Sejak kapan ia belajar??
Anya tidak mau larut dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh otaknya sekarang. Ia memutuskan untuk mengerjakan kerjaannya yang harus diberikan kepada Direktur Park untuk diperiksa.
==============
Gadis yang tengah menutup flip ponselnya itu langsung berdiri dari duduknya ketika mendengar suara bel apartmentnya dibunyikan berkali-kali. Ia mengumpat pelan saat tersandung serakan buku-buku di bawah kakinya. Ia baru saja menyenggolnya tadi. Semua buku tebal yang berserakan tak mengurungkan niatnya untuk tetap melangkah.
“Akan kuurus kalian nanti.” Kata gadis itu sambil menunjuk buku-bukunya.
Segera ia keluar dari kamar dan berjalan ke pintu depan apartment. Ia mengintip dari lubang kecil di pintu, melihat siapa yang dari tadi asik memainkan bel apartmentnya. Seseorang yang menutup wajahnya dengan rangkaian bunga yang dibawanya.
“Donata desu ka? _ Siapa?” gadis itu berkata agak keras supaya orang yang di depan apartmentnya mendengar.
“Ore _ Aku.” Jawab orang itu singkat.
Deg. Suara ini??
Segera ia membuka pintu dengan tergesa. Ia mendapati seorang laki-laki yang tingginya 10cm darinya berdiri tegak di hadapannya. Laki-laki itu mengenakan setelan kemeja berwarna putih, sedang tersenyum hangat ke arah gadis itu saat gadis itu memandangnya dengan pandangan heran.
“Doushita? _ Kenapa?” gadis itu masih menatap tamu nya tak percaya.
“Aku dengar dari Manager Yanagi, kau sedang sakit.” Laki-laki itu menjelaskan maksud kedatangannya. Gadis itu masih menatap tak percaya.
Sadar sedang ditatap seperti itu, laki-laki itu tersenyum kemudian menyerahkan karangan bunga mawar merah kepada gadis di depannya. “Uso da! Aitakute na! _ Bohong kok! Aku ingin bertemu denganmu!” katanya.
Gadis itu menyambut bunga yang disodorkan kepadanya. Bingung mau bicara apa, ia hanya tersenyum kikuk. “Arigatou _ Terimakasih.” Katanya lagi. Laki-laki itu tersenyum.
“Kau tidak menyuruhku masuk?”
Gadis itu tertawa, wajahnya merona merah. “Hahahahaha, douzo! _ Hahahahaha, silakan!” katanya sambil membuka lebar pintu.
“Ojamashimasu _ Maaf mengganggu.” Kata laki-laki itu saat memasuki pintu apartment.
“Douzo.” Kata gadis itu lagi.
Laki-laki itu menghirup udara di dalam apartment dengan wajah yang lega. Seperti menghirup udara segar di Bukit Ise, laki-laki itu juga merentangkan tangannya.
“Ne, Ryosuke..” gadis itu memanggil laki-laki di depannya.
Laki-laki yang dipanggil Ryosuke itu menurunkan tangannya dan berbalik ke arah gadis yang berdiri di belakangnya. “Nani? _ Apa?”
Gadis itu menatapnya dengan sungguh-sungguh lalu kemudian menggelengkan kepalanya dan tersenyum. ”Nandemonai _ tidak apa-apa.”
Gadis itu hendak berjalan masuk saat Ryosuke memanggilnya lagi. “Ayu!”
Ayu memutar badannya dan menghadap Ryosuke. “Hai? _ Ya?”
“Suki desu ka? _ Kau menyukainya?”
Ayu menelengkan kepalanya, “Nan no koto? _ Tentang apa?”
“Hana ga. Suki? _ Bunganya. Kau suka?” Ryosuke bertanya dengan wajah cemas.
Ayu mengangguk dan tersenyum. “Un. Suki. Arigatou na!”
“Yokatta!” Helaan napas lega terdengar dari Ryosuke, membuat Ayu tersenyum dibuatnya.
Ayu berjalan ke arah dapur yang berada di dalam. Ryosuke mengikutinya dari belakang. Ryosuke duduk di kursi meja makan, melihat Ayu yang mengenakan celemek dapur berwarna orenji dan meletakkan bunga mawar pemberiannya di vas berwarna senada juga.
Tiap kali Ryosuke main ke tempat Ayu, ia sangat suka berlama-lama di dapur milik Ayu. Tertata rapi dan berwarna orenji. Dapurnya tidak luas, tapi menyenangkan jika dilihat. Sangat nyaman jika berada disini.
Setelah meletakkan vas berisi bunga mawar di tengah meja makan, Ayu mencondongkan badannya ke arah Ryosuke yang sudah merebahkan kepalanya di atas meja makan.
“Nomitai ka? Nani ga ii ka na? _ Kau ingin minum? Mau minum apa?” tanya Ayu.
Tanpa mengangkat kepalanya, Ryosuke bertanya, “Juusu ga aru? _ Apa ada jus?”
Ayu mengangguk. “Un. Orenji wa ii n desu ka? _ Ada. Jus jeruk mau?”
“Ii yo _ Boleh.”
Ayu membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol jus jeruk dari dalam sana. Ryosuke menegakkan kepalanya dan ditopang dengan dagunya, memperhatikan Ayu yang sedang repot di dapur dengan seksama. Tanpa sadar ia tersenyum melihat Ayu sibuk di dapur.
“Andai saja aku bisa melihat mu seperti ini setiap hari.” Gumam Ryosuke.
Ayu menoleh ke arah Ryosuke dengan pandangan bertanya. “Kau mengatakan sesuatu?” tanya Ayu.
Ryosuke merasa tertangkap basah. Ia gelagapan sekarang. “Ah, itu, anu.. aku lapar.” Jawab Ryosuke sekenanya.
Ayu mengangguk. “Yappari na _ sudah kuduga.” Ayu kemudian mengambil panci dan juga membuka kulkas untuk mengambil bahan-bahan masakan. “Akan ku buatkan kau sesuatu. Kau mau makan apa?” tanya Ayu menoleh ke arah Ryosuke.
Ryosuke menopang dagunya dengan tangan kanannya, tersenyum ke arah Ayu yang sedang berdiri memegang panci dan membuka kulkas. “Kau seperti istriku.” Kata Ryosuke kemudian.
Wajah Ayu berubah merah dan dia merasa gugup luar biasa. “Ah, itu.. aku tidak bermaksud untuk..”
“Sup miso.” Ryosuke mengatakannya dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya. “Selama aku di New York, aku tidak menemukan sup miso dimana pun.” Jelasnya.
Ayu mengangguk. “Wakatta _ Aku mengerti.”
Ayu segera mengeluarkan bahan sup miso dari dalam kulkas. Mengolahnya menjadi sup buatannya. Ia juga menggoreng ikan untuk lauk. Nasi sudah ada di dalam magic jar di pojok meja makan.
Hari memang masih pagi. Dan menu sup miso di pagi hari, sangat umum di keluarga yang bertempat tinggal di Negara Matahari Terbit ini. Ayu belajar mati-matian untuk membuat sup miso khas buatan tangan dia sendiri. Dan hasilnya, sangat memuaskan. Ini kali ke-3 Ryosuke sarapan di rumahnya. Saat para JUMP menginap untuk pertama kalinya disini, saat Ryosuke yang tiba-tiba datang ke apartmentnya pagi-pagi sekali –Ryosuke beralasan ia tengah jogging dan melewati apartment Ayu, karena lapar, ia mampir untuk makan. Dan sekarang, setelah perjalanan pulang dari New York untuk shooting video clip terbaru NYC disana.
“Bagaimana perjalanmu?” tanya Ayu sambil menyendok nasi ke dalam mangkuk. “Apa menyenangkan?”
“Sangat melelahkan.” Jawab Ryosuke.
Ayu meletakkan mangkuk beserta nasinya di hadapan Ryosuke yang sudah duduk tegak di kursinya. “Jam berapa kau tiba?”
“25 menit yang lalu.” Ryosuke menjawab sambil menaruh sumpitnya di samping nasi. Ayu sudah meletakkan mangkuk berisi sup miso di depannya juga. Tak lupa lauk ikan goreng buatan Ayu juga. “Aku tiba langsung membeli bunga dan datang kemari.”
Ayu menghentikan kegiatannya dan menatap Ryosuke. “Naze desu ka? _ Kenapa?”
“Naze ga wakannai _ Aku tak tahu kenapa.” Ryosuke menjawab tanpa melihat Ayu yang sedang menatapnya.
“Baka desu ka? _ Kau bodoh ya?” Ayu tetap tak melanjutkan kegiatannya. Sekarang ia benar-benar ingin menarik telinga Ryosuke dari tempatnya tertempel.
Ryosuke sekarang balas menatapnya, tersenyum lalu menggeleng. “Sudah kubilang aku ingin bertemu denganmu, kan?”
Ayu terduduk mendengar jawaban dari mulut Ryosuke. Tak bisa dipungkiri, kedekatannya dengan Ryosuke 6 bulan terakhir ini membuatnya mengerti akan Ryosuke. Perbedaan usia yang terpaut 1 tahun ini yang kadang membuat gusar Ayu. Tapi Ryosuke dengan tatapan ‘masa bohoh’nya mengatakan “Aku tak peduli tanggapan orang tentang perasaan ku pada gadis yang kusukai” kepada Ayu.
Ryosuke mengambil sumpitnya dan memegangnya di depan dada dengan kedua telapak tangan di satukan seperti memegang dupa, bedanya, sumpit di taruh di sela-sela kedua ibu jari dengan horizontal, jika dupa di tengah jari telunjuk membentuk vertikal.
“Itadakimasu _ Selamat makan.” Ucap Ryosuke, lalu menyumpitkan nasi ke mulutnya sendiri, menyesap sup dan memakan ikannya. Ayu memperhatikan cara makan Ryosuke yang benar-benar lahap. Ayu tersenyum melihatnya.
Ayu berdiri dan menuang air hangat ke gelasnya, kemudian duduk lagi untuk menemani Ryosuke di meja makan. “Berapa hari kau tidak makan?” tanya Ayu penasaran saat Ryosuke mengangkat mangkuk nasinya yang sudah kosong, minta tambah lagi.
“Aku selalu makan, kok.” jawab Ryosuke dengan mulut penuh.
Ayu tersenyum dan menyerahkan mangkuk yang sudah berisi nasi pada Ryosuke. “Mite koto dekiru _ Aku bisa melihatnya.”
“Aku tidak se-gembul Dai-chan.” Ryosuke membela diri dan menerima mangkuk yang disodorkan.
“Futari ga onaji yo ne _ Kalian berdua sama saja.” Kata Ayu tersenyum. Ryosuke menatapnya dengan mulut penuh nasi. Ada butir nasi menempel di bibirnya, Ayu tertawa kecil.
“Aku tidak sama dengan Dai-chan.” Ryosuke membela diri. Ayu tertawa sambil mengangguk, lalu berdiri dan mencondongkan badan ke arah Ryosuke. Ryosuke membelalakkan matanya saat Ayu hendak menyentuh bibirnya dengan tangan kanannya.
“Nani?” ucap Ryosuke gugup.
Ayu menghentikan gerakannya saat tangannya hampir menyentuh bibir Ryosuke, menatap Ryosuke dengan tatapan jahil. “Kau pikir apa?” Ayu mengambil butir nasi yang menempel di bibir Ryosuke. “Kalau makan pelan-pelan.” Katanya lagi sambil tersenyum.
Ting.. Tong..
Bel apartment berbunyi lagi.
“Akete kuru ne.. _ Aku buka pintu dulu dan segera kembali.” Kata Ayu sambil berdiri dan berjalan meninggalkan dapur. Ryosuke mengangguk sambil meneruskan sarapannya.
“Donata desu ka?” tanya Ayu saat sampai di pintu depan.
“Ore da yo~~” jawab orang di balik pintu. Suara kecil ini?
Ayu membuka pintu dengan segera. Di dapatinya 2 orang laki-laki dengan postur sedang, yang satu lebih kecil dari laki-laki yang membawa tas kertas belanjaan.
“Yurin, hisashiburi! Dai ohayo!” ucap Ayu dengan senyum terkembang.
“Ojamashimasu~~” ucap Arioka Daiki langsung masuk begitu saja ke dalam. Membuat Ayu melotot ke arahnya.
“Natsukashii~~ _ Kangeeenn~~.” Ucap Chinen Yuri sambil memeluk erat Ayu. Ayu balas memeluknya.
“Atashi mo _ Aku juga.” Kata Ayu tulus. Yuri melepas pelukannya lalu mencium pipi Ayu sekilas. Ayu memebelalakkan matanya, Yuri hanya cengengesan.
Tiba-tiba ada yang menarik tangan Ayu untuk menjauhi Yuri. Yuri memandang orang yang lebih tinggi darinya itu dengan pandangan kesal. Ia juga menarik tangan Ayu yang bebas.
“Hora! Oniisan, hanasete yo! _ Hei! Kak, lepaskan!” kata pemuda yang menarik tangan Ayu dari Yuri.
“Ryuun..” ucap Ayu saat tahu siapa pemuda di sampingnya. Pemuda yang sudah dianggap adik sendiri oleh Ayu, Morimoto Ryuutaro.
“Neechan daijobu? _ Kakak tidak apa-apa?” tanya Ryuutaro. Ayu mengangguk memberi jawaban, Ryuutaro tersenyum.
“Ryuu-chan wa Ayu-chan ni ichiban hanasete yo ne! _ Ryuu yang pertama lepaskan dari Ayu!” Yuri tak mau kalah.
“Iya da yo! _ Tidak mau!” Ryuu bersikeras mempertahankan Ayu di tangannya.
“Hanase! _ Lepaskan!” Yuri menarik Ayu mendekat ke arahnya.
“Iya da!” Ryuutaro tetap bersikeras.
Acara tarik menarik ini membuat Ayu geram. Sakit di tangannya membuat ia menjerit.
“Kyaaaaa~~!!!” teriak Ayu. Baik Yuri maupun Ryuutaro langsung melepaskan tangan mereka dari tangan Ayu yang tadi di pengangnya. Mereka mengangkat kedua tangannya di samping kepala.
“Hora! Omaera! Yamete yo!! _ Hei! Kalian! Hentikan!!” laki-laki yang masuk apartment Ayu bertubuh langsing dan tingginya tembus 170 cm. Ayu mendongak menatapnya.
“Yutti~~!” seru Ayu dan juga Yuri hampir bersamaan. Nakajima Yuto yang dipanggil ‘Yutti’ itu tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya.
“Ohayo!” katanya lagi. Yuri hendak memeluk Yuto saat tubuhnya terhenti karena telinga kanannya sudah ditarik ke atas oleh laki-laki yang tadi ada di belakang Yuto. Telinga Ryuutaro juga tak luput dari penarikan oleh laki-laki yang baru saja masuk lagi.
“Kou-Nii, Yuyan-Nii,” seru Ayu tak percaya mereka berdua ada disana.
“Yo!” ucap Yabu Kouta dan juga Takaki Yuya secara bersamaan. Mereka kemudian melihat anak nakal di depannya –yang telinganya ditarik oleh mereka.
“Itazurakko omaera! _ Dasar anak nakal!” kata Kou-Nii dan juga Yuya-Nii secara bersamaan sambil menarik telinga Yuri dan Ryuutaro ke atas.
“Aaaa, itai, itai, itai, _ Aaaa, sakit, sakit, sakit,” mereka berdua kesakitan.
Ayu tertawa melihatnya, “Hairimashou _ Ayo masuk.” kata Ayu kepada mereka. Semuanya mengangguk dan masuk ke dalam.
Mereka langsung masuk dapur karena di dapur terdengar suara ribut dari mereka.
“Hora! Yama-chan! Kocchi ni iru doushitan da yo na? _ Hei! Yama-chan! Kenapa ada disini?” suara Daiki terdengar jelas sampai tempat Ayu berdiri di pintu depan. Ayu yang mendengarnya tersenyum.
“Asagohan _ Sarapan.” Ryosuke yang merasa digerebek seperti itu hanya menjawab dengan wajah yang sok cool.
“Hontou desu ka?? _ Benarkah??” Daiki tetap tak percaya. Ia meletakkan tas belanjaannya di atas meja dan duduk di samping Ryosuke.
Yuri yang datang lalu menghampiri Ryosuke dan memandangnya dengan jengkel. “Usotsuki! _ Pembohong!” sembur Yuri dan Ryuutaro bersamaan. Ryosuke yang melihat mereka datang hanya menatap mereka dan menyembur balik.
“Urusee yo! _ Berisik!” kata Ryosuke.
“Shinjiranai, _ Tak dapat dipercaya,” kata Yuri. “Kau curang!”
“Ore janai _ Aku tidak.” Bela Ryosuke.
“Kau tidak melakukan apa-apa terhadap kakak ku, kan?” tanya Ryuutaro menatap Ryosuke dengan tatapan menuduh.
Ryosuke melihat Ryuutaro sebal. “Baka yaro! _ Dasar bodoh!” katanya. Ryuutaro menarik napas lega.
“Kalau sekedar menjamahnya aku sudah melakukannya.” Kata Ryosuke tanpa dosa dan terus makan.
Kouta-Nii menyemburkan air yang baru saja diminumnya –ia mengambil air dari kulkas sendiri. Yuya-Nii yang memegang sumpit, sumpitnya terlepas dari genggamannya. Yuto yang hendak duduk di kursi, sukses mendarat di lantai. Yuri dan Daiki secara bersamaan berteriak, “Nandato? _ Apa katamu?” dengan wajah sulit diartikan. Dan Ryuutaro, dia sampai mengeluarkan air mata.
Ryosuke merasa bersalah karena bercandanya keterlaluan. “Uso da.” Katanya lagi, disambut helaan napas lega dari mereka.
Yuto sudah duduk di kursi dengan benar, “Aku lapar.” Katanya.
“Aku dan Yuri baru saja belanja di supermarket.” Daiki ikut meminum jus jeruk jatah Ryosuke. Ryosuke cemberut.
“Ryo-chan, masak sesuatu untuk ku, donk!” Pinta Yuri.
“Tidak mau.” Tolak Ryosuke. Ia meminum jus yang tinggal separuh itu.
“Biar aku yang masak.” Kouta-Nii mengajukan diri. Ia mengambil celemek berwarna merah yang tergantung di dekat kulkas.
“Aku bantu.” Yuya-Nii juga ikut.
Ayu baru saja menutup pintunya dan berjalan kembali menuju dapur saat bel apartmentnya berbunyi lagi. Ia sempat jengkel.
Ayu membuka pintu tanpa bertanya. Ia mendapati 4 orang laki-laki sudah berdiri di depan sekarang. Satu sedang menyentuh bel hendak memencet lagi, tapi kemudian menurunkan tangannya saat tahu orang yang dirumah sudah keluar untuk membuka pintu. Ia tersenyum ke arah Ayu. Satu lagi bertubuh kekar dengan rambut dibuat jabrik, menatap Ayu dengan senyum yang tak mau lepas juga. Dan satu yang dibelakangnya sedang menopang kepala yang lain di bahunya.
“Yunyun.” Ayu menatap orang yang hendak memencet bel tadi. Nakayama Yuma, salah satu personil NYC yang diketuai oleh Ryosuke.
“Hisashiburi..” Yuma mengangkat tangan kanannya menyapa Ayu.
“Un, hisashiburi.” Ayu balas tersenyum ke arahnya.
“Genki ka?” tanya Ayu, Yuma mengangguk memberi jawaban. “Yokatta!”
“Keito-kun!” seru Ayu lagi saat melihat pria jabrik di depannya.
“’Kun’ janai yo! _ Bukan ‘kun’.” Okamoto Keito mengoreksi sapaan Ayu kepadanya. Ayu hanya menampakkan giginya, tersenyum.
Saat ayu melihat dua orang dibelakang Keito, matanya membesar. “Are! Hikka-Nii doshita?”
Tanpa bisa membuka mata, Yaotome Hikaru mengeluarkan suaranya. “Haaaa....” membuat Ayu menelengkan kepalanya.
“Dia lapar.” Sebagai ganti Hikka-Nii, Inoo Kei yang merasa bahunya sakit gara-gara dagu Hikka-Nii menjawab pertanyaan Ayu.
“Aku akan masak sesuatu untuk kalian semua. Masuklah.” Kata Ayu senang.
Kei-Nii dan juga Hikka-Nii masuk duluan. Disusul Yuma yang menyerahkan rangkaian bunga lily putih kepada Ayu.
“Ku harap kau suka.” Kata Yuma.
“Arigatou na,, kirei da ne.. _ Terimakasih,, cantiknya..” seru Ayu saat bunga lily sudah ada di tangannya. Yuma tersenyum dan masuk mengikuti Kei-Nii.
Keito masih ada di depan Ayu sekarang. Membuat Ayu bingung. “Nani?”
“Betsu ni _ Tidak.” Keito menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Memeluk Ayu sekilas dan ikut masuk. Ayu tertawa kecil.
Di dapur semuanya sudah berantakan. Kouta-Nii yang berusaha memasak okonomiyaki, menumpahkan adonannya di atas kompor. Yuya-Nii yang memang tidak bisa berada di dapur, memecahkan 2 butir telur di atas panci berisi air. Yuri ikut membantu, alih-alih memotong brokoli, telunjuk jari kanannya yang terkena irisan pisau. Membuat Ryuutaro panik melihat darah. Yuto yang sifatnya memang pencemas, segera mencari kotak P3K di lemari. Daiki tidak mau repot, ia hanya duduk sambil menopang dagunya dengan telapak tangan kanannya. Ryosuke yang sudah selesai makan sedang mencuci mangkuk bekasnya sambil tertawa keras.
“Anatatachi ga nani yatte no ka na?? _ Apa yang sedang kalian lakukan??” teriak Ayu frustasi melihat dapurnya jadi sedemikian rupa. Semua yang ada di dapur menoleh ke sumber suara.
“Membuat okonomiyaki.” Jawab Kouta-Nii sambil menunjuk adonan okonimyaki di atas kompor.
“Kau sebut itu okonomiyaki?” Ayu membelalakkan matanya melihat adonan gagal di atas kompor.
“Menggoreng telur.” Kata Yuya-Nii saat mata Ayu beralih menatapnya. Mata Ayu membesar lagi.
“Kau merebusnya, bukan menggorengnya!” Ayu menunjuk telur yang sudah mengambang di atas air mendidih.
Yuri memperlihatkan jarinya yang teriris pisau dengan wajah kesakitan kepada Ayu. “Itai..” keluhnya.
“Apa yang bisa kau lakukan tanpa bantuan ku?” Ayu hampir menangis melihat Yuri begitu imut.
“Mencatok rambut aku bisa sendiri.” Jawab Yuri bangga. Ayu hampir melempar wajah bangga itu dengan bunga lily di tangannya, tapi ia urungkan.
“Ryuun! Jangan berlari disini!” Ayu menghentikan langkah Ryuutaro dengan menangkap kerah belakang bajunya.
“Chi ga deru yo _ Darahnya keluar.” Kata Ryuutaro sambil memeluk Ayu.
“Hei, Ryuutaro! Kalau kau tidak melepaskan pelukanmu, kau akan melihat darah keluar dari tubuhmu!” ancam Ryosuke dan Yuri secara bersamaan.
Ryuutaro tak mengindahkan ancaman kedua kakak laki-lakinya itu. Dia terus memeluk Ayu. “Neechan, mereka kejam.” Kata Ryuutaro.
“Daijobu, daijobu.” Ayu menenangkan Ryuutaro sambil menepuk puncak kepalanya dengan tangan yang bebas. Yuri dan Ryosuke geram.
Ayu melihat Yuto panik. “Ada di lemari nomor 4 dari kanan.” Ayu memberitahu Yuto letak kotak P3K.
“Sankyu!” ucap Yuto saat menemukan kotak itu di lemari nomor 4. Segera ia berjalan ke arah Yuri dan mengobati luka Yuri.
Daiki berdiri hendak menghampiri Ayu, tapi Yuma dan Keito sudah menarik lepas Ryuutaro dari Ayu.
“Itu lebih baik.” Kata Daiki sambil duduk kembali. Kei-Nii mendudukkan Hikka-Nii di dekat Daiki duduk, dan dia sendiri juga duduk di sampingnya.
Ayu benar-benar kesal sekarang. Ia berjalan ke arah lemari dan mengambil vas lagi. Kali ini berwarna putih bersih. Ditaruhnya bunga lily pemberian Yuma dalam vas itu, dan menaruhnya di sudut ruangan. Ayu tersenyum puas.
Ayu menghampiri Kouta-Nii dan mengulurkan tangan meminta adonan okonomiyaki yang masih tersisa di tangan Kouta-Nii. Kouta-Nii tanpa bisa mengelak lagi –Ayu menatapnya dengan galak, menyerahkan adonan kepada Ayu. Yuya-Nii yang merasa dirinya juga sedang dipelototi oleh Ayu sekarang, hanya bisa tersenyum bersalah dan mematikan kompor. Yuri sudah memakai celemek merah yang tadi dipakai oleh Kouta-Nii, ia berdiri di samping Ayu sekarang, sambil memegang pisau dan jari telunjuk tangan kanannya sudah terbungkus plester.
Ayu mengangkat alisnya saat menatap mata Yuri. “Aku bisa bantu, kok.” kata Yuri merasa keahlian memasaknya dipertanyakan. Ayu mengangguk.
“Ryosuke apa kau,,” Ayu hendak meminta bantuan Ryosuke,
“Aku tidak mungkin diam melihatmu memasak untuk semua orang yang ada disini sendirian.” Kata Ryosuke sambil meletakkan mangkuk yang tadi dicucinya. “Ada celemek lagi?” tanya Ryosuke kemudian.
Ayu mengangguk, berjalan ke arah lemari dan membukanya. Ia menarik keluar celemek dapur berwarna dan bermotif senada dengan yang dikenakannya sekarang. Ia sempat ragu ingin menyerahkannya atau tidak.
“Anu, kalau kau tidak keberatan,,”
“Tentu saja tidak.” Ucap Ryosuke sambil menarik celemek dari tangan Ayu. “Dengan begini kita benar-benar serasi.” Tambahnya lagi sambil mengenakan celemek di badannya. Wajah Ayu memerah lagi. Yuri memperhatikan.
“Kau curang!” sembur Yuri. Ryosuke yang merasa menang telak hanya terkekeh.
“Niichan, yamete yo!” Ryuutaro mengatakannya dengan sedikit kesal kepada Ryosuke dan juga Yuri.
Ryosuke dan Yuri menatap Ryuutaro. “Anak kecil.” Kata keduanya.
“Siapa yang kecil? Lihat tinggi badan kalian!” Ryuutaro benar-benar tak ingin kalah.
Ryosuke merasa tersinggung dengan kata ‘tinggi badan’. Jujur saja, dia kalah 2 cm dari Ryuutaro tentang tinggi badan. Dan dia menang 3 cm dari Yuri.
“Jika kalian bertengkar disini, aku tidak akan segan-segan mengusir kalian keluar dari sini sekarang juga.” Ancaman Ayu keluar saat ia melihat mata Ryosuke dan Yuri berkilat memandang adik kecilnya. Semuanya tanpa terkecuali menggerang.
“Aku tidak bertemu dengan mu selama seminggu, lho!” Yuma, Ryosuke dan Yuri mengingatkan Ayu secara bersamaan. NYC shooting di New York untuk promo single terbaru selama seminggu. Pagi tadi baru tiba di Jepang. Ayu tak habis pikir, kenapa setelah tiba di Jepang mereka tidak pulang ke rumah masing-masing? Ia takut di demo 11 ibu gara-gara anaknya tidak langsung pulang kerumah.
“Aku tidak mau pulang.” Yuri melipat tangannya di depan dada, cemberut.
“Aku tetap disini.” Yuma menatap Ayu dengan serius.
“Aku tidak bisa meninggalkan mu.” Kata Ryosuke, menatap Ayu dengan mata teduhnya.
“Sudah 3 hari kami tidak melihatmu.” Kouta-Nii mengucapkan kalimat yang membuat Ayu menoleh padanya.
“Eh?” Ayu menelengkan kepalanya. “Sou desu ne..” ucapnya lagi sambil mengangguk-angguk.
Benar saja, selama 3 hari ini Ayu sibuk dengan pekerjaannya di luar JUMP. Hari pertama ia harus menata rambut anggota senior, KAT-TUN, yang sedang tampil di acara musik yang diadakan setiap sebulan sekali di Nichi TV. Hari kedua ia sibuk dengan Jonnhy's Junior. Dan hari ketiga ia membuat laporan, dan sesekali mendengar keluhan para personil Kanjani8 tentang rambut mereka. Dan hari ini ia dibebastugaskan untuk sehari penuh. Libur sehari.
“Asal kau tahu saja, kami rindu padamu.” Kei-Nii mengatakan kalimat yang bisa membuat Ayu mati berdiri. Seorang Kei-Nii mengatakan hal itu???
“Hontou desu ka?” tanya Ayu tak percaya.
Yuto berjalan ke arah Ayu dan menepuk pundaknya pelan. “Sou! _ Benar!” katanya. “Aku juga bantu masak ya?” tanya Yuto yang disambut anggukan kepala Ayu dan Ryosuke. Yuri langsung berhambur memeluk Yutti-nya.
Hikka-Nii dan Yuya-Nii mengacungkan ibu jarinya. “You are the best.” Kata mereka kepada Ayu, yang disambut Ayu dengan senyum terbaiknya.
Keito melihat kedua seniornya dengan tatapan takjub. “You two talked with english? Why you not tell to me if you can to speak with english? I very happy to know if you two can that language. And so...”
“Yemero!” ucap Hikka-Nii frustasi, mengangkat tangannya di depan Keito untuk menghentikan Keito bicara lagi.
“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.” Yuya-Nii menggelengkan kepalanya sambil memeganginya.
Wajah Keito berubah dari tatapan takjub ke keadaan sedih. Ryuutaro menepuk bahunya berusaha menghiburnya. “Sudah, sudah. Jangan sedih.” Ucap Ryuutaro. “Lihat tampang mereka berdua yang menyedihkan itu. Mana mungkin mereka sempat belajar bahasa inggris. Iya kan?”
Keito melihat Ryuutaro dengan pandangan sulit diartikan. “Kau ini kecil tapi mengesalkan, ya!” ucap Daiki sambil melingkarkan tangannya di leher Ryuutaro dari belakang. Ryuutaro terkekeh tertahan.
Ayu benar-benar bahagia melihat mereka. Selama 1 tahun ini dia bersama mereka. Selama 1 tahun ini dia tak hentinya bersyukur. Selama 1 tahun ini adalah waktu yang benar-benar berharga. Selama 1 tahun ini dia merasa sudah dekat dengan semuanya tanpa terkecuali. Selama 1 tahun ini, ia bangga bisa berjuang bersama mereka. Menjadi bagian dari mereka. Dan akan dia jaga sampai kapan pun juga.
“Watashi no koto ga suki desu ka? _ Kalian menyukaiku?” tanya Ayu menghentikan perdebatan mereka.
“Mochiron suki desu! _ Tentu saja suka!” semuanya menjawab secara bersamaan. Membuat Ayu tertawa senang lagi.
“Yokatta.” Ucap Ayu.
“Baiklah, ayo kita masak!!!” seru Ayu yang dijawab semua orang dengan kepalan tangan ke atas dan berteriak “Yooosssshhh!!!”
=======================
OWARIIIIIIIIIIIIIIIII
Kehkehkehkeh
kali ini setting'a tak taro di japan ea..
buat Anya, coir nih,,
tp sblum'a uda q sms kan..
chapter 5 buat q..
hehehe
#PLAKK
Hm,
utk pmberitahuan nih,,
bkal ngadat ampe 1bulan isa..
q suibuk buanget pake sekali..
maklum, dpet krjaan baru.
*gayanya~
tpi bneran lho!
q kan hairstylist yg msti trun tangan.
#PLAKK
hohohohohohoho
Saigo ni,
Minna-san, hontou ni arigatou gozaimasu~~~
yonda dakara, matte dakara, suki dakara,
Ja ne!
Ayu deshita!
\^o^/
Tuesday, September 20, 2011
[fanfic] Oppa, Saranghae yo! (chapter IV)
23 Desember 2014
Korea tertutup oleh salju musim dingin awal di bulan Desember ini. Semuanya tertutup oleh selimut putih yang menyenangkan mata. Musim dingin adalah musim dimana semua rutinitas sehari-hari terhambat dengan udara dingin yang menggerogoti tulang. Tak terkecuali oleh para artis di SA. Semuanya memakai mantel yang sangat tebal sekarang. Terlihat Lee Min-Ho yang memakai topi rajutan hitam dan mantel tebal berwarna hitam juga, memasuki SA dengan terburu-buru. Pemain muda yang sedang naik daun di bulan ini, Lee Hong-Ki pun sama. Dia lebih memilih berlari untuk memasuki SA. Gadis cantik yang bernama Yoon En-Hye tidak kalah kedinginannya. Dia memakai mantel bulu di atas mantel bulunya. Dia berjalan santai dengan didampingi oleh managernya, Go Min-Hyu. Serta artis-artis lain yang mulai berdatangan hari ini.
Terlihat Anya sedang terburu-buru memasuki SA. Di kedua tangannya terdapat file-file yang harus ia serahkan hari ini kepada Direktur Park. Mengenai tugas-tugasnya yang sudah diselesaikannya dengan baik dan memuaskan. Dia harus melapor sedetil mungkin kepada atasannya.
Anya masuk SA dan terburu-buru memasuki lift. Ia segera menekan tombol 5 di dinding dalam lift. Hanya ada dia sendiri di dalam lift. Ia melihat sekilas jam tangan yang ada di tangan kirinya. 07.00. Perfect! Teriaknya dalam hati.
Hari ini sudah bulan ke-5 ia bekerja sebagai manager Kim Nam-Gil. Dalam kerjanya, Nam tak pernah mengeluh akan dirinya. Itu yang membuatnya bertahan sampai sekarang. Direktur Park pun sudah mengacungkan ibu jarinya kepada Anya. Membuat Anya tersenyum saat melihatnya beberapa hari yang lalu. Ia sudah diaku sebagai manager Kim Nam-Gil.
Tring.. pintu lift terbuka di lantai 5. Segera ia keluar dan menuju ruangan Direktur Park, tak lupa tersenyum ramah ke arah sekretaris Jun, yang disambut senyuman ramah juga dari sekretaris Jun.
============
“Rain, kau serius?” Direktur Park berwajah tak percaya yang ditunjukkan kepada lawan bicaranya yang sedang duduk di depannya, Rain, di dalam ruang kerjanya.
“Saya sangat serius.” Rain mengangguk mantap.
“Tapi, ini benar-benar bukan kau.” Direktur Park mencoba mengatakan pada Rain, bahwa keputusannya harus ditimbang kembali.
“Saya akan melakukannya, Direktur.” Rain memandang Direktur Park dengan wajah yang tak terbantahkan sekarang. Direktur Park mendesah. Dia kalah berdebat dengan Rain. Selalu saja kalah.
“Apa Manager mu tahu akan hal ini?” usaha terakhir Direktur Park untuk menggoyahkan tekad Rain.
“Dengan atau tanpa persetujuan dari Manager saya, saya akan tetap melakukannya.” Usaha terakhir yang dikerahkan Direktur Park, gagal.
“Baiklah kalau begitu. Akan ku urus semuanya dengan Manager mu.” Direktur Park menulis sesuatu di dalam dokumennya yang bertuliskan Rain.
============
Tok.. tok.. tok..
Pintu ruangan diketuk dengan lembut, membuat Direktur Park tidak menghentikan aksinya menulis sesuatu di dokumennya dan Rain, dia bergeming dari duduknya.
“Masuk!” Direktur Park bereaksi seperti biasa.
Anya memasuki ruangan dengan wajah cerahnya, tapi berubah mengatupkan mulutnya saat tahu ada siapa di dalam sana. Rain.
“Annyeong haseyo.” Anya menyapa dengan sopan dan menutup pintu kembali. Segera ia berjalan ke arah Direktur Park.
“Annyeong. Silakan duduk.” Direktur Park mempersilakan manager muda itu duduk di satu-satunya kursi kosong di samping Rain. Anya mengangguk dan segera duduk. Ia melirik sekilas Rain yang ada disampingnya.
Eh? Auranya?
Anya memandang ke depan lagi. Ia menelan ludahnya. Ada apa dengan Rain? Wajahnya begitu tegang. Tak seperti Rain yang selalu berwajah jahil. Ada apa sebenarnya?
“Bagaimana Anya?” Direktur Park menghentikan lamunan Anya.
Anya gelagapan tapi tetap bisa menguasai diri dengan sempurnya. “Semua file sudah saya kerjakan sesuai perintah Direktur. Silakan diperiksa.” Anya menyodorkan file-file yang ada di tangannya kepada Direktur Park.
Direktur Park menelitinya satu persatu. Tidak lama. Hanya sekitar 5 menit jeda yang diberikan Direktur Park untuk Anya memutar otaknya lagi. Rain? Kenapa dengan dia? Wajah serius seperti ini, baru kulihat sekali sejak mengenalnya. Mengesampingkan marahnya pada ku. Ada apa sebenarnya? Anya terus memutar otaknya. Dia bertekad akan menanyakan langsung pada Rain. Tapi segera ia urungkan tekad bulat itu. Lebih baik bertanya pada Nam saja. Putus Anya sambil mengangguk-angguk tidak jelas.
“Kerja bagus, Anya!” pujian Direktur Park membuyarkan lamunan Anya. Anya tersenyum menutupi kekagetannya lagi.
“Kamsa hamnida.” Katanya tulus.
Direktur Park merasa ingin menyelesaikan masalahnya dengan Rain hari ini juga, ia melihat Anya. “Baiklah Anya, segera lanjutkan pekerjaanmu hari ini.” Kata Direktur Park.
Anya mengangguk canggung, merasa terusir. “Baik, Direktur. Permisi.” Kata Anya mengundurkan diri dari pembicaraan. Anya keluar ruangan setelah membungkuk hormat kepada 2 orang yang ada di ruangan. Anya menutup pintu di belakangnya saat berada di luar ruangan.
“Haaaahhhh.....” Anya membuang napas dengan perasaan berkecamuk.
Ada yang menepuk kepalanya pelan dari arah belakang. Pukk. “Kenapa membuang napas seperti itu?” Nam yang berjalan di belakang Anya menyondongkan badannya agar setara dengan tinggi badan Anya.
Anya terkejut bukan main. Wajah Nam hanya 5 cm dari wajah Anya tadi. “Bukan apa-apa.” Anya merasa wajahnya kini memanas. Nam melihat itu.
“Wajahmu memerah.” Nam menempelkan telapak tangannya ke kening Anya. “Demam kah?” tanya Nam lebih-lebih pada dirinya sendiri. Anya merasakan dingin tangan Nam menetralkan panas di wajahnya.
Anya segera menurunkan tangan Nam dari keningnya. “Ani yo!” Anya gugup. “Saya tidak sakit.” Katanya menjelaskan.
Nam hanya tersenyum melihat manager nya yang ini. “Kalau kau sakit, beritahu aku dan jangan memaksakan diri.” Kata Nam sambil berjalan di samping Anya lagi.
“Yang seharusnya mengatakan itu kan saya. Bukan Anda.” Anya protes. Bukannya marah, Nam benar-benar tersenyum sekarang.
“Baik, Bu manager.” Nam membungkukkan badan di depan Anya. Anya melotot karena terkejut.
Plokk! Sebuah pukulan dari tumpukan file yang berjumlah 10 lembar mendarat di punggung Nam. Membuat laki-laki itu menegakkan badannya lagi dan mengelus punggungnya.
“Sakit.” Katanya sambil meringis.
“Anda terlalu berlebihan, Kim Nam-Gil ssi.” Anya yang tadi memukul pelan Nam, melenggangkan kakinya meninggalkan Nam dengan wajah cemberut. Nam mengejarnya.
Di studio pemotretan.
Kang mengabsen para artisnya yang punya jadwal pemotretan hari ini bersamanya. Ada 12 nama di file miliknya. Nama Rain dan juga Kim Nam-Gil juga ada disana. Ya, mereka pemotretan bersama lagi hari ini. Pasaran mereka semakin lama semakin laku terjual. Kang sampai bersyukur dengan itu.
“Jang Geun-Suk!” panggil Kang kepada salah satu artis yang akan dipotretnya. “Dimana Lee?” tanya Kang.
Pemuda yang tadi dipanggil Jang Geun-Suk menggelengkan kepala. Kang menghela napas berat. Dia lagi. Batinnya.
Tepukan keras mendarat di punggung Kang, membuat photograper itu terlonjak. “Mencariku?” tanya pemuda berambut pirang dan memakai baju merah serta celana dan sepatu boot. Dia baru saja masuk ruangan dan segera menghampiri Kang.
“Dasar bocah!” umpat Kang saat terkejut dan mendapati siapa yang mengejutkannya itu. Lee Hong-Ki. “Kau telat!” sembur Kang sambil mengayun-ayunkan file jadwal di depan Lee.
Lee memperlihatkan jam tangannya dan menunjuknya. “Hanya 2 menit 10 detik, kan.” Katanya membela diri.
“Tetap saja telat.” Kang tidak mau kalah.
“Aku tepat waktu kok. Buktinya pemotretan belum dimulai.” Lee mengatakan pembelaannya setelah mengambil duduk di dekat Rain.
“Waktu kumpul kan jam 10 pagi!” Kang berusaha mengingatkan.
“Aku sudah ada disini sebelum jam 10 pagi.” Lee juga berusaha memberitahu Kang.
“Lantas, kenapa tidak segera masuk kemari?” Kang merasa frustasi dengan artisnya yang satu ini.
“10 menit lalu aku kemari. Dan belum ada yang datang. Aku hanya ke kamar kecil untuk membuang sesuatu. Dan tanpa melihat jam, aku langsung datang kemari karena perasaanku tidak enak.” Lee menjelaskan dengan wajah tanpa dosa.
“Tidak enak? Apa maksudmu?”
“Hanya merasakan aura orang tua yang ingin meledak.” Lee menatap Kang dengan wajah yang disendukan.
“Kau...” tak mampu meneruskan kata-katanya, Kang menyerah berdebat dengan Lee.
Anya yang melihat kejadian itu secara langsung, berusaha menutupi tawanya. Saat ini Anya ikut masuk ke studio. Tidak ada kerjaan lain yang harus ia lakukan di luar ruangan.
Nam melihat managernya yang berusaha keras menahan tawanya, membuat dia tersenyum. Rain memperhatikan. Aku rindu padanya. Kata Rain dalam hati. Matanya terus menatap sosok Anya yang sedang berdiri di samping pintu masuk. Dasar perempuan! Katanya lagi. Kali ini ia pun tersenyum sambil memandang ke bawah.
Lee menyenggol Rain dan berbisik. “Ssst.. Hyong, apa semuanya berjalan lancar?”
“Apanya?” Rain balas bertanya dengan berbisik juga.
“Itu!” Lee menoleh ke sumber yang sedang tersenyum di samping Geun-Suk, Nam.
“Mungkin.” Jawab Rain asal.
“Apanya yang mungkin?” Lee merasa Rain belum mengatakan apa-apa kepada Nam tentang kepergiannya. “Jangan-jangan Hyong belum mengatakannya dengan Nam-Gil son-bae, ya?” tebakan jitu.
Rain menggeleng. Lee bangkit dari duduknya, membuat Kang terkejut lagi dan memijit-mijit kepalanya. “Ada apa Lee?” tanya Kang merasa terganggu saat dia sedang mengabsen.
Lee sadar, dia menggeleng cepat sambil melihat Kang. “Nothing.” Kata Lee yang segera duduk lagi. Rain ikut menggeleng karena merasa sangat menyesal punya adik kelas yang seperti Lee.
“Kenapa?” tanya Lee dengan berbisik lagi.
“Kurasa, dia sudah tak membutuhkanku.” Jawab Rain dengan mudahnya.
“Perasaan hyong salah. Nam-Gil son-bae membutuhkan hyong lebih dari dirinya sendiri.” Lee mencoba membangkitkan kepercayaan diri Rain yang sedang rontok.
Rain tersenyum kecut. “Hahaha. Semoga saja.”
Pemotretan berlangsung dengan tidak adanya canda tawa Rain yang seperti biasa mengisi hari-hari dimana ia sedang ada jadwal bersama Kang. Kang merasa ada yang kurang. Berkali-kali ia memutar otaknya. Tidak bersuara, membuatku sulit berkonsentrasi. Kang merasakan hal itu. Tidak hanya Kang, semua orang yang ada di studio pun merasakan hal yang sama. Rain aneh.
Anya, memutuskan keluar dari ruang studio. Karena tidak ada jadwal, dia bebas kemana saja selama 2 jam –pemotretan berlangsung selama 3 jam.
Anya berjalan menyusuri koridor ruangan yang ada di gedung. Dia memutuskan untuk keluar dari gedung SA. Berjalan perlahan sambil menggumamkan kata, “Coklat”, sepanjang perjalanan.
“Harus cari coklat.” Kata Anya sambil berjalan mencari supermarket terdekat.
Happy Supermarket. Nama ini terdengar norak. Anya mencuatkan senyumnya. “Norak.” Komentar Anya saat membaca nama supermarket yang dia temui pertama kali di jalan tak jauh dari SA. Anya masuk ke dalam supermarket, mencari etalase makanan kecil.
“Annyeong haseyo!” sapa pelayan yang ada di dalam supermarket saat mengetahui Anya masuk. Anya merasa harus hormat juga, ia membungkukkan badan sekilas untuk menjawab sapaan tadi.
Anya berjalan melewati beberapa etalase. Bumbu dapur, alat-alat mencuci, mie instan, jus kaleng, minuman mineral, makanan ringan, sayuran, buah..
“Dimana???” Anya sempat frustasi karena tidak menemukan coklat yang dia inginkan.
Seorang pelayan yang sedari tadi memperhatikan Anya mencoba menyapanya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya pelayan itu ramah.
Anya sempat terkejut dengan suara yang tiba-tiba ada di belakangnya. Ia tersenyum dan mengangguk. “Coklat?”
“Coklat ada di sebelah etalase minuman mineral. Ada etalase sendiri untuk cokelat. Silakan ke etalase nomor 4 di sebelah sana.” Pelayan itu mengatakan dengan ramah dan menunjukkan jalan menuju etalase yang dimaksud. Anya tersenyum lebar dan berkali-kali membungkuk berterima kasih.
Anya berjalan cepat menuju etalase yang dimaksud. Setelah sampai di etalase nomor 4,
“Hwaaaaa~~~!!” Anya terperengarah karena melihat pemandangan yang sangat luar biasa di depannya. Etalase khusus coklat. Semuanya coklat. Dari berbagai merk. Semuanya ada.
Pantas saja ‘Happy Supermarket’. Batin Anya.
“Hm, yang mana ya?” Anya menimang-nimang pemikirannya. Harus memberinya apa? Coklat mana yang dia suka? Pertanyaan-pertanyaan kembali menghinggapi pikiran Anya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” lagi-lagi seorang pelayan yang sejak tadi tidak diketahui Anya keberadaannya mengagetkan Anya dari belakang.
“Ah,,” Anya mencoba mencari perkataan yang sederhana untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan,
“Coklat untuk pacar?” pelayan itu mencoba menebak.
“Ani mida!” Anya menjawab ‘bukan’ dengan cepat, membuat pelayan itu tersenyum. Melihat senyuman pelayan itu, wajah Anya memerah.
“Anu, hanya coklat untuk meminta maaf.” Anya mengatakannya dengan menundukkan kepala. Ia malu mengatakannya.
“Sebelah sini,” diluar dugaan, pelayan itu langsung menunjukkan jalan menuju tempat cokelat yang dimaksudkan Anya.
Di etalase yang sama, tetapi berbeda bentuk isinya. Coklat yang berukuran 2x2 cm yang dibungkus membentuk persegi dengan ukuran 10x10 cm. Ditengahnya terdapat huruf alfabet yang bisa dibaca ‘sorry’. Mata Anya membelalak.
“Hal seperti ini dijual di pasaran??” pertanyaan keras di batin Anya.
“Bagaimana rasanya?” Anya bertanya karena penasaran. Bentuknya unik dengan warna coklat serta putih, bercampur. Untung tidak pink.
“Coklat ini terbuat dari coklat asli swiss. Layaknya coklat delfi. Rasanya pun sama. Memang ini dari merk delfi.” Jelas pelayan itu.
Anya manggut-manggut. Pelayan itu menunjukkan berbagai variasi coklat tanda maaf kepada Anya. Anya mengikuti pelayan itu dari belakang.
“Ini coklat dari cadburry. Berbentuk hati dan terdapat kata ‘sorry’ di bagian tengahnya.” Pelayan itu merekomendasikan coklat imut itu, dengan ukuran 5x5 cm, yang langsung ditepis Anya dengan kibasan tangan menandakan, “Jangan yang itu.”
Pelayan itu mengangguk dan berjalan lagi. “Ini dari vanhouten. Berbentuk bola sepak dan bertuliskan ‘sorry’.” Anya berpikir, sepertinya Rain tidak penggemar bola sepak.. Anya menggeleng.
Pelayan itu mengangguk lagi. Dan menunjukkan berbagai jenis coklat kepada Anya. Tidak ada yang cocok. Pelayan itu hampir menyerah merekomendasikan coklat yang menjadi produk andalannya. Anya berpikir lagi dan lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengambil coklat delfi pertama yang dilihatnya. Berbentuk unik. Banyak bentuk di kotak yang berukuran 10x10 cm itu. Dari bentuk bintang sampai wajah. Anya juga mengambil coklat biasa dari etalase untuk dirinya sendiri dan juga untuk Nam. Sekalian saja. Begitu pikirnya.
Anya berjalan menuju kasir untuk membayar coklat yang ia ambil dari etalase. Kasir segera menghitung harga belanjaan dari Anya.
“Semuanya 50.000 won.” Kata kasir di balik mejanya. Anya mengangguk dan segera mengambil dompet di dalam tasnya, kemudian menyerahkan uang dan segera keluar dari supermarket.
Anya berlari sambil memeluk tas kertas yang berisi barang belanjaannya, coklat, menuju gedung SA. Dengan wajah yang penuh dengan senyum, ia berjalan memasuki lift menuju ke ruang studio.
=========
Ruang studio terasa sangat dingin menusuk hari ini. Entah karena cuaca atau karena faktor lain. Rain yang pendiam, membuat semua orang yang ada di studio begidik kedinginan.
“Ada yang aneh dengan Rain.” Salah satu aktor bernama lengkap Kim Hyun-Joong terus mengawasi gerakan Rain di depan kamera.
“Kau benar Jun.” Lee Min-Ho sependapat.
Hyun yang merasa Min-Ho salah panggil memandangnya tak percaya. “Kau melupakan namaku yang pernah bermain drama bersamamu ya, Min-Ho?”
Min-Ho menghadap Hyun sekarang, memicingkan mata untuk mengingat bahwa ingatannya tidak salah. Kemudian ia menepuk keningnya sendiri. “Hyun-Joong! Maafkan aku.” Min-Ho membungkukkan badannya dari posisi duduk di atas sofa saat mengingat nama rekannya itu.
“Sudahlah.” Hyun memaklumi.
“Dia aneh.” Hyun mengawali pembicaraannya lagi. Lee Hong-Ki mengangguk setuju.
“Rain son-bae benar-benar sedang tahap dilema.” Kata Lee tanpa jeda anggukan setuju di kepalanya sendiri.
“Kau pasti tahu sesuatu kan, Hong-Ki?!” Nam yang tiba-tiba muncul di samping Lee membuat Hyun dan juga Min-Ho terlonjak kaget.
Lee memasang wajah polosnya lagi. “Aku tidak tahu apa-apa Nam-Gil son-bae.” Katanya dengan wajah memelas.
Nam jengkel dengan wajah itu. dipukulnya pelan kepala Lee, membuat Lee merasakan kemarahan son-bae yang dibanggakannya. Air mata Lee meleleh. “Maafkan aku, Nam-Gil son-bae. Aku sudah berjanji dengan Rain hyong untuk tidak mengatakan apa-apa pada Nam-Gil son-bae.” Kata Lee menjelaskan.
“Katakan padaku!” Nam memerintah Lee dengan wajah tersenyumnya.
Lee menarik napas dalam dan segera menceritakan yang sebenarnya kepada Nam. Senyuman Nam merupakan maut bagi orang di sekitarnya.
Nam berdiri dari duduknya dan segera berjalan cepat ke arah Rain yang sedang berpose sexy di depan kamera Kang. Segera ia tarik kerah baju Rain tanpa mempedulikan para juniornya maupun Kang yang berteriak marah kepada Nam.
Nam melemparkan pandangan membunuh ke arah siapa pun yang mau menghentikannya. Segera ia menarik Rain keluar dari studio. Sebelum sampai di pintu ia berbalik dan menatap Kang.
“Lanjutkan pemotretan. Aku ada urusan dengan Rain.” Kata Nam yang langsung membuat Kang mengangguk mengerti. Para junior yang awalnya merasa kurang nyaman pun disuruh Kang untuk bersikap biasa saja.
“Anggap saja kalian tidak melihat apa pun.” Kata Kang kepada seluruh aktor yang ada di ruang studio miliknya.
Semuanya mengangguk setuju.
===========
Nam melepaskan cengkraman di kerah baju milik Rain. Mereka sedang berada di koridor dekat ruangan yang hanya ada kostum disana. Nam menatap marah ke arah Rain saat ini. Dia merasa di nomor sekiankan oleh orang yang benar-benar sudah dianggapnya saudaranya ini.
“Katakan!” Nam mengawali percakapannya, menatap Rain dengan serius. Rain bergeming dan tidak mengatakan apa pun.
Nam meraih kerah baju milik Rain lagi. “Kau pikir aku siapa, hah?!” Nam berteriak marah.
Rain melepaskan cengkraman di kerah bajunya dengan perlahan. “Nam, aku hanya pergi untuk jangka waktu 3 tahun. Tidak lebih.” Kata Rain dengan suara menenangkan kakak nya itu.
Nam merasa benar-benar kalut sekarang. “Bukan masalah jangka waktu, Rain.” Dia hampir frustasi sekarang, “Masalahnya ada di penyakitmu!” Rain menahan napas saat Nam dengan gamblang menyebut masalah itu.
Rain menepuk pelan bahu sahabatnya itu, membuat Nam sedikit melegakan hatinya. “Aku akan baik-baik saja.” Kata Rain sambil menyunggingkan senyuman ke arah Nam.
Usaha Rain gagal. “Tidak bisa! Aku ikut dengan mu!” kata Nam pada akhirnya.
“Untuk apa?” mata Rain membesar karena Nam mengatakannya dengan wajah serius yang lucu.
Nam mendengus, “Tidak akan ada yang tahan dengan mu yang keras kepala ini kecuali aku.”
Sebagai respon dari pernyataan Nam, Rain tertawa sampai terduduk di lantai. “HWAHAHAHAHAHAHAHA................”
“Apanya yang lucu?”
“Tidak ada.” Rain masih menyisakan tawanya. “Hwahahahahahahaha.....”
“Hentikan, Rain.”
“Hwahahahaha, tidak bisa dihentikan, hahahahahahahaha...”
Sebagai penghentian dari Nam, Nam membekap mulut Rain dengan tangan kanannya dan melingkarkan tangan lain ke leher Rain. Mereka berdua terlihat bergumul sekarang. Layaknya 2 anak kecil yang sedang bercanda.
Rain berusaha lepas dari pitingan Nam, sambil terus tertawa, Rain akhirnya lepas dari Nam.
“Kau tidak perlu ikut. Aku bisa sendiri.” Kata Rain kemudian.
“Tidak. Aku tetap ikut.” Kali ini Nam serius dengan ucapannya.
Rain menatap Nam dengan pandangan serius juga. “Penyakitku tidak akan kambuh dengan mudah di luar sana.”
“Tapi tetap saja,,”
“Tidak akan kambuh.” Rain menyela Nam.
“Jika 3 tahun, aku rasa,,”
“Jika aku menjaga diriku, tidak akan ada bedanya dengan orang sehat kebanyakan.” Rain mengatakan itu sambil memegang dadanya sendiri. “Kanker paru-paru bukan yang menentukan hidup dan mati ku.” Kata Rain dengan wajah serius. “Bukan kah sudah ku buktikan dengan hidup bersamamu selama 10 tahun ini?”
Nam kalah telak dengan omongan Rain. Dia benar, Rain tidak akan kambuh dengan mudah. Dia rajin ke dokter waktu ia terjangkit penyakit itu, dan mengikuti segala macam kemotherapy. Dan hasilnya memuaskan. Kankernya bisa ditekan. Dia sudah tidak apa-apa. Tapi tetap saja rasa khawatir menyerang batin Nam.
Rain menepuk pelan bahu Nam, tersenyum. “Kau terlalu berlebihan dengan kanker ku, Nam.”
Bruugghh!!
Suara benda jatuh tak jauh dari tempat Rain dan Nam berdiri sontak membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Mata Rain langsung melebar saat tahu siapa sosok yang ada di ujung sana. Dia lebih terkejut dengan barang bawaan orang itu dan ekspresi orang itu saat menatapnya. Tiba-tiba air mata orang itu jatuh, membuat semua dunia Rain jungkir balik.
“Anya?”
=============
Dengan perasaan lega, Anya kembali melangkahkan kakinya ke arah SA. Dia naik lift dengan perasaan senang sekarang. Di pelukannya sudah ada coklat untuk Nam dan juga Rain. Mereka butuh asupan gula saat bekerja keras seperti ini. Dengan riang gembira Anya keluar dari lift dan segera menuju ke arah studio. Dia akan berbelok ke arah ruang kostum saat mendengar orang sedang berbicara disana. Tanpa prasangka apa-apa dia terus berjalan dan mendapati Nam dan juga Rain sedang bercanda disana.
Anya mengembangkan senyumnya saat tahu dua orang yang sedang dinantinya sudah ada di depan mata. Tangan kanannya sudah terangkat hendak menyapa mereka berdua,
“Kau tidak perlu ikut. Aku bisa sendiri.” Rain bicara sambil bersandar ke dinding di belakangnya.
“Tidak. Aku tetap ikut.” Nam terlihat bersikeras membujuk Rain sekarang.
Rain menatap Nam. “Penyakitku tidak akan kambuh dengan mudah di luar sana.”
Eh? Penyakit? Batin Anya. Ia menurunkan tangannya dan mengurungkan niat untuk menyapa dua orang di depannya. Mereka belum menyadari kehadiran Anya disini.
“Tapi tetap saja,,” Nam terlihat ingin sekali menghentikan keinginan Rain.
“Tidak akan kambuh.” Rain menyela Nam.
“Jika 3 tahun, aku rasa,,”
“Jika aku menjaga diriku, tidak akan ada bedanya dengan orang sehat kebanyakan.” Rain mengatakan itu sambil memegang dadanya sendiri. “Kanker paru-paru bukan yang menentukan hidup dan mati ku.” Kata Rain dengan wajah serius. “Bukan kah sudah ku buktikan dengan hidup bersamamu selama 10 tahun ini?”
Bruuugghhh.....
Anya menjatuhkan barang yang ada di pelukannya tadi. Semua coklat yang dibelinya di Happy Supermarket berhamburan keluar kertas belanjaan. Ia menatap Rain tak percaya sekarang. Tatapannya saat ini tak bisa diartikan. Apa pendengarannya salah? Apa yang sedang Rain bicarakan tadi? Dia menyebutkan apa?
Tanpa terasa, air mata Anya sudah membasahi kedua pipinya. Ia menangis. Entah menangis karena apa, ia sendiri juga tidak mengerti. Yang ia tahu, ia merasa Tuhan tidak adil saja.
“Anya?” Rain dan Nam menyebutkan namanya secara bersamaan. Mereka terkejut melihat Anya berdiri disini. Mereka baru menyadari kehadirannya.
Anya bingung harus mengatakan apa. Harus berkomentar apa, tapi ia yakin, Rain tak butuh komentarnya. “Apa tadi benar?” sebagai ganti komentar, dia bertanya untuk meyakinkan diri sendiri juga.
Anya memandang Rain. Dengan langkah pelan, ia mendekatinya. Saat jarak mereka terpaut 2 meter, Anya berhenti dan mengulangi pertanyaannya lagi. “Apa tadi benar?”
Nam hendak mendekati Anya, tapi Rain mencegahnya. Terlihat Rain mengangguk dan menatap mata Anya dengan serius. “Benar.” Katanya. “Ada kanker disini.” Tambahnya sambil menunjuk dadanya, ke arah paru-paru miliknya.
Anya menahan napas saat itu, memandang ke arah dada Rain dengan pandangan kabur oleh air mata. “Oppa..” katanya lirih..
===================
OWARIIIII~~~~~~~~~~~
masi lanjut, tpi otak gex buntu.
cari inspirasi dbawah phon semangka.
*ngacir sambil bwa pulang semangka
buat Ana, thx buanget udah nunggu lagi..
jgn cape buat nunggu ea..
Sankyu!!
Saigo ni,
buat pra pmbaca, (yg ntah ada ntah g), hontou ni arigato na!
Ja ne!
Ayu deshita!
\^o^/
Korea tertutup oleh salju musim dingin awal di bulan Desember ini. Semuanya tertutup oleh selimut putih yang menyenangkan mata. Musim dingin adalah musim dimana semua rutinitas sehari-hari terhambat dengan udara dingin yang menggerogoti tulang. Tak terkecuali oleh para artis di SA. Semuanya memakai mantel yang sangat tebal sekarang. Terlihat Lee Min-Ho yang memakai topi rajutan hitam dan mantel tebal berwarna hitam juga, memasuki SA dengan terburu-buru. Pemain muda yang sedang naik daun di bulan ini, Lee Hong-Ki pun sama. Dia lebih memilih berlari untuk memasuki SA. Gadis cantik yang bernama Yoon En-Hye tidak kalah kedinginannya. Dia memakai mantel bulu di atas mantel bulunya. Dia berjalan santai dengan didampingi oleh managernya, Go Min-Hyu. Serta artis-artis lain yang mulai berdatangan hari ini.
Terlihat Anya sedang terburu-buru memasuki SA. Di kedua tangannya terdapat file-file yang harus ia serahkan hari ini kepada Direktur Park. Mengenai tugas-tugasnya yang sudah diselesaikannya dengan baik dan memuaskan. Dia harus melapor sedetil mungkin kepada atasannya.
Anya masuk SA dan terburu-buru memasuki lift. Ia segera menekan tombol 5 di dinding dalam lift. Hanya ada dia sendiri di dalam lift. Ia melihat sekilas jam tangan yang ada di tangan kirinya. 07.00. Perfect! Teriaknya dalam hati.
Hari ini sudah bulan ke-5 ia bekerja sebagai manager Kim Nam-Gil. Dalam kerjanya, Nam tak pernah mengeluh akan dirinya. Itu yang membuatnya bertahan sampai sekarang. Direktur Park pun sudah mengacungkan ibu jarinya kepada Anya. Membuat Anya tersenyum saat melihatnya beberapa hari yang lalu. Ia sudah diaku sebagai manager Kim Nam-Gil.
Tring.. pintu lift terbuka di lantai 5. Segera ia keluar dan menuju ruangan Direktur Park, tak lupa tersenyum ramah ke arah sekretaris Jun, yang disambut senyuman ramah juga dari sekretaris Jun.
============
“Rain, kau serius?” Direktur Park berwajah tak percaya yang ditunjukkan kepada lawan bicaranya yang sedang duduk di depannya, Rain, di dalam ruang kerjanya.
“Saya sangat serius.” Rain mengangguk mantap.
“Tapi, ini benar-benar bukan kau.” Direktur Park mencoba mengatakan pada Rain, bahwa keputusannya harus ditimbang kembali.
“Saya akan melakukannya, Direktur.” Rain memandang Direktur Park dengan wajah yang tak terbantahkan sekarang. Direktur Park mendesah. Dia kalah berdebat dengan Rain. Selalu saja kalah.
“Apa Manager mu tahu akan hal ini?” usaha terakhir Direktur Park untuk menggoyahkan tekad Rain.
“Dengan atau tanpa persetujuan dari Manager saya, saya akan tetap melakukannya.” Usaha terakhir yang dikerahkan Direktur Park, gagal.
“Baiklah kalau begitu. Akan ku urus semuanya dengan Manager mu.” Direktur Park menulis sesuatu di dalam dokumennya yang bertuliskan Rain.
============
Tok.. tok.. tok..
Pintu ruangan diketuk dengan lembut, membuat Direktur Park tidak menghentikan aksinya menulis sesuatu di dokumennya dan Rain, dia bergeming dari duduknya.
“Masuk!” Direktur Park bereaksi seperti biasa.
Anya memasuki ruangan dengan wajah cerahnya, tapi berubah mengatupkan mulutnya saat tahu ada siapa di dalam sana. Rain.
“Annyeong haseyo.” Anya menyapa dengan sopan dan menutup pintu kembali. Segera ia berjalan ke arah Direktur Park.
“Annyeong. Silakan duduk.” Direktur Park mempersilakan manager muda itu duduk di satu-satunya kursi kosong di samping Rain. Anya mengangguk dan segera duduk. Ia melirik sekilas Rain yang ada disampingnya.
Eh? Auranya?
Anya memandang ke depan lagi. Ia menelan ludahnya. Ada apa dengan Rain? Wajahnya begitu tegang. Tak seperti Rain yang selalu berwajah jahil. Ada apa sebenarnya?
“Bagaimana Anya?” Direktur Park menghentikan lamunan Anya.
Anya gelagapan tapi tetap bisa menguasai diri dengan sempurnya. “Semua file sudah saya kerjakan sesuai perintah Direktur. Silakan diperiksa.” Anya menyodorkan file-file yang ada di tangannya kepada Direktur Park.
Direktur Park menelitinya satu persatu. Tidak lama. Hanya sekitar 5 menit jeda yang diberikan Direktur Park untuk Anya memutar otaknya lagi. Rain? Kenapa dengan dia? Wajah serius seperti ini, baru kulihat sekali sejak mengenalnya. Mengesampingkan marahnya pada ku. Ada apa sebenarnya? Anya terus memutar otaknya. Dia bertekad akan menanyakan langsung pada Rain. Tapi segera ia urungkan tekad bulat itu. Lebih baik bertanya pada Nam saja. Putus Anya sambil mengangguk-angguk tidak jelas.
“Kerja bagus, Anya!” pujian Direktur Park membuyarkan lamunan Anya. Anya tersenyum menutupi kekagetannya lagi.
“Kamsa hamnida.” Katanya tulus.
Direktur Park merasa ingin menyelesaikan masalahnya dengan Rain hari ini juga, ia melihat Anya. “Baiklah Anya, segera lanjutkan pekerjaanmu hari ini.” Kata Direktur Park.
Anya mengangguk canggung, merasa terusir. “Baik, Direktur. Permisi.” Kata Anya mengundurkan diri dari pembicaraan. Anya keluar ruangan setelah membungkuk hormat kepada 2 orang yang ada di ruangan. Anya menutup pintu di belakangnya saat berada di luar ruangan.
“Haaaahhhh.....” Anya membuang napas dengan perasaan berkecamuk.
Ada yang menepuk kepalanya pelan dari arah belakang. Pukk. “Kenapa membuang napas seperti itu?” Nam yang berjalan di belakang Anya menyondongkan badannya agar setara dengan tinggi badan Anya.
Anya terkejut bukan main. Wajah Nam hanya 5 cm dari wajah Anya tadi. “Bukan apa-apa.” Anya merasa wajahnya kini memanas. Nam melihat itu.
“Wajahmu memerah.” Nam menempelkan telapak tangannya ke kening Anya. “Demam kah?” tanya Nam lebih-lebih pada dirinya sendiri. Anya merasakan dingin tangan Nam menetralkan panas di wajahnya.
Anya segera menurunkan tangan Nam dari keningnya. “Ani yo!” Anya gugup. “Saya tidak sakit.” Katanya menjelaskan.
Nam hanya tersenyum melihat manager nya yang ini. “Kalau kau sakit, beritahu aku dan jangan memaksakan diri.” Kata Nam sambil berjalan di samping Anya lagi.
“Yang seharusnya mengatakan itu kan saya. Bukan Anda.” Anya protes. Bukannya marah, Nam benar-benar tersenyum sekarang.
“Baik, Bu manager.” Nam membungkukkan badan di depan Anya. Anya melotot karena terkejut.
Plokk! Sebuah pukulan dari tumpukan file yang berjumlah 10 lembar mendarat di punggung Nam. Membuat laki-laki itu menegakkan badannya lagi dan mengelus punggungnya.
“Sakit.” Katanya sambil meringis.
“Anda terlalu berlebihan, Kim Nam-Gil ssi.” Anya yang tadi memukul pelan Nam, melenggangkan kakinya meninggalkan Nam dengan wajah cemberut. Nam mengejarnya.
Di studio pemotretan.
Kang mengabsen para artisnya yang punya jadwal pemotretan hari ini bersamanya. Ada 12 nama di file miliknya. Nama Rain dan juga Kim Nam-Gil juga ada disana. Ya, mereka pemotretan bersama lagi hari ini. Pasaran mereka semakin lama semakin laku terjual. Kang sampai bersyukur dengan itu.
“Jang Geun-Suk!” panggil Kang kepada salah satu artis yang akan dipotretnya. “Dimana Lee?” tanya Kang.
Pemuda yang tadi dipanggil Jang Geun-Suk menggelengkan kepala. Kang menghela napas berat. Dia lagi. Batinnya.
Tepukan keras mendarat di punggung Kang, membuat photograper itu terlonjak. “Mencariku?” tanya pemuda berambut pirang dan memakai baju merah serta celana dan sepatu boot. Dia baru saja masuk ruangan dan segera menghampiri Kang.
“Dasar bocah!” umpat Kang saat terkejut dan mendapati siapa yang mengejutkannya itu. Lee Hong-Ki. “Kau telat!” sembur Kang sambil mengayun-ayunkan file jadwal di depan Lee.
Lee memperlihatkan jam tangannya dan menunjuknya. “Hanya 2 menit 10 detik, kan.” Katanya membela diri.
“Tetap saja telat.” Kang tidak mau kalah.
“Aku tepat waktu kok. Buktinya pemotretan belum dimulai.” Lee mengatakan pembelaannya setelah mengambil duduk di dekat Rain.
“Waktu kumpul kan jam 10 pagi!” Kang berusaha mengingatkan.
“Aku sudah ada disini sebelum jam 10 pagi.” Lee juga berusaha memberitahu Kang.
“Lantas, kenapa tidak segera masuk kemari?” Kang merasa frustasi dengan artisnya yang satu ini.
“10 menit lalu aku kemari. Dan belum ada yang datang. Aku hanya ke kamar kecil untuk membuang sesuatu. Dan tanpa melihat jam, aku langsung datang kemari karena perasaanku tidak enak.” Lee menjelaskan dengan wajah tanpa dosa.
“Tidak enak? Apa maksudmu?”
“Hanya merasakan aura orang tua yang ingin meledak.” Lee menatap Kang dengan wajah yang disendukan.
“Kau...” tak mampu meneruskan kata-katanya, Kang menyerah berdebat dengan Lee.
Anya yang melihat kejadian itu secara langsung, berusaha menutupi tawanya. Saat ini Anya ikut masuk ke studio. Tidak ada kerjaan lain yang harus ia lakukan di luar ruangan.
Nam melihat managernya yang berusaha keras menahan tawanya, membuat dia tersenyum. Rain memperhatikan. Aku rindu padanya. Kata Rain dalam hati. Matanya terus menatap sosok Anya yang sedang berdiri di samping pintu masuk. Dasar perempuan! Katanya lagi. Kali ini ia pun tersenyum sambil memandang ke bawah.
Lee menyenggol Rain dan berbisik. “Ssst.. Hyong, apa semuanya berjalan lancar?”
“Apanya?” Rain balas bertanya dengan berbisik juga.
“Itu!” Lee menoleh ke sumber yang sedang tersenyum di samping Geun-Suk, Nam.
“Mungkin.” Jawab Rain asal.
“Apanya yang mungkin?” Lee merasa Rain belum mengatakan apa-apa kepada Nam tentang kepergiannya. “Jangan-jangan Hyong belum mengatakannya dengan Nam-Gil son-bae, ya?” tebakan jitu.
Rain menggeleng. Lee bangkit dari duduknya, membuat Kang terkejut lagi dan memijit-mijit kepalanya. “Ada apa Lee?” tanya Kang merasa terganggu saat dia sedang mengabsen.
Lee sadar, dia menggeleng cepat sambil melihat Kang. “Nothing.” Kata Lee yang segera duduk lagi. Rain ikut menggeleng karena merasa sangat menyesal punya adik kelas yang seperti Lee.
“Kenapa?” tanya Lee dengan berbisik lagi.
“Kurasa, dia sudah tak membutuhkanku.” Jawab Rain dengan mudahnya.
“Perasaan hyong salah. Nam-Gil son-bae membutuhkan hyong lebih dari dirinya sendiri.” Lee mencoba membangkitkan kepercayaan diri Rain yang sedang rontok.
Rain tersenyum kecut. “Hahaha. Semoga saja.”
Pemotretan berlangsung dengan tidak adanya canda tawa Rain yang seperti biasa mengisi hari-hari dimana ia sedang ada jadwal bersama Kang. Kang merasa ada yang kurang. Berkali-kali ia memutar otaknya. Tidak bersuara, membuatku sulit berkonsentrasi. Kang merasakan hal itu. Tidak hanya Kang, semua orang yang ada di studio pun merasakan hal yang sama. Rain aneh.
Anya, memutuskan keluar dari ruang studio. Karena tidak ada jadwal, dia bebas kemana saja selama 2 jam –pemotretan berlangsung selama 3 jam.
Anya berjalan menyusuri koridor ruangan yang ada di gedung. Dia memutuskan untuk keluar dari gedung SA. Berjalan perlahan sambil menggumamkan kata, “Coklat”, sepanjang perjalanan.
“Harus cari coklat.” Kata Anya sambil berjalan mencari supermarket terdekat.
Happy Supermarket. Nama ini terdengar norak. Anya mencuatkan senyumnya. “Norak.” Komentar Anya saat membaca nama supermarket yang dia temui pertama kali di jalan tak jauh dari SA. Anya masuk ke dalam supermarket, mencari etalase makanan kecil.
“Annyeong haseyo!” sapa pelayan yang ada di dalam supermarket saat mengetahui Anya masuk. Anya merasa harus hormat juga, ia membungkukkan badan sekilas untuk menjawab sapaan tadi.
Anya berjalan melewati beberapa etalase. Bumbu dapur, alat-alat mencuci, mie instan, jus kaleng, minuman mineral, makanan ringan, sayuran, buah..
“Dimana???” Anya sempat frustasi karena tidak menemukan coklat yang dia inginkan.
Seorang pelayan yang sedari tadi memperhatikan Anya mencoba menyapanya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya pelayan itu ramah.
Anya sempat terkejut dengan suara yang tiba-tiba ada di belakangnya. Ia tersenyum dan mengangguk. “Coklat?”
“Coklat ada di sebelah etalase minuman mineral. Ada etalase sendiri untuk cokelat. Silakan ke etalase nomor 4 di sebelah sana.” Pelayan itu mengatakan dengan ramah dan menunjukkan jalan menuju etalase yang dimaksud. Anya tersenyum lebar dan berkali-kali membungkuk berterima kasih.
Anya berjalan cepat menuju etalase yang dimaksud. Setelah sampai di etalase nomor 4,
“Hwaaaaa~~~!!” Anya terperengarah karena melihat pemandangan yang sangat luar biasa di depannya. Etalase khusus coklat. Semuanya coklat. Dari berbagai merk. Semuanya ada.
Pantas saja ‘Happy Supermarket’. Batin Anya.
“Hm, yang mana ya?” Anya menimang-nimang pemikirannya. Harus memberinya apa? Coklat mana yang dia suka? Pertanyaan-pertanyaan kembali menghinggapi pikiran Anya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” lagi-lagi seorang pelayan yang sejak tadi tidak diketahui Anya keberadaannya mengagetkan Anya dari belakang.
“Ah,,” Anya mencoba mencari perkataan yang sederhana untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan,
“Coklat untuk pacar?” pelayan itu mencoba menebak.
“Ani mida!” Anya menjawab ‘bukan’ dengan cepat, membuat pelayan itu tersenyum. Melihat senyuman pelayan itu, wajah Anya memerah.
“Anu, hanya coklat untuk meminta maaf.” Anya mengatakannya dengan menundukkan kepala. Ia malu mengatakannya.
“Sebelah sini,” diluar dugaan, pelayan itu langsung menunjukkan jalan menuju tempat cokelat yang dimaksudkan Anya.
Di etalase yang sama, tetapi berbeda bentuk isinya. Coklat yang berukuran 2x2 cm yang dibungkus membentuk persegi dengan ukuran 10x10 cm. Ditengahnya terdapat huruf alfabet yang bisa dibaca ‘sorry’. Mata Anya membelalak.
“Hal seperti ini dijual di pasaran??” pertanyaan keras di batin Anya.
“Bagaimana rasanya?” Anya bertanya karena penasaran. Bentuknya unik dengan warna coklat serta putih, bercampur. Untung tidak pink.
“Coklat ini terbuat dari coklat asli swiss. Layaknya coklat delfi. Rasanya pun sama. Memang ini dari merk delfi.” Jelas pelayan itu.
Anya manggut-manggut. Pelayan itu menunjukkan berbagai variasi coklat tanda maaf kepada Anya. Anya mengikuti pelayan itu dari belakang.
“Ini coklat dari cadburry. Berbentuk hati dan terdapat kata ‘sorry’ di bagian tengahnya.” Pelayan itu merekomendasikan coklat imut itu, dengan ukuran 5x5 cm, yang langsung ditepis Anya dengan kibasan tangan menandakan, “Jangan yang itu.”
Pelayan itu mengangguk dan berjalan lagi. “Ini dari vanhouten. Berbentuk bola sepak dan bertuliskan ‘sorry’.” Anya berpikir, sepertinya Rain tidak penggemar bola sepak.. Anya menggeleng.
Pelayan itu mengangguk lagi. Dan menunjukkan berbagai jenis coklat kepada Anya. Tidak ada yang cocok. Pelayan itu hampir menyerah merekomendasikan coklat yang menjadi produk andalannya. Anya berpikir lagi dan lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengambil coklat delfi pertama yang dilihatnya. Berbentuk unik. Banyak bentuk di kotak yang berukuran 10x10 cm itu. Dari bentuk bintang sampai wajah. Anya juga mengambil coklat biasa dari etalase untuk dirinya sendiri dan juga untuk Nam. Sekalian saja. Begitu pikirnya.
Anya berjalan menuju kasir untuk membayar coklat yang ia ambil dari etalase. Kasir segera menghitung harga belanjaan dari Anya.
“Semuanya 50.000 won.” Kata kasir di balik mejanya. Anya mengangguk dan segera mengambil dompet di dalam tasnya, kemudian menyerahkan uang dan segera keluar dari supermarket.
Anya berlari sambil memeluk tas kertas yang berisi barang belanjaannya, coklat, menuju gedung SA. Dengan wajah yang penuh dengan senyum, ia berjalan memasuki lift menuju ke ruang studio.
=========
Ruang studio terasa sangat dingin menusuk hari ini. Entah karena cuaca atau karena faktor lain. Rain yang pendiam, membuat semua orang yang ada di studio begidik kedinginan.
“Ada yang aneh dengan Rain.” Salah satu aktor bernama lengkap Kim Hyun-Joong terus mengawasi gerakan Rain di depan kamera.
“Kau benar Jun.” Lee Min-Ho sependapat.
Hyun yang merasa Min-Ho salah panggil memandangnya tak percaya. “Kau melupakan namaku yang pernah bermain drama bersamamu ya, Min-Ho?”
Min-Ho menghadap Hyun sekarang, memicingkan mata untuk mengingat bahwa ingatannya tidak salah. Kemudian ia menepuk keningnya sendiri. “Hyun-Joong! Maafkan aku.” Min-Ho membungkukkan badannya dari posisi duduk di atas sofa saat mengingat nama rekannya itu.
“Sudahlah.” Hyun memaklumi.
“Dia aneh.” Hyun mengawali pembicaraannya lagi. Lee Hong-Ki mengangguk setuju.
“Rain son-bae benar-benar sedang tahap dilema.” Kata Lee tanpa jeda anggukan setuju di kepalanya sendiri.
“Kau pasti tahu sesuatu kan, Hong-Ki?!” Nam yang tiba-tiba muncul di samping Lee membuat Hyun dan juga Min-Ho terlonjak kaget.
Lee memasang wajah polosnya lagi. “Aku tidak tahu apa-apa Nam-Gil son-bae.” Katanya dengan wajah memelas.
Nam jengkel dengan wajah itu. dipukulnya pelan kepala Lee, membuat Lee merasakan kemarahan son-bae yang dibanggakannya. Air mata Lee meleleh. “Maafkan aku, Nam-Gil son-bae. Aku sudah berjanji dengan Rain hyong untuk tidak mengatakan apa-apa pada Nam-Gil son-bae.” Kata Lee menjelaskan.
“Katakan padaku!” Nam memerintah Lee dengan wajah tersenyumnya.
Lee menarik napas dalam dan segera menceritakan yang sebenarnya kepada Nam. Senyuman Nam merupakan maut bagi orang di sekitarnya.
Nam berdiri dari duduknya dan segera berjalan cepat ke arah Rain yang sedang berpose sexy di depan kamera Kang. Segera ia tarik kerah baju Rain tanpa mempedulikan para juniornya maupun Kang yang berteriak marah kepada Nam.
Nam melemparkan pandangan membunuh ke arah siapa pun yang mau menghentikannya. Segera ia menarik Rain keluar dari studio. Sebelum sampai di pintu ia berbalik dan menatap Kang.
“Lanjutkan pemotretan. Aku ada urusan dengan Rain.” Kata Nam yang langsung membuat Kang mengangguk mengerti. Para junior yang awalnya merasa kurang nyaman pun disuruh Kang untuk bersikap biasa saja.
“Anggap saja kalian tidak melihat apa pun.” Kata Kang kepada seluruh aktor yang ada di ruang studio miliknya.
Semuanya mengangguk setuju.
===========
Nam melepaskan cengkraman di kerah baju milik Rain. Mereka sedang berada di koridor dekat ruangan yang hanya ada kostum disana. Nam menatap marah ke arah Rain saat ini. Dia merasa di nomor sekiankan oleh orang yang benar-benar sudah dianggapnya saudaranya ini.
“Katakan!” Nam mengawali percakapannya, menatap Rain dengan serius. Rain bergeming dan tidak mengatakan apa pun.
Nam meraih kerah baju milik Rain lagi. “Kau pikir aku siapa, hah?!” Nam berteriak marah.
Rain melepaskan cengkraman di kerah bajunya dengan perlahan. “Nam, aku hanya pergi untuk jangka waktu 3 tahun. Tidak lebih.” Kata Rain dengan suara menenangkan kakak nya itu.
Nam merasa benar-benar kalut sekarang. “Bukan masalah jangka waktu, Rain.” Dia hampir frustasi sekarang, “Masalahnya ada di penyakitmu!” Rain menahan napas saat Nam dengan gamblang menyebut masalah itu.
Rain menepuk pelan bahu sahabatnya itu, membuat Nam sedikit melegakan hatinya. “Aku akan baik-baik saja.” Kata Rain sambil menyunggingkan senyuman ke arah Nam.
Usaha Rain gagal. “Tidak bisa! Aku ikut dengan mu!” kata Nam pada akhirnya.
“Untuk apa?” mata Rain membesar karena Nam mengatakannya dengan wajah serius yang lucu.
Nam mendengus, “Tidak akan ada yang tahan dengan mu yang keras kepala ini kecuali aku.”
Sebagai respon dari pernyataan Nam, Rain tertawa sampai terduduk di lantai. “HWAHAHAHAHAHAHAHA................”
“Apanya yang lucu?”
“Tidak ada.” Rain masih menyisakan tawanya. “Hwahahahahahahaha.....”
“Hentikan, Rain.”
“Hwahahahaha, tidak bisa dihentikan, hahahahahahahaha...”
Sebagai penghentian dari Nam, Nam membekap mulut Rain dengan tangan kanannya dan melingkarkan tangan lain ke leher Rain. Mereka berdua terlihat bergumul sekarang. Layaknya 2 anak kecil yang sedang bercanda.
Rain berusaha lepas dari pitingan Nam, sambil terus tertawa, Rain akhirnya lepas dari Nam.
“Kau tidak perlu ikut. Aku bisa sendiri.” Kata Rain kemudian.
“Tidak. Aku tetap ikut.” Kali ini Nam serius dengan ucapannya.
Rain menatap Nam dengan pandangan serius juga. “Penyakitku tidak akan kambuh dengan mudah di luar sana.”
“Tapi tetap saja,,”
“Tidak akan kambuh.” Rain menyela Nam.
“Jika 3 tahun, aku rasa,,”
“Jika aku menjaga diriku, tidak akan ada bedanya dengan orang sehat kebanyakan.” Rain mengatakan itu sambil memegang dadanya sendiri. “Kanker paru-paru bukan yang menentukan hidup dan mati ku.” Kata Rain dengan wajah serius. “Bukan kah sudah ku buktikan dengan hidup bersamamu selama 10 tahun ini?”
Nam kalah telak dengan omongan Rain. Dia benar, Rain tidak akan kambuh dengan mudah. Dia rajin ke dokter waktu ia terjangkit penyakit itu, dan mengikuti segala macam kemotherapy. Dan hasilnya memuaskan. Kankernya bisa ditekan. Dia sudah tidak apa-apa. Tapi tetap saja rasa khawatir menyerang batin Nam.
Rain menepuk pelan bahu Nam, tersenyum. “Kau terlalu berlebihan dengan kanker ku, Nam.”
Bruugghh!!
Suara benda jatuh tak jauh dari tempat Rain dan Nam berdiri sontak membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Mata Rain langsung melebar saat tahu siapa sosok yang ada di ujung sana. Dia lebih terkejut dengan barang bawaan orang itu dan ekspresi orang itu saat menatapnya. Tiba-tiba air mata orang itu jatuh, membuat semua dunia Rain jungkir balik.
“Anya?”
=============
Dengan perasaan lega, Anya kembali melangkahkan kakinya ke arah SA. Dia naik lift dengan perasaan senang sekarang. Di pelukannya sudah ada coklat untuk Nam dan juga Rain. Mereka butuh asupan gula saat bekerja keras seperti ini. Dengan riang gembira Anya keluar dari lift dan segera menuju ke arah studio. Dia akan berbelok ke arah ruang kostum saat mendengar orang sedang berbicara disana. Tanpa prasangka apa-apa dia terus berjalan dan mendapati Nam dan juga Rain sedang bercanda disana.
Anya mengembangkan senyumnya saat tahu dua orang yang sedang dinantinya sudah ada di depan mata. Tangan kanannya sudah terangkat hendak menyapa mereka berdua,
“Kau tidak perlu ikut. Aku bisa sendiri.” Rain bicara sambil bersandar ke dinding di belakangnya.
“Tidak. Aku tetap ikut.” Nam terlihat bersikeras membujuk Rain sekarang.
Rain menatap Nam. “Penyakitku tidak akan kambuh dengan mudah di luar sana.”
Eh? Penyakit? Batin Anya. Ia menurunkan tangannya dan mengurungkan niat untuk menyapa dua orang di depannya. Mereka belum menyadari kehadiran Anya disini.
“Tapi tetap saja,,” Nam terlihat ingin sekali menghentikan keinginan Rain.
“Tidak akan kambuh.” Rain menyela Nam.
“Jika 3 tahun, aku rasa,,”
“Jika aku menjaga diriku, tidak akan ada bedanya dengan orang sehat kebanyakan.” Rain mengatakan itu sambil memegang dadanya sendiri. “Kanker paru-paru bukan yang menentukan hidup dan mati ku.” Kata Rain dengan wajah serius. “Bukan kah sudah ku buktikan dengan hidup bersamamu selama 10 tahun ini?”
Bruuugghhh.....
Anya menjatuhkan barang yang ada di pelukannya tadi. Semua coklat yang dibelinya di Happy Supermarket berhamburan keluar kertas belanjaan. Ia menatap Rain tak percaya sekarang. Tatapannya saat ini tak bisa diartikan. Apa pendengarannya salah? Apa yang sedang Rain bicarakan tadi? Dia menyebutkan apa?
Tanpa terasa, air mata Anya sudah membasahi kedua pipinya. Ia menangis. Entah menangis karena apa, ia sendiri juga tidak mengerti. Yang ia tahu, ia merasa Tuhan tidak adil saja.
“Anya?” Rain dan Nam menyebutkan namanya secara bersamaan. Mereka terkejut melihat Anya berdiri disini. Mereka baru menyadari kehadirannya.
Anya bingung harus mengatakan apa. Harus berkomentar apa, tapi ia yakin, Rain tak butuh komentarnya. “Apa tadi benar?” sebagai ganti komentar, dia bertanya untuk meyakinkan diri sendiri juga.
Anya memandang Rain. Dengan langkah pelan, ia mendekatinya. Saat jarak mereka terpaut 2 meter, Anya berhenti dan mengulangi pertanyaannya lagi. “Apa tadi benar?”
Nam hendak mendekati Anya, tapi Rain mencegahnya. Terlihat Rain mengangguk dan menatap mata Anya dengan serius. “Benar.” Katanya. “Ada kanker disini.” Tambahnya sambil menunjuk dadanya, ke arah paru-paru miliknya.
Anya menahan napas saat itu, memandang ke arah dada Rain dengan pandangan kabur oleh air mata. “Oppa..” katanya lirih..
===================
OWARIIIII~~~~~~~~~~~
masi lanjut, tpi otak gex buntu.
cari inspirasi dbawah phon semangka.
*ngacir sambil bwa pulang semangka
buat Ana, thx buanget udah nunggu lagi..
jgn cape buat nunggu ea..
Sankyu!!
Saigo ni,
buat pra pmbaca, (yg ntah ada ntah g), hontou ni arigato na!
Ja ne!
Ayu deshita!
\^o^/
Tuesday, September 06, 2011
[fanfic] Oppa, Saranghae yo! (chapter III)
Sudah 2 bulan berlalu sejak peristiwa ‘penunjukan’ yang dilakukan Anya terhadap Rain. Selama ini pula Rain terus menghindari Anya. Anya hampir frustasi dengan sikap Rain yang seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, dia salah dan sudah berusaha meminta maaf, tapi Rain bukannya memberi maaf, malah kabur seperti anak kecil. Entah karena apa Rain seperti itu.
Setiap kali Anya menampakkan diri didekat Nam, Rain selalu menyingkir. Tapi sudut matanya berkata lain. Tanpa disangka, Anya juga selalu mengikuti setiap gerak-gerik Rain.
“Sudah kuduga pria itu memang aneh. Ada yang aneh yang sedang menggerogoti pikirannya. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku? Setiap kali melihatku kenapa selalu kabur? Setiap kali aku muncul kenapa dia selalu berjengit dan langsung menghilang? Kenapa setiap kali aku ada bersama Nam dia selalu menyingkir? Apa salahku padanya? Apa yang sudah kuperbuat padanya? Hanya menunjuk seperti itu apa sudah melukai harga dirinya sebagai seorang aktor terkenal? Apa iya, seorang aktor sekalipun tidak bisa memafkan aku yang sudah berkali-kali meminta maaf kepadanya? Apa sih bagusnya dia? Dia hanya menang di wajah saja. Ku akui dia lebih seksi dari Nam. Tapi Nam jauh lebih baik dari dia. Nam jauh dari segalanya. Kenapa dia selalu seperti ini padaku? Apa yang harus kulakukan lagi agar dia mau menoleh padaku lagi? Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?” Anya terlihat bergumam di pojok ruang tunggu di lantai 2 siang ini. Jadwal Nam bulan ini sudah terselesaikan sepenuhnya berkat kerja keras Anya dan juga Nam sendiri.
Anya, karena sering begadang dikarenakan tugas-tugas nya sebagai manager, menjadi agak sedikit horor tentang penampilan. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajah hanya dipoles dengan bedak dan lipstik seadanya. Pakaian, yang layak pakai saja, tapi tetap modis jika dilihat. Jika diperhatikan, daerah disekitar matanya menjadi agak kehitaman karena kelelahan, tapi tertutupi dengan kacamatanya yang sering bertengger di atas hidungnya.
“Kau perlu istirahat, manager.” Anya terkejut bukan main saat mendengar suara Nam sedekat itu di telinga kanannya. Benar saja, dia ada di sana. Memperhatikan Anya dengan wajah cemas.
“Kau baik-baik saja, manager?” tanya Nam lagi saat Anya menjauhkan dirinya dari wajah Nam yang sedekat tadi, memegangi telinga kanannya dengan wajah merah.
Anya menggeleng hebat. “Saya tidak apa-apa. Hanya saja,,” Anya tidak melanjutkan omongannya.
“Mo?” Nam memasang wajah yang super lembut ke arah Anya. Membuatnya tak bisa menipu Nam untuk kesekian kalinya. Akal sehat merajai pikirannya,
“Kim Nam-Gil ssi ada jadwal yang harus dipenuhi sore ini pukul 15.13 di Seoul Television.” Kata Anya sambil membuka-buka file kecilnya.
Nam mendesah dan menegakkan duduknya, “Baiklah.”
Di mobil sedan putih yang dikendarai oleh Nam dan juga Anya, yang sedang menuju ke Seoul Television –Nam yang menyetir karena Anya belum terbiasa dengan jalur kanan. Selama perjalanan, Anya lebih banyak diam. Membuat Nam yang mengira gadis yang sudah 2 bulan menjadi managernya itu adalah tipe gadis cerewet, juga ikut terdiam. Seperti teringat sesuatu, Nam merogoh-rogoh tas yang ada di tengah kursi setir. Anya memperhatikan.
Nam terus mengaduk isinya, berusaha menemukan sesuatu di dalamnya yang tidak kunjung ditemukannya. Anya yang melihat itu juga sempat khawatir, apa ada barang yang tertinggal? Begitu pikirnya.
“Kim Nam-Gil ssi sedang mencari sesuatu?” tanya Anya menawarkan diri untuk membantu dalam nada bicaranya.
Wajah Nam kembali cerah, seolah-olah sudah mendapat apa yang sedang ia cari dari tadi. “Ketemu!” seru nya senang. Kemudian menarik tangannya dari tas dan menyetir lagi. Anya mengerutkan kening, tak ada apa-apa di tangan Nam.
“Apa yang anda cari?” tanya Anya penasaran.
Nam menoleh ke arah Anya dan menampakkan senyumnya. “Sudah kutemukan. Tidak usah dicari lagi.” Jelasnya.
Tidak masuk akal. “Jadi, apa yang sedang Anda cari? Ditangan Anda tidak ada barang sama sekali. Jika memang ada yang tertinggal, biar saya yang mengambilnya untuk Anda.” Kata Anya menawarkan diri.
Nam menggeleng. “Tidak. Tidak. Tidak perlu. Yang kucari sudah kutemukan.” Nam menoleh ke arah wajah Anya yang masih tergambar jelas pertanyaannya. “Aku mencari suara mu.” Katanya. “Dan itu sudah ketemu. Iya, kan?”
Anya merasa wajahnya terbakar lagi. Dia mengangguk dan berkata, “Iya.” Secara singkat dan dapat dimengerti oleh Nam yang sekarang sudah duduk di belakang setir dengan benar.
“Apa ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu?” tanya Nam mengawali pembicaraannya di dalam mobil yang tadi sempat terasa seperti sebuah pemakaman.
Anya menoleh ke arah lawan bicaranya, ia tersenyum. “Untuk pekerjaan Kim Nam-Gil ssi, semuanya lancar-lancar saja. Dan sudah saya perkirakan, 2 bulan kedepan lagi semua tugas yang lalu sudah terselesaikan semuanya.” Jawab Anya sambil mengutak-atik buku agendanya –dulu buku hariannya, tapi sekarang berubah fungsi.
Nam menggeleng, “Bukan pekerjaan, tapi kau. Apa ada yang sedang kau pikirkan?”
“Eh?” Anya belum mengerti arah pembicaraan mereka berdua sekarang. “Maksud Kim Nam-Gil ssi?”
“Apa kau baik saja dengan Rain?” saat Nam mengucapkan nama Rain, entah kenapa air mata Anya mengalir. Nam terkejut bukan main dengan pemandangan yang ada di depannya ini. Apa dia salah ucap?
“Ke, kenapa?” Nam panik melihat Anya. Anya hanya diam dalam tangisnya yang tak bersuara itu.
Alih-alih menjawab, Anya hanya menggelengkan kepala. Nam mendesah, ”Dia memang sudah keterlaluan.”
Anya menghapus air matanya dan berusaha untuk tersenyum. Seoul Television sudah ada di depan sekarang. Mereka harus bergegas. Jam menunjukkan pukul 14.30. Masih ada waktu untuk makan siang. Setelah memarkir mobil di tempat pemarkiran di dalam gedung sebelah dalam, Nam turun dengan Anya. Mereka berjalan menuju ke dalam gedung stasiun televisi itu.
“Kim Nam-Gil ssi, masih ada waktu 30 menit untuk makan siang terlebih dahulu sebelum jadwal Anda berlangsung.” Kata Anya, masih dengan buku agenda di tangannya.
“Sebaiknya Anda makan siang terlebih dahulu, biar saya yang lebih dulu menemui pembawa acara sore ini. Setelah itu saya akan menyusul Anda.” Anya masih berjalan dengan Nam dan menemukan kantin kantor. Saat Nam sudah masuk ke kantin, Anya pamit untuk menemui pembawa acara sore ini.
“Kembali dalam 15 menit.” Perintah Nam kepada Anya. Dia tahu, Anya juga belum makan dari tadi pagi.
Anya mengangguk dan membungkukkan badannya lagi ke arah Nam. Lalu berbalik meninggalkan Nam. Nam hanya bisa menghela napas panjang saat melihat punggung gadis itu menghilang dari pandangannya.
“Melihatnya seperti itu, aku jadi ingin memeluknya.” Gumam Nam di sela-sela makan siangnya. Ia melihat jam di tangan kirinya, sudah 10 menit gadis itu meninggalkannya. Dia jadi cemas.
“Dia mengkhawatirkan.” Kata Nam menyuarakan isi pikirannya. Membuat seseorang yang dari tadi memperhatikannya berkomentar dan menghampirinya,
“Siapa yang mengkhawatirkan?” seorang gadis dengan penampilan layaknya seorang ratu di jaman korea kuno –mungkin sedang shooting untuk iklan, berjalan menghampirinya. Nam terkejut dengan siapa sekarang ia bertemu lagi setelah sekian lama.
Nam berdiri dari duduknya, memandang gadis yang ada di depannya dengan wajah tak percaya. “Eva?”
Gadis yang dipanggil Eva itu kini tersenyum manis ke arah Nam. “Long time no see, Kim.” Kata gadis itu dengan aksen amerikanya yang kental. Rambut pirangnya menandakan ia bukan lah gadis korea asli. Matanya yang besar menambah fakta yang ada.
“Why you comeback here?” tanya Nam kemudian, masih berdiri dan meninggalkan makan siangnya begitu saja. Wajah Nam terlihat menegang, tapi tak ada yang menyadarinya.
Gadis itu hendak meraih tangan Nam, tetapi Nam menyingkirkan tangannya. Merasa ditolak mentah-mentah gadis itu tersenyum miris. “You changed, Kim.”
Nam benar-benar muak dengan ini. Gadis yang pernah bersamanya ini meninggalkannya karena tergila-gila dengan pria lain yang notabennya adalah managernya sendiri dulu. Soo Min-Hyo. “Bukan aku tapi kau.” Kata Nam dengan bahasa koreanya. Kemudian segera meninggalkan gadis yang bernama Eva.
“Kau tidak bisa memperlakukan ku seperti ini, Kim!” teriak Eva dengan berang. Semua orang memperhatikan. Nam berhenti dari upayanya pergi dari hadapan gadis itu, lalu berbalik. Pandangan mereka bertemu sekarang.
“What do you want?” Nam bertanya dengan sikapnya yang dingin kepada gadis yang sekarang sudah ada sekitar 2 meter darinya.
“Can you come back to me?” tanya Eva dengan wajah memelasnya.
“I can’t.”
“Why?”
Nam tidak menemukan alasan yang tepat untuk menolak Eva sekarang. Dia melihat bayangan gadis yang sudah ada bersamanya selama 2 bulan terakhir ini, tanpa pikir panjang lagi, ia menarik gadis itu dalam pelukannya dan memeluknya di hadapan Eva. Seketika itu Eva membesarkan matanya karena terkejut.
“I can’t! Now, you’ve knew what the reason.” Kata Nam dengan pandangan serius.
Eva membekap mulutnya sendiri, air matanya yang tumpah tak membuat Nam melepaskan Anya dari pelukannya. Eva merasa dirinya benar-benar hancur sekarang. Orang yang ingin ditemuinya telah berubah sejauh ini. Dia berlari meninggalkan kantin stasiun televisi itu. Entah dia lari kemana, Nam tidak akan peduli lagi. Sudah cukup gadis itu membuatnya sakit hati selama 5 tahun sebelum dia bertemu dengan Anya.
Eva McMillan. Seorang gadis keturunan amerika-jepang. Usianya 5 tahun lebih muda dari Nam. Tapi entah dia masih gadis atau tidak sekarang, Nam tidak akan memikirkannya lagi. Sudah cukup dia merasa terbohongi hampir 5 tahun lamanya oleh gadis itu. Pertemuannya yang sangat tak terduga membuat Nam merasa jatuh hati, tapi kemudian ia menyadari setelah 5 tahun, pertemuannya dengan gadis itu adalah salah. Gadis yang benar-benar tidak punya hati. Dulu Rain pernah memberi nasihat kepadanya, tapi tak pernah diindahkannya nasihat itu. Rain sampai kesal dibuatnya. Selama Nam pacaran dengan Eva, ternyata di belakang Nam, Eva juga berpacaran dengan Soo Min-Hyo, yang tak lain adalah manager utamanya 8 tahun yang lalu. Eva adalah asisten manager yang dipilih Soo Min-Hyo untuknya. Karena gadis itu, Nam hampir dikeluarkan dari SA. Karena gadis itu, Rain sampai memusuhinya selama 4 bulan. Karena gadis itu, semuanya jadi tak berarti. Semua karena gadis itu. Nam sudah muak.
Itu kisah lama. Kenang Nam saat memikirkannya. Tanpa disadari, Anya yang sedari tadi dalam pelukan Nam tidak bisa melepaskan diri dengan mudah. Tangan Nam begitu kekar. Anya terbelenggu di dalamnya. Tapi dia merasakan perasaan yang nyaman ada di dalam sana. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Siapa gadis itu? Ada hubungan apa dia dengan Nam? Kenapa Nam tiba-tiba memeluknya seperti ini? Dan sampai sekarang, pelukan ini malah tambah erat.
Nam tersentak saat sadar. Dia langsung melepaskan pelukannya dari tubuh kecil Anya. Anya sempat terhuyung saat tangan kekar Nam ditarik pemiliknya tanpa ada pemberitahuan. Nam segera menangkap tangan Anya, membantunya berdiri tegak. Anya memandang Nam penuh tanya. Wajahnya benar-benar penuh pertanyaan sekarang. Mata Nam tidak bisa tenang. Dia mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan yang tersirat itu. Matanya sibuk kesana kemari, membuat Anya semakin yakin, ada yang sedang disembunyikan.
Merasa tidak mendapat kalimat tepat, Nam membungkukkan badannya di hadapan Anya, “Maafkan aku!” katanya kemudian. Anya mengerjap-ngerjapkan matanya karena bingung.
“Eh?” hanya itu kata yang terucap dari mulut Anya.
“Maaf sudah memelukmu tiba-tiba dan mengatakan hal seperti tadi.” Jelas Nam masih dengan posisi membungkukkan badannya. Semua orang yang ada di kantin terlihat berbisik-bisik. Anya merasa malu diperhatikan seperti itu.
“Ah, tidak apa-apa, Nam-Gil oppa.. Aku mengerti kok.” Anya berusaha mengimbangi jalan pikirannya. Dia harus terlihat seolah-olah ini bukanlah masalah besar. Sebagian yang ada di kantin mulai mengacung-acungkan tangannya ke arah Nam.
“Bukankah itu Kim Nam-Gil yang populer itu?”
“Siapa gadis asing yang bertengkar dengannya tadi?”
“Siapa gadis yang dipeluknya tadi?”
Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulut orang-orang disekitarnya. Anya benar-benar merasa sangat tidak nyaman. Untung saja mayoritas orang korea tidak mempelajari bahasa inggris. Jika iya, bisa jadi hotline di media massa besok.
Anya menegakkan tubuh Nam. “Oppa, sekarang kita harus pergi.” Kata Anya tanpa mempedulikan tunjukan dari orang-orang sekitar. Anya menggandeng tangan Nam dan berjalan keluar kantin. Dalam hati, Anya sempat dongkol juga.
“Anya,” Nam menyebutkan namanya pelan, membuat Anya meleleh sesaat. Dia berbalik menghadap Nam.
“Iya?”
Nam tersenyum melihat wajah gadis itu sudah kembali ke keadaan semula. “Kumawo.”
Anya balas tersenyum, mengangguk dan berkata, “Sama-sama.” Anya melepaskan genggaman tangannya dari tangan Nam. Dan berjalan di depan Nam untuk menuju ke ruangan wawancara.
“Anya!” panggilnya lagi, untuk kesekian kalinya, Anya menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.
“Ada apa Kim Nam-Gil ssi?”
Nam berjalan menghampiri Anya yang berdiri saja di hadapannya. Ia menyentuh kepala Anya sekilas sambil menyunggingkan senyum nya. “Jika hanya ada kita kau boleh memanggilku ‘oppa’ seperti tadi, manager.” Katanya di sela-sela jalannya. Anya mendengar dengan jelas kalimat itu. Senyum bahagia merekah dari bibirnya. Ia segera mengikuti Nam di belakangnya. Berjalan menuju ruangan wawancara sore itu.
==============
Brukk!!
Gadis dengan pakaian yang serba mencolok itu menabrak Rain di tengah larinya. Rain terhuyung ke belakang karena pikirannya sekarang sedang tidak ada pada tempatnya. Apa yang baru saja didengarnya itu? Kenapa bisa seperti itu?
Rain mendengar apa yang mereka katakan. Rain melihat apa yang mereka lakukan. Rain merasa pikirannya kosong. Apa ini? Dada ku, sakit..
Rain berjalan terhuyung dan bersandar di dinding yang berada didekatnya. “Apa tadi?” tanya Rain lebih-lebih pada dirinya sendiri. Dia hampir-hampir tak percaya. Kilatan mata serius tadi, bukan cuma gertakan. Akan ada yang lebih suatu saat nanti. “Apa yang akan terjadi?”
**************************
Hyaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!
owarimasu~~~
kehkehkeh
buat Ana, please stay waiting for my otak. ^bhasa asal
hehehehe
mina-san, hontou ni arigato~ kumawo yo~~
sutori o yonda kara.. arigato..makasih uda bca
sutori o matte kara, arigato..makasih uda nunggu
watashi o matte kara, hontou hontou ni arigato.. ^kgak ada hbungan'a..
saigo ni,,
Ja ne!
\^o^/
ayu deshita!
Setiap kali Anya menampakkan diri didekat Nam, Rain selalu menyingkir. Tapi sudut matanya berkata lain. Tanpa disangka, Anya juga selalu mengikuti setiap gerak-gerik Rain.
“Sudah kuduga pria itu memang aneh. Ada yang aneh yang sedang menggerogoti pikirannya. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku? Setiap kali melihatku kenapa selalu kabur? Setiap kali aku muncul kenapa dia selalu berjengit dan langsung menghilang? Kenapa setiap kali aku ada bersama Nam dia selalu menyingkir? Apa salahku padanya? Apa yang sudah kuperbuat padanya? Hanya menunjuk seperti itu apa sudah melukai harga dirinya sebagai seorang aktor terkenal? Apa iya, seorang aktor sekalipun tidak bisa memafkan aku yang sudah berkali-kali meminta maaf kepadanya? Apa sih bagusnya dia? Dia hanya menang di wajah saja. Ku akui dia lebih seksi dari Nam. Tapi Nam jauh lebih baik dari dia. Nam jauh dari segalanya. Kenapa dia selalu seperti ini padaku? Apa yang harus kulakukan lagi agar dia mau menoleh padaku lagi? Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?” Anya terlihat bergumam di pojok ruang tunggu di lantai 2 siang ini. Jadwal Nam bulan ini sudah terselesaikan sepenuhnya berkat kerja keras Anya dan juga Nam sendiri.
Anya, karena sering begadang dikarenakan tugas-tugas nya sebagai manager, menjadi agak sedikit horor tentang penampilan. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajah hanya dipoles dengan bedak dan lipstik seadanya. Pakaian, yang layak pakai saja, tapi tetap modis jika dilihat. Jika diperhatikan, daerah disekitar matanya menjadi agak kehitaman karena kelelahan, tapi tertutupi dengan kacamatanya yang sering bertengger di atas hidungnya.
“Kau perlu istirahat, manager.” Anya terkejut bukan main saat mendengar suara Nam sedekat itu di telinga kanannya. Benar saja, dia ada di sana. Memperhatikan Anya dengan wajah cemas.
“Kau baik-baik saja, manager?” tanya Nam lagi saat Anya menjauhkan dirinya dari wajah Nam yang sedekat tadi, memegangi telinga kanannya dengan wajah merah.
Anya menggeleng hebat. “Saya tidak apa-apa. Hanya saja,,” Anya tidak melanjutkan omongannya.
“Mo?” Nam memasang wajah yang super lembut ke arah Anya. Membuatnya tak bisa menipu Nam untuk kesekian kalinya. Akal sehat merajai pikirannya,
“Kim Nam-Gil ssi ada jadwal yang harus dipenuhi sore ini pukul 15.13 di Seoul Television.” Kata Anya sambil membuka-buka file kecilnya.
Nam mendesah dan menegakkan duduknya, “Baiklah.”
Di mobil sedan putih yang dikendarai oleh Nam dan juga Anya, yang sedang menuju ke Seoul Television –Nam yang menyetir karena Anya belum terbiasa dengan jalur kanan. Selama perjalanan, Anya lebih banyak diam. Membuat Nam yang mengira gadis yang sudah 2 bulan menjadi managernya itu adalah tipe gadis cerewet, juga ikut terdiam. Seperti teringat sesuatu, Nam merogoh-rogoh tas yang ada di tengah kursi setir. Anya memperhatikan.
Nam terus mengaduk isinya, berusaha menemukan sesuatu di dalamnya yang tidak kunjung ditemukannya. Anya yang melihat itu juga sempat khawatir, apa ada barang yang tertinggal? Begitu pikirnya.
“Kim Nam-Gil ssi sedang mencari sesuatu?” tanya Anya menawarkan diri untuk membantu dalam nada bicaranya.
Wajah Nam kembali cerah, seolah-olah sudah mendapat apa yang sedang ia cari dari tadi. “Ketemu!” seru nya senang. Kemudian menarik tangannya dari tas dan menyetir lagi. Anya mengerutkan kening, tak ada apa-apa di tangan Nam.
“Apa yang anda cari?” tanya Anya penasaran.
Nam menoleh ke arah Anya dan menampakkan senyumnya. “Sudah kutemukan. Tidak usah dicari lagi.” Jelasnya.
Tidak masuk akal. “Jadi, apa yang sedang Anda cari? Ditangan Anda tidak ada barang sama sekali. Jika memang ada yang tertinggal, biar saya yang mengambilnya untuk Anda.” Kata Anya menawarkan diri.
Nam menggeleng. “Tidak. Tidak. Tidak perlu. Yang kucari sudah kutemukan.” Nam menoleh ke arah wajah Anya yang masih tergambar jelas pertanyaannya. “Aku mencari suara mu.” Katanya. “Dan itu sudah ketemu. Iya, kan?”
Anya merasa wajahnya terbakar lagi. Dia mengangguk dan berkata, “Iya.” Secara singkat dan dapat dimengerti oleh Nam yang sekarang sudah duduk di belakang setir dengan benar.
“Apa ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu?” tanya Nam mengawali pembicaraannya di dalam mobil yang tadi sempat terasa seperti sebuah pemakaman.
Anya menoleh ke arah lawan bicaranya, ia tersenyum. “Untuk pekerjaan Kim Nam-Gil ssi, semuanya lancar-lancar saja. Dan sudah saya perkirakan, 2 bulan kedepan lagi semua tugas yang lalu sudah terselesaikan semuanya.” Jawab Anya sambil mengutak-atik buku agendanya –dulu buku hariannya, tapi sekarang berubah fungsi.
Nam menggeleng, “Bukan pekerjaan, tapi kau. Apa ada yang sedang kau pikirkan?”
“Eh?” Anya belum mengerti arah pembicaraan mereka berdua sekarang. “Maksud Kim Nam-Gil ssi?”
“Apa kau baik saja dengan Rain?” saat Nam mengucapkan nama Rain, entah kenapa air mata Anya mengalir. Nam terkejut bukan main dengan pemandangan yang ada di depannya ini. Apa dia salah ucap?
“Ke, kenapa?” Nam panik melihat Anya. Anya hanya diam dalam tangisnya yang tak bersuara itu.
Alih-alih menjawab, Anya hanya menggelengkan kepala. Nam mendesah, ”Dia memang sudah keterlaluan.”
Anya menghapus air matanya dan berusaha untuk tersenyum. Seoul Television sudah ada di depan sekarang. Mereka harus bergegas. Jam menunjukkan pukul 14.30. Masih ada waktu untuk makan siang. Setelah memarkir mobil di tempat pemarkiran di dalam gedung sebelah dalam, Nam turun dengan Anya. Mereka berjalan menuju ke dalam gedung stasiun televisi itu.
“Kim Nam-Gil ssi, masih ada waktu 30 menit untuk makan siang terlebih dahulu sebelum jadwal Anda berlangsung.” Kata Anya, masih dengan buku agenda di tangannya.
“Sebaiknya Anda makan siang terlebih dahulu, biar saya yang lebih dulu menemui pembawa acara sore ini. Setelah itu saya akan menyusul Anda.” Anya masih berjalan dengan Nam dan menemukan kantin kantor. Saat Nam sudah masuk ke kantin, Anya pamit untuk menemui pembawa acara sore ini.
“Kembali dalam 15 menit.” Perintah Nam kepada Anya. Dia tahu, Anya juga belum makan dari tadi pagi.
Anya mengangguk dan membungkukkan badannya lagi ke arah Nam. Lalu berbalik meninggalkan Nam. Nam hanya bisa menghela napas panjang saat melihat punggung gadis itu menghilang dari pandangannya.
“Melihatnya seperti itu, aku jadi ingin memeluknya.” Gumam Nam di sela-sela makan siangnya. Ia melihat jam di tangan kirinya, sudah 10 menit gadis itu meninggalkannya. Dia jadi cemas.
“Dia mengkhawatirkan.” Kata Nam menyuarakan isi pikirannya. Membuat seseorang yang dari tadi memperhatikannya berkomentar dan menghampirinya,
“Siapa yang mengkhawatirkan?” seorang gadis dengan penampilan layaknya seorang ratu di jaman korea kuno –mungkin sedang shooting untuk iklan, berjalan menghampirinya. Nam terkejut dengan siapa sekarang ia bertemu lagi setelah sekian lama.
Nam berdiri dari duduknya, memandang gadis yang ada di depannya dengan wajah tak percaya. “Eva?”
Gadis yang dipanggil Eva itu kini tersenyum manis ke arah Nam. “Long time no see, Kim.” Kata gadis itu dengan aksen amerikanya yang kental. Rambut pirangnya menandakan ia bukan lah gadis korea asli. Matanya yang besar menambah fakta yang ada.
“Why you comeback here?” tanya Nam kemudian, masih berdiri dan meninggalkan makan siangnya begitu saja. Wajah Nam terlihat menegang, tapi tak ada yang menyadarinya.
Gadis itu hendak meraih tangan Nam, tetapi Nam menyingkirkan tangannya. Merasa ditolak mentah-mentah gadis itu tersenyum miris. “You changed, Kim.”
Nam benar-benar muak dengan ini. Gadis yang pernah bersamanya ini meninggalkannya karena tergila-gila dengan pria lain yang notabennya adalah managernya sendiri dulu. Soo Min-Hyo. “Bukan aku tapi kau.” Kata Nam dengan bahasa koreanya. Kemudian segera meninggalkan gadis yang bernama Eva.
“Kau tidak bisa memperlakukan ku seperti ini, Kim!” teriak Eva dengan berang. Semua orang memperhatikan. Nam berhenti dari upayanya pergi dari hadapan gadis itu, lalu berbalik. Pandangan mereka bertemu sekarang.
“What do you want?” Nam bertanya dengan sikapnya yang dingin kepada gadis yang sekarang sudah ada sekitar 2 meter darinya.
“Can you come back to me?” tanya Eva dengan wajah memelasnya.
“I can’t.”
“Why?”
Nam tidak menemukan alasan yang tepat untuk menolak Eva sekarang. Dia melihat bayangan gadis yang sudah ada bersamanya selama 2 bulan terakhir ini, tanpa pikir panjang lagi, ia menarik gadis itu dalam pelukannya dan memeluknya di hadapan Eva. Seketika itu Eva membesarkan matanya karena terkejut.
“I can’t! Now, you’ve knew what the reason.” Kata Nam dengan pandangan serius.
Eva membekap mulutnya sendiri, air matanya yang tumpah tak membuat Nam melepaskan Anya dari pelukannya. Eva merasa dirinya benar-benar hancur sekarang. Orang yang ingin ditemuinya telah berubah sejauh ini. Dia berlari meninggalkan kantin stasiun televisi itu. Entah dia lari kemana, Nam tidak akan peduli lagi. Sudah cukup gadis itu membuatnya sakit hati selama 5 tahun sebelum dia bertemu dengan Anya.
Eva McMillan. Seorang gadis keturunan amerika-jepang. Usianya 5 tahun lebih muda dari Nam. Tapi entah dia masih gadis atau tidak sekarang, Nam tidak akan memikirkannya lagi. Sudah cukup dia merasa terbohongi hampir 5 tahun lamanya oleh gadis itu. Pertemuannya yang sangat tak terduga membuat Nam merasa jatuh hati, tapi kemudian ia menyadari setelah 5 tahun, pertemuannya dengan gadis itu adalah salah. Gadis yang benar-benar tidak punya hati. Dulu Rain pernah memberi nasihat kepadanya, tapi tak pernah diindahkannya nasihat itu. Rain sampai kesal dibuatnya. Selama Nam pacaran dengan Eva, ternyata di belakang Nam, Eva juga berpacaran dengan Soo Min-Hyo, yang tak lain adalah manager utamanya 8 tahun yang lalu. Eva adalah asisten manager yang dipilih Soo Min-Hyo untuknya. Karena gadis itu, Nam hampir dikeluarkan dari SA. Karena gadis itu, Rain sampai memusuhinya selama 4 bulan. Karena gadis itu, semuanya jadi tak berarti. Semua karena gadis itu. Nam sudah muak.
Itu kisah lama. Kenang Nam saat memikirkannya. Tanpa disadari, Anya yang sedari tadi dalam pelukan Nam tidak bisa melepaskan diri dengan mudah. Tangan Nam begitu kekar. Anya terbelenggu di dalamnya. Tapi dia merasakan perasaan yang nyaman ada di dalam sana. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Siapa gadis itu? Ada hubungan apa dia dengan Nam? Kenapa Nam tiba-tiba memeluknya seperti ini? Dan sampai sekarang, pelukan ini malah tambah erat.
Nam tersentak saat sadar. Dia langsung melepaskan pelukannya dari tubuh kecil Anya. Anya sempat terhuyung saat tangan kekar Nam ditarik pemiliknya tanpa ada pemberitahuan. Nam segera menangkap tangan Anya, membantunya berdiri tegak. Anya memandang Nam penuh tanya. Wajahnya benar-benar penuh pertanyaan sekarang. Mata Nam tidak bisa tenang. Dia mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan yang tersirat itu. Matanya sibuk kesana kemari, membuat Anya semakin yakin, ada yang sedang disembunyikan.
Merasa tidak mendapat kalimat tepat, Nam membungkukkan badannya di hadapan Anya, “Maafkan aku!” katanya kemudian. Anya mengerjap-ngerjapkan matanya karena bingung.
“Eh?” hanya itu kata yang terucap dari mulut Anya.
“Maaf sudah memelukmu tiba-tiba dan mengatakan hal seperti tadi.” Jelas Nam masih dengan posisi membungkukkan badannya. Semua orang yang ada di kantin terlihat berbisik-bisik. Anya merasa malu diperhatikan seperti itu.
“Ah, tidak apa-apa, Nam-Gil oppa.. Aku mengerti kok.” Anya berusaha mengimbangi jalan pikirannya. Dia harus terlihat seolah-olah ini bukanlah masalah besar. Sebagian yang ada di kantin mulai mengacung-acungkan tangannya ke arah Nam.
“Bukankah itu Kim Nam-Gil yang populer itu?”
“Siapa gadis asing yang bertengkar dengannya tadi?”
“Siapa gadis yang dipeluknya tadi?”
Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulut orang-orang disekitarnya. Anya benar-benar merasa sangat tidak nyaman. Untung saja mayoritas orang korea tidak mempelajari bahasa inggris. Jika iya, bisa jadi hotline di media massa besok.
Anya menegakkan tubuh Nam. “Oppa, sekarang kita harus pergi.” Kata Anya tanpa mempedulikan tunjukan dari orang-orang sekitar. Anya menggandeng tangan Nam dan berjalan keluar kantin. Dalam hati, Anya sempat dongkol juga.
“Anya,” Nam menyebutkan namanya pelan, membuat Anya meleleh sesaat. Dia berbalik menghadap Nam.
“Iya?”
Nam tersenyum melihat wajah gadis itu sudah kembali ke keadaan semula. “Kumawo.”
Anya balas tersenyum, mengangguk dan berkata, “Sama-sama.” Anya melepaskan genggaman tangannya dari tangan Nam. Dan berjalan di depan Nam untuk menuju ke ruangan wawancara.
“Anya!” panggilnya lagi, untuk kesekian kalinya, Anya menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.
“Ada apa Kim Nam-Gil ssi?”
Nam berjalan menghampiri Anya yang berdiri saja di hadapannya. Ia menyentuh kepala Anya sekilas sambil menyunggingkan senyum nya. “Jika hanya ada kita kau boleh memanggilku ‘oppa’ seperti tadi, manager.” Katanya di sela-sela jalannya. Anya mendengar dengan jelas kalimat itu. Senyum bahagia merekah dari bibirnya. Ia segera mengikuti Nam di belakangnya. Berjalan menuju ruangan wawancara sore itu.
==============
Brukk!!
Gadis dengan pakaian yang serba mencolok itu menabrak Rain di tengah larinya. Rain terhuyung ke belakang karena pikirannya sekarang sedang tidak ada pada tempatnya. Apa yang baru saja didengarnya itu? Kenapa bisa seperti itu?
Rain mendengar apa yang mereka katakan. Rain melihat apa yang mereka lakukan. Rain merasa pikirannya kosong. Apa ini? Dada ku, sakit..
Rain berjalan terhuyung dan bersandar di dinding yang berada didekatnya. “Apa tadi?” tanya Rain lebih-lebih pada dirinya sendiri. Dia hampir-hampir tak percaya. Kilatan mata serius tadi, bukan cuma gertakan. Akan ada yang lebih suatu saat nanti. “Apa yang akan terjadi?”
**************************
Hyaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!
owarimasu~~~
kehkehkeh
buat Ana, please stay waiting for my otak. ^bhasa asal
hehehehe
mina-san, hontou ni arigato~ kumawo yo~~
sutori o yonda kara.. arigato..
sutori o matte kara, arigato..
watashi o matte kara, hontou hontou ni arigato.. ^kgak ada hbungan'a..
saigo ni,,
Ja ne!
\^o^/
ayu deshita!
Thursday, September 01, 2011
[fanfic] Oppa, Saranghae yo! (chapter II)
Trrtt.. Trrtt..
Ponsel Nam bergetar di samping tempat tidurnya. Ia membuka mata dengan perasaan campur aduk. Acara makan malam yang diadakan 9 jam yang lalu membuatnya berpikir dua kali tentang gadis bernama Kim Anya.
“Bukan maksud saya untuk mencampuri pekerjaan yang sudah manager lama Kim Nam-Gil ssi ambil, tapi, untuk sekarang dan selama masa jabatan saya, manager Kim Nam-Gil ssi adalah saya. Dan saya akan mengambil pekerjaan yang sekiranya Kim Nam-Gil ssi bisa lakukan, dan waktu nya tidak mengganggu istirahat Kim Nam-Gil ssi. Kesehatan Kim Nam-Gil ssi akhir-akhir ini mengalami penurunan. Saya sudah mengecek data kesehatan Kim Nam-Gil ssi hari ini. Untuk sekarang, saya rasa Kim Nam-Gil ssi harus menuruti kata-kata saya sampai Kim Nam-Gil ssi benar-benar sudah sehat kembali. Apa anda mengerti, Kim Nam-Gil ssi?” Anya bicara tanpa jeda sedikitpun malam itu. Membuat Rain yang duduk disamping Nam mengerjapkan mata berkali-kali melihat dan mendengar kejadian itu secara langsung.
“Benar kan apa kata ku. Gadis ini benar-benar berbeda. Buktinya, dia begitu cerewet dan overprotective padamu.” Rain berbisik tepat di telinga Nam. Anya hampir melempar file di tangannya kalau saja Rain tidak menegakkan duduknya lagi. “Dan dia juga galak.” Gerutu Rain.
Nam tersenyum lagi mengingat kejadian semalam. Seharusnya itu acara makan malam pertama yang diadakan Nam dan Anya –Anya sudah menantikannya, tapi rusak gara-gara kemunculan Rain yang tidak terduga.
“Semoga saja benar-benar berbeda..” Kata Nam lebih-lebih pada dirinya sendiri. Ia menjulurkan tangannya untuk meraih ponsel di samping tempat tidurnya. Jam di ponsel menunjukkan pukul 4 a.m waktu setempat. Ada 1 e-mail masuk. Ia buka flip ponselnya dan membaca nama yang tertera di layarnya. Rain.
From : Rain-bodoh
Subject : mimpi buruk
Aku mimpi buruk malam ini.
Tentang gadis baru yang ada di sampingmu.
Dia dengan tega melempari ku dengan file besar yang ada di tangannya.
-Rain-
E-mail itu membuat Nam tertawa kecil untuk kesekian kalinya. Ia memencet reply untuk membalas e-mail yang dikirim sahabatnya itu.
To : Rain-bodoh
Subject: Re: mimpi buruk
Selamat, ya!
Akhirnya kau membangunkan ku tepat jam 4 pagi hari ini.
Aku jadi tidak bisa tidur lagi.
Padahal aku baru memejamkan mata 15 menit yang lalu.
Oh, untuk gadis itu, sayang sekali aku tidak membantunya melempari mu.
Kalau aku, tidak akan dengan mudah melempari mu dengan tumpukan file,
melainkan kau yang kulempar.
-Nam-
Send..
Terkirim. Mungkin e-mail ini akan membuat mulut Rain berkerucut lagi nanti. Tapi masa bodoh. Dia selalu saja mengirim e-mail tentang mimpi pada Nam. Jam berapa pun dia bangun, dia akan dengan setia mengirim e-mail itu. Mimpi buruk, mimpi indah bahkan tidak bermimpi sekali pun. Kadang Nam berpikir, apa gunanya membahas mimpi di usia yang sudah 30 tahun lebih ini??? Dia seperti gadis usia 15 tahun yang sedang masa puber saja. Setiap kali bermimpi pasti menceritakannya pada sahabat karibnya.
Nam memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Ia merapikan tempat tidur kecil yang ia tiduri tadi. Ia melihat sekeliling kamarnya. Kecil memang, tapi sangat nyaman. Nam memutuskan untuk tinggal di apartement kecil di dekat gedung SA.
Sebenarnya, sangat sedikit yang menyewa apartement ini. Disamping tempatnya kecil, juga kurang strategis jika harus ke kantor-kantor pemerintahan. Jangan salah, bagi Nam, tempat ini sempurna. Terhindar dari sorotan masyarakat, karena masyarakat tidak akan menyangka ada artis yang bersedia tinggal di apartement ini. Terhindar dari macet, Nam paling sebal kalau sudah macet disana-sini. Kalau saja dia anak muda yang berusia 15 tahun, dia akan dengan senang hati berlari di trotoar saat ia telat bangun untuk berangkat ke sekolah. Tapi sayang, dia sudah berusia 33 tahun. Tidak mungkin dia berlari setiap hari untuk menghindari macet. Untuk urusan makan, ia serahkan pada catering apartement. Penampilan masakannya tidak buruk, layak makan. Walaupun rasanya kadang tidak bisa dipastikan.
Saat Nam memutuskan untuk pindah ke apartment ini, keluarga Kim sangat menentang keputusannya itu. Khususnya ibu Kim, nyonya Kim Hye-Sun. Nam bersikeras untuk pindah dengan alasan, akan lebih mudah baginya untuk bangun dan tidak telat datang ke SA. Akhirnya, keluarga Kim menyerah dengan keputusan putra keduanya itu. Kim Nam-Sung, kakak pertamanya, dia memutuskan untuk pergi dari rumah juga saat tahu dia diterima di salah satu universitas incarannya di luar seoul. Dan kini, keluarga Kim hanya ada ayah, ibu dan juga adik perempuannya saja yang masih tinggal dirumah.
Nam berjalan menuju dapur mungilnya dan membuka kulkas. Mengambil sebotol air mineral dan meneguknya.
“Apa hari ini akan jadi hari yang melelahkan?” tanya Nam dalam hati. Ia meletakkan botol itu di meja makan kecilnya. Kemudian berjalan menuju tempat tidurnya lagi setelah menarik buka jendela yang ada di atas tempat tidurnya. Angin dingin menampar wajahnya yang tanpa perlindungan itu. Ia begidik kedinginan. Ia hendak memutuskan untuk tidur lagi di bawah selimut hangatnya, ketika ponselnya bergetar lagi.
Trrtt.. Trrtt..
“kali ini mimpi apa lagi dia?” Nam menyambar ponselnya dan langsung membuka e-mail masuk disana.
From : Rain-bodoh
Subject: Re : mimpi buruk : Selamat, ya!
Kau kejam pada ku.
Kita kan sudah 10 tahun lebih hidup bersama..
T^T
-Rain-
To : Rain-bodoh
Subject: tidur!
Cepat tidur!
-end-
Send.
Setelah membalas e-mail Rain, Nam memutuskan untuk benar-benar tidur lagi. Dia sangat lelah hari kemarin. Tak lupa ia memasang jam beker pada pukul 7 a.m pagi ini. Dalam hitungan menit, Nam sudah kembali ke alam mimpinya.
Rain mengerucutkan bibirnya menjadi 3cm di atas rata-rata saat melihat balasan e-mail dari teman karibnya, Nam. Hampir saja ia melempar ponselnya sendiri. Tapi ia urungkan, sayang ponselnya –banyak foto gadis berbikini di galeri ponselnya sekarang. Nam pernah memarahinya ketika dia membuka situs jejaring sosial dan mencoba mencari wanita penghibur disana.
“Jangan bertindak hal yang membuat ku malu!” perkataan Nam selalu menggema di telinganya saat Rain hendak melakukan tindakan bodoh lagi.
“Dia selalu saja dingin. Tapi sebenarnya benar-benar khawatir. Kau pikir sudah berapa lama aku bersama dengan mu?” Gumam Rain. Dia pun beringsut tidur lagi.
Pukul 4.30 a.m waktu setempat.
Anya, di dalam apartement barunya, benar-benar tidak bisa tidur nyenyak. Dia selalu kepikiran macam-macam. Sekarang, dia bekerja di SA. Manager seorang artis. Dan itu Kim Nam-Gil. Orang yang dicintainya. Dia sampai rela menyeberangi lautan, negara, pulau dan cuaca. Baginya, bertemu dengan Nam adalah keajaiban yang ia ciptakan dari hasil kerja keras. Asal kerja keras, yakin dan punya mimpi, semuanya akan terwujud dengan pasti. Jangan berhenti bermimpi, karena hidup akan jadi tidak berguna tanpa adanya mimpi. Dengan mimpi, semua yang ada di depan mata akan menjadi berwarna. Tapi ingat, jangan terlalu saat melakukan semua hal. Jaga kesehatan raga dan jiwa juga diperlukan.
Saat itu liburan sekolah ketika Anya duduk di bangku kelas 1 SMA. Dia melihat ada drama baru di outlet tempat persewaan dvd langganannya. Bintangnya pun Anya rasa baru. Filmya bagus, begitu kata Koko Jefery, salah satu pekerja di tempat persewaan. Menceritakan tentang perjuangan seorang kakak untuk tetap mengidupi adiknya yang masih kecil, yang perlu masuk ke bangku sekolah juga. Pokoknya sangat menyentuh saat lihat perjuangan kakaknya. Cicik Lien ikut-ikutan memanas-manasi Anya waktu itu. Tanpa pikir panjang, Anya langsung menyambar drama baru itu dan membayarnya. Selama ini, film yang direkomendasikan double pair itu tidak ada yang tidak bagus. Pasti bagus.
Anya pulang dengan perasaan campur aduk. Ketika sampai dirumah, hal yang pertama dilakukannya adalah menyalakan dvd player. Selama kurang lebih 3 jam lamanya, Anya sudah menonton 4 episode film tersebut.
Masih belum. Aku harus cari lanjutannya. Begitulah, selama 4 hari ia liburan, ia habiskan di depan tv set untuk menonton drama itu. Pemeran kakak diperankan oleh Kim Nam-Gil. Dan peran adik diperankan oleh Park Shin-Hye. Pasangan yang agak aneh memang, tapi tetap saja itu sempurna karena acting mereka yang hebat.
Pertama kali jatuh cinta dengan seorang artis. Pertama kali merasakan getaran dasyat di dada saat melihat wajah orang itu walaupun dia hanya ada di balik televisi. Pertama kali menumpahkan air mata saat orang itu dikabarkan sakit typus. Pertama kali, dengan tulus dia berharap, suatu saat dia lah yang akan mengurus semua keperluan orang itu. Suatu saat, dia lah yang akan merasakan cinta dari orang itu. Suatu saat, dia lah yang akan melahirkan anak-anak dari orang itu. Suatu saat, dia lah yang akan menemani hari tua orang itu. Tuhan, tak ada harapan terbesar yang pernah aku buat selain ini. Kumohon dengan segala rasa percaya ku padamu, kabulkan lah permohonan hamba mu ini.
Dan Tuhan maha mendengar semua permohonan hamba Nya. Sekarang, dia berdiri disini. Disamping Nam. Dia akan berusaha untuk mencapai semua mimpinya. Setelah semua mimpinya tercapai, dia akan memimpikan hal-hal baru lagi. Hanya untuk Nam. Nam seorang.
Anya melihat jam beker yang ada di meja kerja kecilnya di sudut ruangan. Berkali-kali ia melihatnya, tapi tetap saja waktu berjalan lambat. Ia menyibukkan diri dengan berjalan berkeliling di kamarnya. Kadang kakinya terantuk koper yang belum sempat ia bereskan, masih berserakan di lantai kamar apartmentnya.
Apartment ini ia tempati atas rekomendasi dari Direktur Park. “Untuk memudahkan mu dalam bekerja”, begitu kata beliau. Anya tidak begitu paham dengan arti keseluruhan dari apa yang di ucapkan Direktur Park.
“Bilang saja aku tidak boleh telat.” Anya merasa dirinya harus menuruti semua pekerjaan yang dia akan ambil, makanya dia ambil apartment ini. Dekat dengan SA. Jadi memang tidak akan telat. Seperti yang diharapkan.
Anya melirik jam lagi. 4.35. Dia semakin frustasi. Dilemparnya bantal ke arah jam beker dengan sebal. “Percuma menunggu mu yang lelet!” Kata Anya dengan wajah dingin kepada jam beker penguin miliknya. Jam itu hadiah dari kakak perempuannya yang sekarang berada di Singapura untuk mencoba tantangan baru dalam dunia bisnis.
Anya mengambil jaket dan sepatu olah raganya di rak yang ada di sebelah ruang tamu mungil di apartment. Jaket hijau tua, celana olah raga berwarna senada. Sepatu putih yang hanya bergaris coklat tua, serta rambut yang dikuncir kuda. Tak lupa ia membawa I-pod untuk menemaninya dalam lari pagi hari ini. Anya orang yang tidak betah jika harus menunggu waktu. Ia putuskan keluar apartment dan berlari-lari kecil.
Di jalan, ia melewati beberapa toko sayuran. Sepertinya sangat fresh. Dia berniat membawa pulang beberapa saat ia kembali dari lari paginya nanti. Jalanan di sekitar apartment pagi ini lumayan sepi. Belum ada orang-orang sibuk yang berlalu lalang disini. Iya, ini bukan jam kerja. Tapi jam tidur. Tapi bagi Anya yang orang baru, tak ada salahnya menjelajahi tempat yang belum dikenal akrab ini. Dengan menjelajah, semuanya akan aman terkendali.
Jam tangan Anya menunjukkan pukul 5.15 a.m. Waktunya pulang. Begitu pikir Anya. Untung saja dia orang yang selalu teliti dengan semua hal. Walaupun dia sudah berada 2 km jauhnya dari apartment, tapi dia tidak tersasar sedikitpun waktu pulang. Dia hanya mencoba jalan alternative lain. Itu yang membuatnya sampai dirumah pukul 6.00 a.m.
Sesampainya di apartment,
“Aku pulang..” Anya tahu tidak akan ada jawaban, tapi dia cukup senang mengucapkannya. Serasa rumah sendiri. Ayahnya sempat ngambek waktu tahu Anya akan berangkat ke korea untuk bekerja. Karena Anya tidak pernah cerita apa pun ke ayahnya. Mau bagaimana pun juga, ayah adalah single parent. Yang merasa wajib menjaga putri-putri nya yang tumbuh dewasa. Ayah sudah melepaskan kak Sara untuk pergi ke Singapura. Kali ini, ia tidak rela melepaskan Anya untuk ke Korea. Butuh bujukan ekstra dan super kuat untuk bisa meluluhkan hati ayah nya itu. Akhirnya, walaupun dengan berat hati, Ayah mengijinkannya pergi ke Korea. Bahkan, ayah sendiri yang menemaninya sampai di bandara. Kakaknya sibuk. Sedangkan adik bungsunya, Leni, harus berangkat ke sekolah hari itu. Ayah menangis saat Anya akan berangkat. Membuat Anya tertawa walaupun dia juga mengeluarkan air mata.
“Kalau kau pulang dengan membawa anak, akan kubunuh suami mu!” Ayah mengatakan itu dengan sangat keras saat pesawat yang mau ditumpangi Anya dijadwalkan akan berangkat.
Wajah Anya merona merah saat itu. Membuat Ayah berpikir negative. “Jangan-jangan kau…”
“Apa yang Ayah pikirkan?!” Anya berteriak kencang juga. “Aku akan pulang dengan membawa calon suami. Bukan anak dan suami. Aku akan menikah setelah Ayah menyetujui pria pilihan ku. Akan ku kenalkan dia padamu sebelum menikah.” Sambung Anya masih dalam nada yang sama. “Jangan berpikir macam-macam lagi!” tambahnya hampir gila. Percuma aku menangis tadi. Batinnya.
From : Manager baru
Subject: jadwal baru
Anda sudah bangun, Kim Nam-Gil ssi?
Lansung saja,
Jadwal Anda hari ini,
7.00 – 08.45 : latihan vocal di studio 6 SA.
9.00 – 11.25 : pemotretan untuk majalah King edisi 17 di studio 5 SA.
Masih ada jeda 15 menit jeda sebelum kerjaan selanjutnya, Anda bisa istirahat sebentar.
Jadwal selanjutnya akan saya sampaikan setelah saya bertemu Kim Nam-Gil ssi di kantor.
-Anya-
Nam membaca e-mail di layar ponselnya dengan wajah biasanya lagi. “Dia memperhatikan setiap menit.” Gumamnya. Nam segera mengenakan kemeja berwarna ungu magenta dipadukan dengan jas hitam dan celana hitam. Dasinya berwarna biru abu-abu. Dia cukup mahir memakai dasi. Lama ia memandangi dirinya dalam cermin.
Kenapa harus ribet seperti ini? Pikirnya. Segera ia tanggalkan semua jas yang ia kenakan. Ia menarik keluar beberapa setelan kemeja dan baju santai yang tidak ketinggalan mode dari lemari bajunya. Setelah berkutat dengan pemikirannya tentang baju yang akan dikenakannya, ia menyerah dengan selera buruk yang selalu dia pilih.
Saat ia menggapai kaos lengan panjang berwarna hijau toska dan celana hitam sport miliknya, pemilik suara lantang yang dikenal Nam menampakan dirinya di sisi tempat tidur Nam.
“Kalau kau memilih itu, aku tidak akan berjalan dengan mu hari ini.” Rain, yang sudah lama memperhatikan sahabatnya berkutat dengan baju yang akan dikenakan, akhirnya berkomentar karena tidak tahan melihat teman super bebal dalam dunia fashionnya itu kebingungan.
Nam menoleh ke sumber suara. Dia tampak terkejut dengan kehadiran Rain di kamar apartmentnya. “Sejak kapan kau disana? Lewat mana kau datang?” pertanyaan Nam yang diajukan bukanlah itu. Melainkan sebuah pernyataan, “Kalau begitu kau bisa pergi duluan hari ini.” Kata Nam dengan nada biasa. Wajahnya datar melihat Rain yang dengan seenaknya tiduran di tempat tidur Nam.
Rain menyipitkan matanya yang sudah sipit. Hingga membentuk garis horizontal yang aneh. “Kau tidak asik!” katanya dengan mulut dimonyongkan. Melihat itu Nam tertawa kecil.
“Kalau aku tidak asik, kenapa selama ini kau terus menempel padaku?” tanya Nam penasaran. Akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan kaos putih lengan pendek dengan gambar menara Eiffel di bagian depan dan menara Tokyo di belakangnya. Dengan celana hitam berantai, serta rompi kulit berwarna hitam polos. Ia memakai sepatu boot untuk menambah gaya nya. rambutnya di wax sedikit karena perintah Rain setiap pagi.
“Karena hanya kau yang enak untuk diajak bertukar pikiran*dijahili*” kata Rain dengan senyum terkembang.
“Terserah apa katamu.” Nam akhirnya menyerah dengan fashion yang dipilihkan Rain untuknya.
6.45 a.m. Gedung SA. Lantai 2. Tempat para artis dan managernya berkumpul untuk membahas pekerjaan yang akan dilakukan.
Terlihat Nam berjalan berdampingan dengan Rain di sisi ruangan tunggu. Berjalan sambil meminum kopi hangat dari mesin penjual minuman otomatis di depan gedung.
Seorang gadis dengan perawakan sedang, mengenakan blus merah muda serta celana hitam, terlihat sangat cemas tapi setelah itu kembali tersenyum saat mengetahui Nam sedang berjalan di depannya, dengan tumpukan file di tangan kirinya dan buku catatan kecil di tangan kanannya, ia segera menghampiri Nam.
“Annyeong haseyo!” sapanya dengan senyum ceria ke arah Nam. Rain merasa cemburu seketika. Kenapa dirinya tidak disapa juga? Ia memperhatikan.
“Kim Nam-Gil ssi sudah membaca e-mail dari saya? Apa anda sudah sarapan? Bagaimana kondisi anda pagi ini? Semuanya lancar? Apa anda..” pertanyaan Anya terpotong oleh suara erangan Rain.
“Aaarrgghhhh!!! Apa-apan sih?” Rain menaruh tangannya di antara Nam dan juga Anya. Membelah layaknya pedang.
Anya baru menyadari siapa yang ada di samping Nam. “Eh, Rain ssi. Sejak kapan ada disini? Ah, Annyeong haseyo..” Anya membungkukkan badannya di depan Rain. Membuat Rain membelalakkan matanya tidak percaya. Kali ini tawa Nam tak terbantahkan, dia sudah tertawa sekarang. Membuat Anya yang ada di depannya bingung dan bertanya-tanya. Ada apa sih?
Latihan vokal yang dijalani Nam dan Rain berjalan dengan semestinya, dan tanpa gangguan apapun. Anya menghilang sebentar selama Nam latihan. Mungkin dia menemui orang-orang yang terkait dengan jadwalnya hari ini. Setelah muncul lagi, Anya dengan setia menunggu Nam di tempat duduk di depan ruang vokal. Nam bisa melihatnya sibuk dengan catatannya dari dalam ruangan ini.
Ruangan latihan vokal ini tergolong sederhana juga. Mungkin Direktur sangat ingin menampakkan kesan nyaman daripada mewah. Rain betah berlama-lama di ruang latihan, karena wanita incaran selanjutnya ada disini. Guru olah vokal. Berusia 45 tahun, tapi belum menikah dan belum terjamah sama sekali. Sekali Rain mengedipkan matanya, semua gadis, wanita bahkan nenek-nenek pasti menempel padanya. Tapi tidak dengan Anya. Rain sudah memasukkan Anya ke dalam daftar blacklist nya sekarang. Gadis tidak peka. Umpatnya.
Selama latihan, Rain selalu menebar feromon yang dia punya. Bahkan penata sound yang seorang pria pun terpesona melihatnya. Nam, dengan wajah serius selalu bilang padanya, “Hentikan, atau aku akan menyeretmu keluar!” tapi tidak di indahkan oleh Rain yang memang telinga bebal. Sudah berkali-kali Nam menyeret Rain keluar dari tempat yang dia datangi bersama. “Sebelum ada pertumpahan darah yang tidak diinginkan, lebih baik ku ungsikan dia dulu.” Nam selalu merasa Rain akan dalam bahaya jika sifat playboy tidak lepas dari dirinya. Kejadian naas pernah menimpa Rain saat sedang shooting film berjudul ‘A love to kill’ di sebuah pusat perbelanjaan, Myong-Dong. Dia sempat ditendang saat seorang pria kekar tidak terima gadisnya terpesona oleh ketampanan Rain saat itu. Hampir saja Rain kelepasan hendak memukul balik pria kekar itu, tapi Nam yang saat itu sedang ada di lokasi shootingnya –sifat manja Rain kumat, ia ingin Nam menemaninya alih-alih managernya, mencekal lengan Rain dan memelintirnya. Jika tidak begitu, Rain bisa membabi buta. Rain tenang setelah para staff mengusir pria kekar dan gadisnya itu keluar dari Myong-Dong.
“Dia sentimen padaku. Akan ku catat namanya dalam daftar blacklist ku.” Rain menggerutu tak tentu arah saat pemotretan sedang berlangsung. Kali ini, Nam masih dipasangkan dengan Rain untuk majalah King edisi 17. Mereka berdua memang double pair yang sedang digandrungi saat ini. Nam dengan kesan putih cemerlangnya, dan Rain dengan mata elangnya.
“Siapa?” Nam bertanya dengan posisi wajah menghadap ke atas. Saat ini gayanya sedang memandang ke langit luas dan memikirkan seseorang. Sedangkan Rain dengan wajah dinginya membuang muka dari arah depan.
“Manager barumu!” gerutunya lagi.
“Ada apa dengan dia?”
“Dia selalu tidak menyadari aku ada disekitarnya.” Kenang Rain. Nam tersenyum menandakan ia sedang jatuh cinta. Tapi gagal, karena Kang berteriak frustasi.
“Nam-Gil! Dimana Ekspresimu??!!” seru Kang. “Falling in love! You know? Falling in love! Aku ingin kau jatuh cinta!” tambah Kang hampir mencabuti rambutnya lagi, seperti yang dilakukan saat Rain juga sedang bengong saat pemotretan berlangsung.
Terlintas kejahilan yang menyerempet otak Rain. “Nam,” dia menatap mata Nam dengan sungguh-sungguh. “Lihat aku dan jatuh cinta lah!” Kata Rain dengan nada suara percaya diri yang tinggi.
Kang bersiap-siap mengambil gambar lagi. Kali ini ia pasrah dengan tindakan mereka berdua di depannya. Jika ada Rain, semuanya kacau. Tapi masih bisa dipasarkan, karena diluar dugaan, ekspresi yang keluar jauh lebih baik dari yang dia harapkan sebelumnya.
Sesaat Nam memang dengan mata lembut menatap Rain yang terlihat cantik di depannya –mereka mengganti kostum mereka dengan pakaian musim dingin. Walaupun sebenarnya mereka kepanasan. Tapi sejurus kemudian Nam langsung menekan perutnya dan muntah seketika, hanya muntah-muntah bohongan, sontak membuat wajah Rain menjadi berlipat-lipat. Dan itu membuat Nam tertawa lepas memandang orang di depannya yang cemberut hebat itu.
Ini dia! Ini dia! Teriak Kang dalam hati. Segera ia tekan push untuk mengambil gambar dua orang yang ada di depannya. Nam yang tertawa lepas dan Rain yang cemberut. Seperti layaknya sepasang kekasih yang sedang kencan. Ini dia! Ini dia!
Pemotretan selesai tepat waktu. Nam dan Rain sudah mengganti kostum mereka dengan baju nya semula. Saat keluar dari studio, ternyata Anya sudah ada di depan. Menunggu mereka keluar, lebih tepatnya menunggu Nam.
“Bagaimana pemotretannya? Berjalan dengan lancar? Apa Kim Nam-Gil ssi mengalami kesulitan dengan ini? Jika memang ada, tolong beri tahu kepada saya. Saya akan berusaha menangani semuanya.” Anya mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Membuat Nam menepuk kepala Anya dengan pelan. Rain yang menyaksikan itu langsung mengeluarkan notes nya dan menulis sesuatu disana.
“Jangan keluarkan deathnote. Ryuk tidak akan datang karena kau bukan Kira yang dia maksud.” Seorang gadis dengan perawakan kecil dan rambut bergelombang, diikat menyerupai panda –ada dua benjolan di atas kepalanya dan tergerai dibagian bawahnya, bicara tepat di sebelah Rain. Menatap tulisan Rain di notes yang bersampul hitam itu.
“Kim Anya.” Baca gadis itu.
Rain menutup notes nya dan melototkan matanya ke arah gadis di sampingnya. “Diam kau, Hye-Gyo!” Song Hye-Gyo. Gadis yang pernah bermain drama bersamanya itu hanya cekikikan. Nam yang mendengar nama manager barunya telah ditulis di buku ‘antik’ yang dimiliki Rain, menatap Rain dengan pandangan membunuh. Sedangkan yang bersangkutan, hanya bisa menelengkan kepalanya karena tidak mengerti.
“Kau Kim Anya?” Hye-Gyo menatap Anya dengan ramah. Ia menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Anya. Anya pun menyambutnya. “Song Hye-Gyo. Senang berkenalan dengan mu.” Katanya tulus.
Anya mengangguk, “Kim Anya. Annyeong haseyo.”
Rain merasa dirinya dicuekin lagi. Segera ia melepaskan jabatan tangan antara Hye-Gyo dan Anya. “Kita pergi.” Katanya segera setelah menarik tangan Nam dan Anya, meninggalkan Hye-Gyo yang tersenyum sinis ke arah Rain.
“Dia selalu saja begitu.” Gerutu Hye-Gyo.
Nam menarik tangannya dan menarik tangan Anya dari tangan Rain. “Apa-apaan sih?” Nam merasa managernya terancam. Ia menyembunyikan Anya di balik badannya. Anya merasa senang saat itu.
“Gadis itu berbahaya.” Rain berusaha meyakinkan Nam dan Anya bahwa gadis bernama Song Hye-Gyo itu memang gadis yang berbahaya. Nam hendak membantah omongan Rain,
“Anda yang berbahaya!!” Anya sudah ada di depan Rain sekarang. Menunjuk wajah Rain dengan jari telunjuknya dan dengan wajah geram luar biasa. Tapi sejurus kemudian, dia langsung sadar akan tindakan nya yang spontan itu salah. Anya membungkukkan badannya berkali-kali meminta maaf kepada Rain yang wajahnya berubah jadi merah padam. Nam tidak bisa menyembunyikan tawanya. Dia tertawa dengan keras sekali.
“Aku benci padanya.” Rain dengan wajah manja sudah ada di balik selimut di atas tempat tidur Nam malam ini. Nam yang sedang berganti pakaian hanya bisa mendengus geli. Wajah Rain sangat parah. Baru pertama kali dalam hidupnya selama ini, wajah sempurnanya ditunjuk dengan galak tempo hari.
Nam ingat dengan jelas, bagaimana kerasnya perjuangan Anya untuk meminta maaf kepada Rain selama beberapa hari terakhir ini. Selama di SA, Anya tak henti-hentinya membungkukkan badan kepada Rain, meminta maaf dengan tulus. Tapi Rain tetap tidak menggubris permintaan maaf Anya. Sampai sekarang, Rain tetap menghindari Anya.
“Kau membencinya?” Nam duduk di sisi tempat tidurnya,
Rain yang sekarang berubah posisi, dia membungkus badannya dengan selimut sampai ke kepalanya. Sehingga hanya sebuah karung besar berwarna putih yang terlihat terbungkus di atas tempat tidur. “Sangat.” Jawabnya singkat.
“Kau tidak akan membencinya,” kata Nam penuh percaya diri dalam nada suaranya.
Rain menyingkap selimut dari kepalanya, gerah juga lama-lama. “Mo?”
Mata Nam lurus menatap Rain sekarang. Dengan wajah penuh keyakinan dia menjawab, “Tidak akan pernah.”
“Terserah apa katamu. Aku tetap membencinya.” Rain kembali menutup kepalanya dan memonopoli tempat tidur Nam.
“Hahahahaha,” Nam tertawa dan berjalan menuju sofa di dekat teve set nya. “Lalu siapa yang bilang, ‘dia berbeda’ waktu pertama kali melihatnya dulu? Dan siapa yang berusaha keras menghindari seorang gadis tapi tetap tak bisa melepaskan matanya dari gadis itu selama seminggu ini?”
Rain melempar bantal ke arah Nam yang duduk tak jauh darinya. “Aku tidak seperti itu!” protes Rain sebal, yang disambut tawa Nam.
“Hentikan tertawa mu yang menjengkelkan itu sekarang juga, Nam!” kali ini Rain melemparkan guling yang dipegangnya. Alih-alih mengenai Nam, guling itu meluncur dengan gaya bebas ke arah lantai. Membuat Nam tertawa tanpa henti.
“Seharusnya kau melihat wajah mu sekarang. Betapa imut nya wajah merajukmu itu. Sudah berapa tahun kau tidak menampakkannya lagi?” Nam berjalan mengambil bantal dan guling korban pelemparan Rain.
Rain duduk sambil memelintir rambut depannya dengan tampang cemberut. Nam ikut duduk di sampingnya.
“Tampak dengan jelas kau menyukainya, Rain.” Kata Nam pelan sambil meletakkan para korban pelemparan ketempatnya semula.
Rain menatap Nam tak percaya, seakan Nam itu makhluk luar angkasa yang mengatakan dirinya adalah manusia tembus pandang. “Tahu apa kau tentang aku?”
Nam menarik selimutnya yang kini diremas-remas Rain dengan perasaan jengkel. “Kau pikir sudah berapa tahun kau hidup bersama ku?” Nam menarik Rain untuk turun dari tempat tidur. “Keluar! Aku mau tidur.” Katanya. Rain merasa terusir, dia tetap saja menyesak di samping Nam yang sudah terbaring di tempat tidurnya.
“Kau membuat ku kepanasan. Pergi sana ke apartment mu sendiri!” Nam menarik selimutnya untuk menutupi badannya. Rain tak mau kalah, ia juga menarik-narik selimut Nam untuk menutupi dirinya.
“Tidak mau! Ibu ku disana.” Katanya setengah putus asa.
“Jangan kabur dari beliau donk!” Nam menarik selimutnya lagi.
“Aku tidak kabur. Ibu yang selalu mengejarku.” Rain putus asa, tapi ide jahil mengisi otak nya lagi. Segera ia memeluk Nam dan tidur di sampingnya dengan selimut membalut dirinya juga. Malam ini lumayan dingin.
Nam tak bisa mengelak. Seperti inilah Rain jika sedang kumat. Nam membuang napas panjang. “Pada akhirnya kau pun juga sudah menyukainya.”
“Jangan terlalu berharap.” Kata Rain dalam mata tertutupnya.
“Aku tidak berharap. Tapi itulah kenyataan. Aku pun juga sama.” Nam pun terlelap dalam tidurnya.
=================
Owariiiiiiiiiiiii
cupe bunget!!
buat Ana, gomen ea telat bget.. pe q bilang tiap tgl 1 ru klar nih fanfic..
bis'a mw gmna lgi,, sbuk bget sih.. *dtimpuk Ana*
kehkehkehkeh
hope you like it..
untuk chapter slanjutnya, q ushain 2mnggu lgi..
otak q kdang agak mampet sih..
^kbanyakan mikirin Yamada Ryosuke^ *PLAKK//
jdi mentok2'a y k Ryosuke seorang..
wkwkwkwkwkwkwk
Saigo ni,,
buat pembaca, thx uda mw ssah2 bca dan nunggu nih fanfic lgi..
gomen ea telat..
*ojigi di depan semua
ayu : hontou ni gomen.. soshite,, hontou ni arigato na.. \^o^/
Ja ne!
ayu deshita!
\^o^/
Ponsel Nam bergetar di samping tempat tidurnya. Ia membuka mata dengan perasaan campur aduk. Acara makan malam yang diadakan 9 jam yang lalu membuatnya berpikir dua kali tentang gadis bernama Kim Anya.
“Bukan maksud saya untuk mencampuri pekerjaan yang sudah manager lama Kim Nam-Gil ssi ambil, tapi, untuk sekarang dan selama masa jabatan saya, manager Kim Nam-Gil ssi adalah saya. Dan saya akan mengambil pekerjaan yang sekiranya Kim Nam-Gil ssi bisa lakukan, dan waktu nya tidak mengganggu istirahat Kim Nam-Gil ssi. Kesehatan Kim Nam-Gil ssi akhir-akhir ini mengalami penurunan. Saya sudah mengecek data kesehatan Kim Nam-Gil ssi hari ini. Untuk sekarang, saya rasa Kim Nam-Gil ssi harus menuruti kata-kata saya sampai Kim Nam-Gil ssi benar-benar sudah sehat kembali. Apa anda mengerti, Kim Nam-Gil ssi?” Anya bicara tanpa jeda sedikitpun malam itu. Membuat Rain yang duduk disamping Nam mengerjapkan mata berkali-kali melihat dan mendengar kejadian itu secara langsung.
“Benar kan apa kata ku. Gadis ini benar-benar berbeda. Buktinya, dia begitu cerewet dan overprotective padamu.” Rain berbisik tepat di telinga Nam. Anya hampir melempar file di tangannya kalau saja Rain tidak menegakkan duduknya lagi. “Dan dia juga galak.” Gerutu Rain.
Nam tersenyum lagi mengingat kejadian semalam. Seharusnya itu acara makan malam pertama yang diadakan Nam dan Anya –Anya sudah menantikannya, tapi rusak gara-gara kemunculan Rain yang tidak terduga.
“Semoga saja benar-benar berbeda..” Kata Nam lebih-lebih pada dirinya sendiri. Ia menjulurkan tangannya untuk meraih ponsel di samping tempat tidurnya. Jam di ponsel menunjukkan pukul 4 a.m waktu setempat. Ada 1 e-mail masuk. Ia buka flip ponselnya dan membaca nama yang tertera di layarnya. Rain.
From : Rain-bodoh
Subject : mimpi buruk
Aku mimpi buruk malam ini.
Tentang gadis baru yang ada di sampingmu.
Dia dengan tega melempari ku dengan file besar yang ada di tangannya.
-Rain-
E-mail itu membuat Nam tertawa kecil untuk kesekian kalinya. Ia memencet reply untuk membalas e-mail yang dikirim sahabatnya itu.
To : Rain-bodoh
Subject: Re: mimpi buruk
Selamat, ya!
Akhirnya kau membangunkan ku tepat jam 4 pagi hari ini.
Aku jadi tidak bisa tidur lagi.
Padahal aku baru memejamkan mata 15 menit yang lalu.
Oh, untuk gadis itu, sayang sekali aku tidak membantunya melempari mu.
Kalau aku, tidak akan dengan mudah melempari mu dengan tumpukan file,
melainkan kau yang kulempar.
-Nam-
Send..
Terkirim. Mungkin e-mail ini akan membuat mulut Rain berkerucut lagi nanti. Tapi masa bodoh. Dia selalu saja mengirim e-mail tentang mimpi pada Nam. Jam berapa pun dia bangun, dia akan dengan setia mengirim e-mail itu. Mimpi buruk, mimpi indah bahkan tidak bermimpi sekali pun. Kadang Nam berpikir, apa gunanya membahas mimpi di usia yang sudah 30 tahun lebih ini??? Dia seperti gadis usia 15 tahun yang sedang masa puber saja. Setiap kali bermimpi pasti menceritakannya pada sahabat karibnya.
Nam memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Ia merapikan tempat tidur kecil yang ia tiduri tadi. Ia melihat sekeliling kamarnya. Kecil memang, tapi sangat nyaman. Nam memutuskan untuk tinggal di apartement kecil di dekat gedung SA.
Sebenarnya, sangat sedikit yang menyewa apartement ini. Disamping tempatnya kecil, juga kurang strategis jika harus ke kantor-kantor pemerintahan. Jangan salah, bagi Nam, tempat ini sempurna. Terhindar dari sorotan masyarakat, karena masyarakat tidak akan menyangka ada artis yang bersedia tinggal di apartement ini. Terhindar dari macet, Nam paling sebal kalau sudah macet disana-sini. Kalau saja dia anak muda yang berusia 15 tahun, dia akan dengan senang hati berlari di trotoar saat ia telat bangun untuk berangkat ke sekolah. Tapi sayang, dia sudah berusia 33 tahun. Tidak mungkin dia berlari setiap hari untuk menghindari macet. Untuk urusan makan, ia serahkan pada catering apartement. Penampilan masakannya tidak buruk, layak makan. Walaupun rasanya kadang tidak bisa dipastikan.
Saat Nam memutuskan untuk pindah ke apartment ini, keluarga Kim sangat menentang keputusannya itu. Khususnya ibu Kim, nyonya Kim Hye-Sun. Nam bersikeras untuk pindah dengan alasan, akan lebih mudah baginya untuk bangun dan tidak telat datang ke SA. Akhirnya, keluarga Kim menyerah dengan keputusan putra keduanya itu. Kim Nam-Sung, kakak pertamanya, dia memutuskan untuk pergi dari rumah juga saat tahu dia diterima di salah satu universitas incarannya di luar seoul. Dan kini, keluarga Kim hanya ada ayah, ibu dan juga adik perempuannya saja yang masih tinggal dirumah.
Nam berjalan menuju dapur mungilnya dan membuka kulkas. Mengambil sebotol air mineral dan meneguknya.
“Apa hari ini akan jadi hari yang melelahkan?” tanya Nam dalam hati. Ia meletakkan botol itu di meja makan kecilnya. Kemudian berjalan menuju tempat tidurnya lagi setelah menarik buka jendela yang ada di atas tempat tidurnya. Angin dingin menampar wajahnya yang tanpa perlindungan itu. Ia begidik kedinginan. Ia hendak memutuskan untuk tidur lagi di bawah selimut hangatnya, ketika ponselnya bergetar lagi.
Trrtt.. Trrtt..
“kali ini mimpi apa lagi dia?” Nam menyambar ponselnya dan langsung membuka e-mail masuk disana.
From : Rain-bodoh
Subject: Re : mimpi buruk : Selamat, ya!
Kau kejam pada ku.
Kita kan sudah 10 tahun lebih hidup bersama..
T^T
-Rain-
To : Rain-bodoh
Subject: tidur!
Cepat tidur!
-end-
Send.
Setelah membalas e-mail Rain, Nam memutuskan untuk benar-benar tidur lagi. Dia sangat lelah hari kemarin. Tak lupa ia memasang jam beker pada pukul 7 a.m pagi ini. Dalam hitungan menit, Nam sudah kembali ke alam mimpinya.
Rain mengerucutkan bibirnya menjadi 3cm di atas rata-rata saat melihat balasan e-mail dari teman karibnya, Nam. Hampir saja ia melempar ponselnya sendiri. Tapi ia urungkan, sayang ponselnya –banyak foto gadis berbikini di galeri ponselnya sekarang. Nam pernah memarahinya ketika dia membuka situs jejaring sosial dan mencoba mencari wanita penghibur disana.
“Jangan bertindak hal yang membuat ku malu!” perkataan Nam selalu menggema di telinganya saat Rain hendak melakukan tindakan bodoh lagi.
“Dia selalu saja dingin. Tapi sebenarnya benar-benar khawatir. Kau pikir sudah berapa lama aku bersama dengan mu?” Gumam Rain. Dia pun beringsut tidur lagi.
Pukul 4.30 a.m waktu setempat.
Anya, di dalam apartement barunya, benar-benar tidak bisa tidur nyenyak. Dia selalu kepikiran macam-macam. Sekarang, dia bekerja di SA. Manager seorang artis. Dan itu Kim Nam-Gil. Orang yang dicintainya. Dia sampai rela menyeberangi lautan, negara, pulau dan cuaca. Baginya, bertemu dengan Nam adalah keajaiban yang ia ciptakan dari hasil kerja keras. Asal kerja keras, yakin dan punya mimpi, semuanya akan terwujud dengan pasti. Jangan berhenti bermimpi, karena hidup akan jadi tidak berguna tanpa adanya mimpi. Dengan mimpi, semua yang ada di depan mata akan menjadi berwarna. Tapi ingat, jangan terlalu saat melakukan semua hal. Jaga kesehatan raga dan jiwa juga diperlukan.
Saat itu liburan sekolah ketika Anya duduk di bangku kelas 1 SMA. Dia melihat ada drama baru di outlet tempat persewaan dvd langganannya. Bintangnya pun Anya rasa baru. Filmya bagus, begitu kata Koko Jefery, salah satu pekerja di tempat persewaan. Menceritakan tentang perjuangan seorang kakak untuk tetap mengidupi adiknya yang masih kecil, yang perlu masuk ke bangku sekolah juga. Pokoknya sangat menyentuh saat lihat perjuangan kakaknya. Cicik Lien ikut-ikutan memanas-manasi Anya waktu itu. Tanpa pikir panjang, Anya langsung menyambar drama baru itu dan membayarnya. Selama ini, film yang direkomendasikan double pair itu tidak ada yang tidak bagus. Pasti bagus.
Anya pulang dengan perasaan campur aduk. Ketika sampai dirumah, hal yang pertama dilakukannya adalah menyalakan dvd player. Selama kurang lebih 3 jam lamanya, Anya sudah menonton 4 episode film tersebut.
Masih belum. Aku harus cari lanjutannya. Begitulah, selama 4 hari ia liburan, ia habiskan di depan tv set untuk menonton drama itu. Pemeran kakak diperankan oleh Kim Nam-Gil. Dan peran adik diperankan oleh Park Shin-Hye. Pasangan yang agak aneh memang, tapi tetap saja itu sempurna karena acting mereka yang hebat.
Pertama kali jatuh cinta dengan seorang artis. Pertama kali merasakan getaran dasyat di dada saat melihat wajah orang itu walaupun dia hanya ada di balik televisi. Pertama kali menumpahkan air mata saat orang itu dikabarkan sakit typus. Pertama kali, dengan tulus dia berharap, suatu saat dia lah yang akan mengurus semua keperluan orang itu. Suatu saat, dia lah yang akan merasakan cinta dari orang itu. Suatu saat, dia lah yang akan melahirkan anak-anak dari orang itu. Suatu saat, dia lah yang akan menemani hari tua orang itu. Tuhan, tak ada harapan terbesar yang pernah aku buat selain ini. Kumohon dengan segala rasa percaya ku padamu, kabulkan lah permohonan hamba mu ini.
Dan Tuhan maha mendengar semua permohonan hamba Nya. Sekarang, dia berdiri disini. Disamping Nam. Dia akan berusaha untuk mencapai semua mimpinya. Setelah semua mimpinya tercapai, dia akan memimpikan hal-hal baru lagi. Hanya untuk Nam. Nam seorang.
Anya melihat jam beker yang ada di meja kerja kecilnya di sudut ruangan. Berkali-kali ia melihatnya, tapi tetap saja waktu berjalan lambat. Ia menyibukkan diri dengan berjalan berkeliling di kamarnya. Kadang kakinya terantuk koper yang belum sempat ia bereskan, masih berserakan di lantai kamar apartmentnya.
Apartment ini ia tempati atas rekomendasi dari Direktur Park. “Untuk memudahkan mu dalam bekerja”, begitu kata beliau. Anya tidak begitu paham dengan arti keseluruhan dari apa yang di ucapkan Direktur Park.
“Bilang saja aku tidak boleh telat.” Anya merasa dirinya harus menuruti semua pekerjaan yang dia akan ambil, makanya dia ambil apartment ini. Dekat dengan SA. Jadi memang tidak akan telat. Seperti yang diharapkan.
Anya melirik jam lagi. 4.35. Dia semakin frustasi. Dilemparnya bantal ke arah jam beker dengan sebal. “Percuma menunggu mu yang lelet!” Kata Anya dengan wajah dingin kepada jam beker penguin miliknya. Jam itu hadiah dari kakak perempuannya yang sekarang berada di Singapura untuk mencoba tantangan baru dalam dunia bisnis.
Anya mengambil jaket dan sepatu olah raganya di rak yang ada di sebelah ruang tamu mungil di apartment. Jaket hijau tua, celana olah raga berwarna senada. Sepatu putih yang hanya bergaris coklat tua, serta rambut yang dikuncir kuda. Tak lupa ia membawa I-pod untuk menemaninya dalam lari pagi hari ini. Anya orang yang tidak betah jika harus menunggu waktu. Ia putuskan keluar apartment dan berlari-lari kecil.
Di jalan, ia melewati beberapa toko sayuran. Sepertinya sangat fresh. Dia berniat membawa pulang beberapa saat ia kembali dari lari paginya nanti. Jalanan di sekitar apartment pagi ini lumayan sepi. Belum ada orang-orang sibuk yang berlalu lalang disini. Iya, ini bukan jam kerja. Tapi jam tidur. Tapi bagi Anya yang orang baru, tak ada salahnya menjelajahi tempat yang belum dikenal akrab ini. Dengan menjelajah, semuanya akan aman terkendali.
Jam tangan Anya menunjukkan pukul 5.15 a.m. Waktunya pulang. Begitu pikir Anya. Untung saja dia orang yang selalu teliti dengan semua hal. Walaupun dia sudah berada 2 km jauhnya dari apartment, tapi dia tidak tersasar sedikitpun waktu pulang. Dia hanya mencoba jalan alternative lain. Itu yang membuatnya sampai dirumah pukul 6.00 a.m.
Sesampainya di apartment,
“Aku pulang..” Anya tahu tidak akan ada jawaban, tapi dia cukup senang mengucapkannya. Serasa rumah sendiri. Ayahnya sempat ngambek waktu tahu Anya akan berangkat ke korea untuk bekerja. Karena Anya tidak pernah cerita apa pun ke ayahnya. Mau bagaimana pun juga, ayah adalah single parent. Yang merasa wajib menjaga putri-putri nya yang tumbuh dewasa. Ayah sudah melepaskan kak Sara untuk pergi ke Singapura. Kali ini, ia tidak rela melepaskan Anya untuk ke Korea. Butuh bujukan ekstra dan super kuat untuk bisa meluluhkan hati ayah nya itu. Akhirnya, walaupun dengan berat hati, Ayah mengijinkannya pergi ke Korea. Bahkan, ayah sendiri yang menemaninya sampai di bandara. Kakaknya sibuk. Sedangkan adik bungsunya, Leni, harus berangkat ke sekolah hari itu. Ayah menangis saat Anya akan berangkat. Membuat Anya tertawa walaupun dia juga mengeluarkan air mata.
“Kalau kau pulang dengan membawa anak, akan kubunuh suami mu!” Ayah mengatakan itu dengan sangat keras saat pesawat yang mau ditumpangi Anya dijadwalkan akan berangkat.
Wajah Anya merona merah saat itu. Membuat Ayah berpikir negative. “Jangan-jangan kau…”
“Apa yang Ayah pikirkan?!” Anya berteriak kencang juga. “Aku akan pulang dengan membawa calon suami. Bukan anak dan suami. Aku akan menikah setelah Ayah menyetujui pria pilihan ku. Akan ku kenalkan dia padamu sebelum menikah.” Sambung Anya masih dalam nada yang sama. “Jangan berpikir macam-macam lagi!” tambahnya hampir gila. Percuma aku menangis tadi. Batinnya.
From : Manager baru
Subject: jadwal baru
Anda sudah bangun, Kim Nam-Gil ssi?
Lansung saja,
Jadwal Anda hari ini,
7.00 – 08.45 : latihan vocal di studio 6 SA.
9.00 – 11.25 : pemotretan untuk majalah King edisi 17 di studio 5 SA.
Masih ada jeda 15 menit jeda sebelum kerjaan selanjutnya, Anda bisa istirahat sebentar.
Jadwal selanjutnya akan saya sampaikan setelah saya bertemu Kim Nam-Gil ssi di kantor.
-Anya-
Nam membaca e-mail di layar ponselnya dengan wajah biasanya lagi. “Dia memperhatikan setiap menit.” Gumamnya. Nam segera mengenakan kemeja berwarna ungu magenta dipadukan dengan jas hitam dan celana hitam. Dasinya berwarna biru abu-abu. Dia cukup mahir memakai dasi. Lama ia memandangi dirinya dalam cermin.
Kenapa harus ribet seperti ini? Pikirnya. Segera ia tanggalkan semua jas yang ia kenakan. Ia menarik keluar beberapa setelan kemeja dan baju santai yang tidak ketinggalan mode dari lemari bajunya. Setelah berkutat dengan pemikirannya tentang baju yang akan dikenakannya, ia menyerah dengan selera buruk yang selalu dia pilih.
Saat ia menggapai kaos lengan panjang berwarna hijau toska dan celana hitam sport miliknya, pemilik suara lantang yang dikenal Nam menampakan dirinya di sisi tempat tidur Nam.
“Kalau kau memilih itu, aku tidak akan berjalan dengan mu hari ini.” Rain, yang sudah lama memperhatikan sahabatnya berkutat dengan baju yang akan dikenakan, akhirnya berkomentar karena tidak tahan melihat teman super bebal dalam dunia fashionnya itu kebingungan.
Nam menoleh ke sumber suara. Dia tampak terkejut dengan kehadiran Rain di kamar apartmentnya. “Sejak kapan kau disana? Lewat mana kau datang?” pertanyaan Nam yang diajukan bukanlah itu. Melainkan sebuah pernyataan, “Kalau begitu kau bisa pergi duluan hari ini.” Kata Nam dengan nada biasa. Wajahnya datar melihat Rain yang dengan seenaknya tiduran di tempat tidur Nam.
Rain menyipitkan matanya yang sudah sipit. Hingga membentuk garis horizontal yang aneh. “Kau tidak asik!” katanya dengan mulut dimonyongkan. Melihat itu Nam tertawa kecil.
“Kalau aku tidak asik, kenapa selama ini kau terus menempel padaku?” tanya Nam penasaran. Akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan kaos putih lengan pendek dengan gambar menara Eiffel di bagian depan dan menara Tokyo di belakangnya. Dengan celana hitam berantai, serta rompi kulit berwarna hitam polos. Ia memakai sepatu boot untuk menambah gaya nya. rambutnya di wax sedikit karena perintah Rain setiap pagi.
“Karena hanya kau yang enak untuk diajak bertukar pikiran*dijahili*” kata Rain dengan senyum terkembang.
“Terserah apa katamu.” Nam akhirnya menyerah dengan fashion yang dipilihkan Rain untuknya.
6.45 a.m. Gedung SA. Lantai 2. Tempat para artis dan managernya berkumpul untuk membahas pekerjaan yang akan dilakukan.
Terlihat Nam berjalan berdampingan dengan Rain di sisi ruangan tunggu. Berjalan sambil meminum kopi hangat dari mesin penjual minuman otomatis di depan gedung.
Seorang gadis dengan perawakan sedang, mengenakan blus merah muda serta celana hitam, terlihat sangat cemas tapi setelah itu kembali tersenyum saat mengetahui Nam sedang berjalan di depannya, dengan tumpukan file di tangan kirinya dan buku catatan kecil di tangan kanannya, ia segera menghampiri Nam.
“Annyeong haseyo!” sapanya dengan senyum ceria ke arah Nam. Rain merasa cemburu seketika. Kenapa dirinya tidak disapa juga? Ia memperhatikan.
“Kim Nam-Gil ssi sudah membaca e-mail dari saya? Apa anda sudah sarapan? Bagaimana kondisi anda pagi ini? Semuanya lancar? Apa anda..” pertanyaan Anya terpotong oleh suara erangan Rain.
“Aaarrgghhhh!!! Apa-apan sih?” Rain menaruh tangannya di antara Nam dan juga Anya. Membelah layaknya pedang.
Anya baru menyadari siapa yang ada di samping Nam. “Eh, Rain ssi. Sejak kapan ada disini? Ah, Annyeong haseyo..” Anya membungkukkan badannya di depan Rain. Membuat Rain membelalakkan matanya tidak percaya. Kali ini tawa Nam tak terbantahkan, dia sudah tertawa sekarang. Membuat Anya yang ada di depannya bingung dan bertanya-tanya. Ada apa sih?
Latihan vokal yang dijalani Nam dan Rain berjalan dengan semestinya, dan tanpa gangguan apapun. Anya menghilang sebentar selama Nam latihan. Mungkin dia menemui orang-orang yang terkait dengan jadwalnya hari ini. Setelah muncul lagi, Anya dengan setia menunggu Nam di tempat duduk di depan ruang vokal. Nam bisa melihatnya sibuk dengan catatannya dari dalam ruangan ini.
Ruangan latihan vokal ini tergolong sederhana juga. Mungkin Direktur sangat ingin menampakkan kesan nyaman daripada mewah. Rain betah berlama-lama di ruang latihan, karena wanita incaran selanjutnya ada disini. Guru olah vokal. Berusia 45 tahun, tapi belum menikah dan belum terjamah sama sekali. Sekali Rain mengedipkan matanya, semua gadis, wanita bahkan nenek-nenek pasti menempel padanya. Tapi tidak dengan Anya. Rain sudah memasukkan Anya ke dalam daftar blacklist nya sekarang. Gadis tidak peka. Umpatnya.
Selama latihan, Rain selalu menebar feromon yang dia punya. Bahkan penata sound yang seorang pria pun terpesona melihatnya. Nam, dengan wajah serius selalu bilang padanya, “Hentikan, atau aku akan menyeretmu keluar!” tapi tidak di indahkan oleh Rain yang memang telinga bebal. Sudah berkali-kali Nam menyeret Rain keluar dari tempat yang dia datangi bersama. “Sebelum ada pertumpahan darah yang tidak diinginkan, lebih baik ku ungsikan dia dulu.” Nam selalu merasa Rain akan dalam bahaya jika sifat playboy tidak lepas dari dirinya. Kejadian naas pernah menimpa Rain saat sedang shooting film berjudul ‘A love to kill’ di sebuah pusat perbelanjaan, Myong-Dong. Dia sempat ditendang saat seorang pria kekar tidak terima gadisnya terpesona oleh ketampanan Rain saat itu. Hampir saja Rain kelepasan hendak memukul balik pria kekar itu, tapi Nam yang saat itu sedang ada di lokasi shootingnya –sifat manja Rain kumat, ia ingin Nam menemaninya alih-alih managernya, mencekal lengan Rain dan memelintirnya. Jika tidak begitu, Rain bisa membabi buta. Rain tenang setelah para staff mengusir pria kekar dan gadisnya itu keluar dari Myong-Dong.
“Dia sentimen padaku. Akan ku catat namanya dalam daftar blacklist ku.” Rain menggerutu tak tentu arah saat pemotretan sedang berlangsung. Kali ini, Nam masih dipasangkan dengan Rain untuk majalah King edisi 17. Mereka berdua memang double pair yang sedang digandrungi saat ini. Nam dengan kesan putih cemerlangnya, dan Rain dengan mata elangnya.
“Siapa?” Nam bertanya dengan posisi wajah menghadap ke atas. Saat ini gayanya sedang memandang ke langit luas dan memikirkan seseorang. Sedangkan Rain dengan wajah dinginya membuang muka dari arah depan.
“Manager barumu!” gerutunya lagi.
“Ada apa dengan dia?”
“Dia selalu tidak menyadari aku ada disekitarnya.” Kenang Rain. Nam tersenyum menandakan ia sedang jatuh cinta. Tapi gagal, karena Kang berteriak frustasi.
“Nam-Gil! Dimana Ekspresimu??!!” seru Kang. “Falling in love! You know? Falling in love! Aku ingin kau jatuh cinta!” tambah Kang hampir mencabuti rambutnya lagi, seperti yang dilakukan saat Rain juga sedang bengong saat pemotretan berlangsung.
Terlintas kejahilan yang menyerempet otak Rain. “Nam,” dia menatap mata Nam dengan sungguh-sungguh. “Lihat aku dan jatuh cinta lah!” Kata Rain dengan nada suara percaya diri yang tinggi.
Kang bersiap-siap mengambil gambar lagi. Kali ini ia pasrah dengan tindakan mereka berdua di depannya. Jika ada Rain, semuanya kacau. Tapi masih bisa dipasarkan, karena diluar dugaan, ekspresi yang keluar jauh lebih baik dari yang dia harapkan sebelumnya.
Sesaat Nam memang dengan mata lembut menatap Rain yang terlihat cantik di depannya –mereka mengganti kostum mereka dengan pakaian musim dingin. Walaupun sebenarnya mereka kepanasan. Tapi sejurus kemudian Nam langsung menekan perutnya dan muntah seketika, hanya muntah-muntah bohongan, sontak membuat wajah Rain menjadi berlipat-lipat. Dan itu membuat Nam tertawa lepas memandang orang di depannya yang cemberut hebat itu.
Ini dia! Ini dia! Teriak Kang dalam hati. Segera ia tekan push untuk mengambil gambar dua orang yang ada di depannya. Nam yang tertawa lepas dan Rain yang cemberut. Seperti layaknya sepasang kekasih yang sedang kencan. Ini dia! Ini dia!
Pemotretan selesai tepat waktu. Nam dan Rain sudah mengganti kostum mereka dengan baju nya semula. Saat keluar dari studio, ternyata Anya sudah ada di depan. Menunggu mereka keluar, lebih tepatnya menunggu Nam.
“Bagaimana pemotretannya? Berjalan dengan lancar? Apa Kim Nam-Gil ssi mengalami kesulitan dengan ini? Jika memang ada, tolong beri tahu kepada saya. Saya akan berusaha menangani semuanya.” Anya mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Membuat Nam menepuk kepala Anya dengan pelan. Rain yang menyaksikan itu langsung mengeluarkan notes nya dan menulis sesuatu disana.
“Jangan keluarkan deathnote. Ryuk tidak akan datang karena kau bukan Kira yang dia maksud.” Seorang gadis dengan perawakan kecil dan rambut bergelombang, diikat menyerupai panda –ada dua benjolan di atas kepalanya dan tergerai dibagian bawahnya, bicara tepat di sebelah Rain. Menatap tulisan Rain di notes yang bersampul hitam itu.
“Kim Anya.” Baca gadis itu.
Rain menutup notes nya dan melototkan matanya ke arah gadis di sampingnya. “Diam kau, Hye-Gyo!” Song Hye-Gyo. Gadis yang pernah bermain drama bersamanya itu hanya cekikikan. Nam yang mendengar nama manager barunya telah ditulis di buku ‘antik’ yang dimiliki Rain, menatap Rain dengan pandangan membunuh. Sedangkan yang bersangkutan, hanya bisa menelengkan kepalanya karena tidak mengerti.
“Kau Kim Anya?” Hye-Gyo menatap Anya dengan ramah. Ia menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Anya. Anya pun menyambutnya. “Song Hye-Gyo. Senang berkenalan dengan mu.” Katanya tulus.
Anya mengangguk, “Kim Anya. Annyeong haseyo.”
Rain merasa dirinya dicuekin lagi. Segera ia melepaskan jabatan tangan antara Hye-Gyo dan Anya. “Kita pergi.” Katanya segera setelah menarik tangan Nam dan Anya, meninggalkan Hye-Gyo yang tersenyum sinis ke arah Rain.
“Dia selalu saja begitu.” Gerutu Hye-Gyo.
Nam menarik tangannya dan menarik tangan Anya dari tangan Rain. “Apa-apaan sih?” Nam merasa managernya terancam. Ia menyembunyikan Anya di balik badannya. Anya merasa senang saat itu.
“Gadis itu berbahaya.” Rain berusaha meyakinkan Nam dan Anya bahwa gadis bernama Song Hye-Gyo itu memang gadis yang berbahaya. Nam hendak membantah omongan Rain,
“Anda yang berbahaya!!” Anya sudah ada di depan Rain sekarang. Menunjuk wajah Rain dengan jari telunjuknya dan dengan wajah geram luar biasa. Tapi sejurus kemudian, dia langsung sadar akan tindakan nya yang spontan itu salah. Anya membungkukkan badannya berkali-kali meminta maaf kepada Rain yang wajahnya berubah jadi merah padam. Nam tidak bisa menyembunyikan tawanya. Dia tertawa dengan keras sekali.
“Aku benci padanya.” Rain dengan wajah manja sudah ada di balik selimut di atas tempat tidur Nam malam ini. Nam yang sedang berganti pakaian hanya bisa mendengus geli. Wajah Rain sangat parah. Baru pertama kali dalam hidupnya selama ini, wajah sempurnanya ditunjuk dengan galak tempo hari.
Nam ingat dengan jelas, bagaimana kerasnya perjuangan Anya untuk meminta maaf kepada Rain selama beberapa hari terakhir ini. Selama di SA, Anya tak henti-hentinya membungkukkan badan kepada Rain, meminta maaf dengan tulus. Tapi Rain tetap tidak menggubris permintaan maaf Anya. Sampai sekarang, Rain tetap menghindari Anya.
“Kau membencinya?” Nam duduk di sisi tempat tidurnya,
Rain yang sekarang berubah posisi, dia membungkus badannya dengan selimut sampai ke kepalanya. Sehingga hanya sebuah karung besar berwarna putih yang terlihat terbungkus di atas tempat tidur. “Sangat.” Jawabnya singkat.
“Kau tidak akan membencinya,” kata Nam penuh percaya diri dalam nada suaranya.
Rain menyingkap selimut dari kepalanya, gerah juga lama-lama. “Mo?”
Mata Nam lurus menatap Rain sekarang. Dengan wajah penuh keyakinan dia menjawab, “Tidak akan pernah.”
“Terserah apa katamu. Aku tetap membencinya.” Rain kembali menutup kepalanya dan memonopoli tempat tidur Nam.
“Hahahahaha,” Nam tertawa dan berjalan menuju sofa di dekat teve set nya. “Lalu siapa yang bilang, ‘dia berbeda’ waktu pertama kali melihatnya dulu? Dan siapa yang berusaha keras menghindari seorang gadis tapi tetap tak bisa melepaskan matanya dari gadis itu selama seminggu ini?”
Rain melempar bantal ke arah Nam yang duduk tak jauh darinya. “Aku tidak seperti itu!” protes Rain sebal, yang disambut tawa Nam.
“Hentikan tertawa mu yang menjengkelkan itu sekarang juga, Nam!” kali ini Rain melemparkan guling yang dipegangnya. Alih-alih mengenai Nam, guling itu meluncur dengan gaya bebas ke arah lantai. Membuat Nam tertawa tanpa henti.
“Seharusnya kau melihat wajah mu sekarang. Betapa imut nya wajah merajukmu itu. Sudah berapa tahun kau tidak menampakkannya lagi?” Nam berjalan mengambil bantal dan guling korban pelemparan Rain.
Rain duduk sambil memelintir rambut depannya dengan tampang cemberut. Nam ikut duduk di sampingnya.
“Tampak dengan jelas kau menyukainya, Rain.” Kata Nam pelan sambil meletakkan para korban pelemparan ketempatnya semula.
Rain menatap Nam tak percaya, seakan Nam itu makhluk luar angkasa yang mengatakan dirinya adalah manusia tembus pandang. “Tahu apa kau tentang aku?”
Nam menarik selimutnya yang kini diremas-remas Rain dengan perasaan jengkel. “Kau pikir sudah berapa tahun kau hidup bersama ku?” Nam menarik Rain untuk turun dari tempat tidur. “Keluar! Aku mau tidur.” Katanya. Rain merasa terusir, dia tetap saja menyesak di samping Nam yang sudah terbaring di tempat tidurnya.
“Kau membuat ku kepanasan. Pergi sana ke apartment mu sendiri!” Nam menarik selimutnya untuk menutupi badannya. Rain tak mau kalah, ia juga menarik-narik selimut Nam untuk menutupi dirinya.
“Tidak mau! Ibu ku disana.” Katanya setengah putus asa.
“Jangan kabur dari beliau donk!” Nam menarik selimutnya lagi.
“Aku tidak kabur. Ibu yang selalu mengejarku.” Rain putus asa, tapi ide jahil mengisi otak nya lagi. Segera ia memeluk Nam dan tidur di sampingnya dengan selimut membalut dirinya juga. Malam ini lumayan dingin.
Nam tak bisa mengelak. Seperti inilah Rain jika sedang kumat. Nam membuang napas panjang. “Pada akhirnya kau pun juga sudah menyukainya.”
“Jangan terlalu berharap.” Kata Rain dalam mata tertutupnya.
“Aku tidak berharap. Tapi itulah kenyataan. Aku pun juga sama.” Nam pun terlelap dalam tidurnya.
=================
Owariiiiiiiiiiiii
cupe bunget!!
buat Ana, gomen ea telat bget.. pe q bilang tiap tgl 1 ru klar nih fanfic..
bis'a mw gmna lgi,, sbuk bget sih.. *dtimpuk Ana*
kehkehkehkeh
hope you like it..
untuk chapter slanjutnya, q ushain 2mnggu lgi..
otak q kdang agak mampet sih..
^kbanyakan mikirin Yamada Ryosuke^ *PLAKK//
jdi mentok2'a y k Ryosuke seorang..
wkwkwkwkwkwkwk
Saigo ni,,
buat pembaca, thx uda mw ssah2 bca dan nunggu nih fanfic lgi..
gomen ea telat..
*ojigi di depan semua
ayu : hontou ni gomen.. soshite,, hontou ni arigato na.. \^o^/
Ja ne!
ayu deshita!
\^o^/
Subscribe to:
Posts (Atom)