23 Desember 2014
Korea tertutup oleh salju musim dingin awal di bulan Desember ini. Semuanya tertutup oleh selimut putih yang menyenangkan mata. Musim dingin adalah musim dimana semua rutinitas sehari-hari terhambat dengan udara dingin yang menggerogoti tulang. Tak terkecuali oleh para artis di SA. Semuanya memakai mantel yang sangat tebal sekarang. Terlihat Lee Min-Ho yang memakai topi rajutan hitam dan mantel tebal berwarna hitam juga, memasuki SA dengan terburu-buru. Pemain muda yang sedang naik daun di bulan ini, Lee Hong-Ki pun sama. Dia lebih memilih berlari untuk memasuki SA. Gadis cantik yang bernama Yoon En-Hye tidak kalah kedinginannya. Dia memakai mantel bulu di atas mantel bulunya. Dia berjalan santai dengan didampingi oleh managernya, Go Min-Hyu. Serta artis-artis lain yang mulai berdatangan hari ini.
Terlihat Anya sedang terburu-buru memasuki SA. Di kedua tangannya terdapat file-file yang harus ia serahkan hari ini kepada Direktur Park. Mengenai tugas-tugasnya yang sudah diselesaikannya dengan baik dan memuaskan. Dia harus melapor sedetil mungkin kepada atasannya.
Anya masuk SA dan terburu-buru memasuki lift. Ia segera menekan tombol 5 di dinding dalam lift. Hanya ada dia sendiri di dalam lift. Ia melihat sekilas jam tangan yang ada di tangan kirinya. 07.00. Perfect! Teriaknya dalam hati.
Hari ini sudah bulan ke-5 ia bekerja sebagai manager Kim Nam-Gil. Dalam kerjanya, Nam tak pernah mengeluh akan dirinya. Itu yang membuatnya bertahan sampai sekarang. Direktur Park pun sudah mengacungkan ibu jarinya kepada Anya. Membuat Anya tersenyum saat melihatnya beberapa hari yang lalu. Ia sudah diaku sebagai manager Kim Nam-Gil.
Tring.. pintu lift terbuka di lantai 5. Segera ia keluar dan menuju ruangan Direktur Park, tak lupa tersenyum ramah ke arah sekretaris Jun, yang disambut senyuman ramah juga dari sekretaris Jun.
============
“Rain, kau serius?” Direktur Park berwajah tak percaya yang ditunjukkan kepada lawan bicaranya yang sedang duduk di depannya, Rain, di dalam ruang kerjanya.
“Saya sangat serius.” Rain mengangguk mantap.
“Tapi, ini benar-benar bukan kau.” Direktur Park mencoba mengatakan pada Rain, bahwa keputusannya harus ditimbang kembali.
“Saya akan melakukannya, Direktur.” Rain memandang Direktur Park dengan wajah yang tak terbantahkan sekarang. Direktur Park mendesah. Dia kalah berdebat dengan Rain. Selalu saja kalah.
“Apa Manager mu tahu akan hal ini?” usaha terakhir Direktur Park untuk menggoyahkan tekad Rain.
“Dengan atau tanpa persetujuan dari Manager saya, saya akan tetap melakukannya.” Usaha terakhir yang dikerahkan Direktur Park, gagal.
“Baiklah kalau begitu. Akan ku urus semuanya dengan Manager mu.” Direktur Park menulis sesuatu di dalam dokumennya yang bertuliskan Rain.
============
Tok.. tok.. tok..
Pintu ruangan diketuk dengan lembut, membuat Direktur Park tidak menghentikan aksinya menulis sesuatu di dokumennya dan Rain, dia bergeming dari duduknya.
“Masuk!” Direktur Park bereaksi seperti biasa.
Anya memasuki ruangan dengan wajah cerahnya, tapi berubah mengatupkan mulutnya saat tahu ada siapa di dalam sana. Rain.
“Annyeong haseyo.” Anya menyapa dengan sopan dan menutup pintu kembali. Segera ia berjalan ke arah Direktur Park.
“Annyeong. Silakan duduk.” Direktur Park mempersilakan manager muda itu duduk di satu-satunya kursi kosong di samping Rain. Anya mengangguk dan segera duduk. Ia melirik sekilas Rain yang ada disampingnya.
Eh? Auranya?
Anya memandang ke depan lagi. Ia menelan ludahnya. Ada apa dengan Rain? Wajahnya begitu tegang. Tak seperti Rain yang selalu berwajah jahil. Ada apa sebenarnya?
“Bagaimana Anya?” Direktur Park menghentikan lamunan Anya.
Anya gelagapan tapi tetap bisa menguasai diri dengan sempurnya. “Semua file sudah saya kerjakan sesuai perintah Direktur. Silakan diperiksa.” Anya menyodorkan file-file yang ada di tangannya kepada Direktur Park.
Direktur Park menelitinya satu persatu. Tidak lama. Hanya sekitar 5 menit jeda yang diberikan Direktur Park untuk Anya memutar otaknya lagi. Rain? Kenapa dengan dia? Wajah serius seperti ini, baru kulihat sekali sejak mengenalnya. Mengesampingkan marahnya pada ku. Ada apa sebenarnya? Anya terus memutar otaknya. Dia bertekad akan menanyakan langsung pada Rain. Tapi segera ia urungkan tekad bulat itu. Lebih baik bertanya pada Nam saja. Putus Anya sambil mengangguk-angguk tidak jelas.
“Kerja bagus, Anya!” pujian Direktur Park membuyarkan lamunan Anya. Anya tersenyum menutupi kekagetannya lagi.
“Kamsa hamnida.” Katanya tulus.
Direktur Park merasa ingin menyelesaikan masalahnya dengan Rain hari ini juga, ia melihat Anya. “Baiklah Anya, segera lanjutkan pekerjaanmu hari ini.” Kata Direktur Park.
Anya mengangguk canggung, merasa terusir. “Baik, Direktur. Permisi.” Kata Anya mengundurkan diri dari pembicaraan. Anya keluar ruangan setelah membungkuk hormat kepada 2 orang yang ada di ruangan. Anya menutup pintu di belakangnya saat berada di luar ruangan.
“Haaaahhhh.....” Anya membuang napas dengan perasaan berkecamuk.
Ada yang menepuk kepalanya pelan dari arah belakang. Pukk. “Kenapa membuang napas seperti itu?” Nam yang berjalan di belakang Anya menyondongkan badannya agar setara dengan tinggi badan Anya.
Anya terkejut bukan main. Wajah Nam hanya 5 cm dari wajah Anya tadi. “Bukan apa-apa.” Anya merasa wajahnya kini memanas. Nam melihat itu.
“Wajahmu memerah.” Nam menempelkan telapak tangannya ke kening Anya. “Demam kah?” tanya Nam lebih-lebih pada dirinya sendiri. Anya merasakan dingin tangan Nam menetralkan panas di wajahnya.
Anya segera menurunkan tangan Nam dari keningnya. “Ani yo!” Anya gugup. “Saya tidak sakit.” Katanya menjelaskan.
Nam hanya tersenyum melihat manager nya yang ini. “Kalau kau sakit, beritahu aku dan jangan memaksakan diri.” Kata Nam sambil berjalan di samping Anya lagi.
“Yang seharusnya mengatakan itu kan saya. Bukan Anda.” Anya protes. Bukannya marah, Nam benar-benar tersenyum sekarang.
“Baik, Bu manager.” Nam membungkukkan badan di depan Anya. Anya melotot karena terkejut.
Plokk! Sebuah pukulan dari tumpukan file yang berjumlah 10 lembar mendarat di punggung Nam. Membuat laki-laki itu menegakkan badannya lagi dan mengelus punggungnya.
“Sakit.” Katanya sambil meringis.
“Anda terlalu berlebihan, Kim Nam-Gil ssi.” Anya yang tadi memukul pelan Nam, melenggangkan kakinya meninggalkan Nam dengan wajah cemberut. Nam mengejarnya.
Di studio pemotretan.
Kang mengabsen para artisnya yang punya jadwal pemotretan hari ini bersamanya. Ada 12 nama di file miliknya. Nama Rain dan juga Kim Nam-Gil juga ada disana. Ya, mereka pemotretan bersama lagi hari ini. Pasaran mereka semakin lama semakin laku terjual. Kang sampai bersyukur dengan itu.
“Jang Geun-Suk!” panggil Kang kepada salah satu artis yang akan dipotretnya. “Dimana Lee?” tanya Kang.
Pemuda yang tadi dipanggil Jang Geun-Suk menggelengkan kepala. Kang menghela napas berat. Dia lagi. Batinnya.
Tepukan keras mendarat di punggung Kang, membuat photograper itu terlonjak. “Mencariku?” tanya pemuda berambut pirang dan memakai baju merah serta celana dan sepatu boot. Dia baru saja masuk ruangan dan segera menghampiri Kang.
“Dasar bocah!” umpat Kang saat terkejut dan mendapati siapa yang mengejutkannya itu. Lee Hong-Ki. “Kau telat!” sembur Kang sambil mengayun-ayunkan file jadwal di depan Lee.
Lee memperlihatkan jam tangannya dan menunjuknya. “Hanya 2 menit 10 detik, kan.” Katanya membela diri.
“Tetap saja telat.” Kang tidak mau kalah.
“Aku tepat waktu kok. Buktinya pemotretan belum dimulai.” Lee mengatakan pembelaannya setelah mengambil duduk di dekat Rain.
“Waktu kumpul kan jam 10 pagi!” Kang berusaha mengingatkan.
“Aku sudah ada disini sebelum jam 10 pagi.” Lee juga berusaha memberitahu Kang.
“Lantas, kenapa tidak segera masuk kemari?” Kang merasa frustasi dengan artisnya yang satu ini.
“10 menit lalu aku kemari. Dan belum ada yang datang. Aku hanya ke kamar kecil untuk membuang sesuatu. Dan tanpa melihat jam, aku langsung datang kemari karena perasaanku tidak enak.” Lee menjelaskan dengan wajah tanpa dosa.
“Tidak enak? Apa maksudmu?”
“Hanya merasakan aura orang tua yang ingin meledak.” Lee menatap Kang dengan wajah yang disendukan.
“Kau...” tak mampu meneruskan kata-katanya, Kang menyerah berdebat dengan Lee.
Anya yang melihat kejadian itu secara langsung, berusaha menutupi tawanya. Saat ini Anya ikut masuk ke studio. Tidak ada kerjaan lain yang harus ia lakukan di luar ruangan.
Nam melihat managernya yang berusaha keras menahan tawanya, membuat dia tersenyum. Rain memperhatikan. Aku rindu padanya. Kata Rain dalam hati. Matanya terus menatap sosok Anya yang sedang berdiri di samping pintu masuk. Dasar perempuan! Katanya lagi. Kali ini ia pun tersenyum sambil memandang ke bawah.
Lee menyenggol Rain dan berbisik. “Ssst.. Hyong, apa semuanya berjalan lancar?”
“Apanya?” Rain balas bertanya dengan berbisik juga.
“Itu!” Lee menoleh ke sumber yang sedang tersenyum di samping Geun-Suk, Nam.
“Mungkin.” Jawab Rain asal.
“Apanya yang mungkin?” Lee merasa Rain belum mengatakan apa-apa kepada Nam tentang kepergiannya. “Jangan-jangan Hyong belum mengatakannya dengan Nam-Gil son-bae, ya?” tebakan jitu.
Rain menggeleng. Lee bangkit dari duduknya, membuat Kang terkejut lagi dan memijit-mijit kepalanya. “Ada apa Lee?” tanya Kang merasa terganggu saat dia sedang mengabsen.
Lee sadar, dia menggeleng cepat sambil melihat Kang. “Nothing.” Kata Lee yang segera duduk lagi. Rain ikut menggeleng karena merasa sangat menyesal punya adik kelas yang seperti Lee.
“Kenapa?” tanya Lee dengan berbisik lagi.
“Kurasa, dia sudah tak membutuhkanku.” Jawab Rain dengan mudahnya.
“Perasaan hyong salah. Nam-Gil son-bae membutuhkan hyong lebih dari dirinya sendiri.” Lee mencoba membangkitkan kepercayaan diri Rain yang sedang rontok.
Rain tersenyum kecut. “Hahaha. Semoga saja.”
Pemotretan berlangsung dengan tidak adanya canda tawa Rain yang seperti biasa mengisi hari-hari dimana ia sedang ada jadwal bersama Kang. Kang merasa ada yang kurang. Berkali-kali ia memutar otaknya. Tidak bersuara, membuatku sulit berkonsentrasi. Kang merasakan hal itu. Tidak hanya Kang, semua orang yang ada di studio pun merasakan hal yang sama. Rain aneh.
Anya, memutuskan keluar dari ruang studio. Karena tidak ada jadwal, dia bebas kemana saja selama 2 jam –pemotretan berlangsung selama 3 jam.
Anya berjalan menyusuri koridor ruangan yang ada di gedung. Dia memutuskan untuk keluar dari gedung SA. Berjalan perlahan sambil menggumamkan kata, “Coklat”, sepanjang perjalanan.
“Harus cari coklat.” Kata Anya sambil berjalan mencari supermarket terdekat.
Happy Supermarket. Nama ini terdengar norak. Anya mencuatkan senyumnya. “Norak.” Komentar Anya saat membaca nama supermarket yang dia temui pertama kali di jalan tak jauh dari SA. Anya masuk ke dalam supermarket, mencari etalase makanan kecil.
“Annyeong haseyo!” sapa pelayan yang ada di dalam supermarket saat mengetahui Anya masuk. Anya merasa harus hormat juga, ia membungkukkan badan sekilas untuk menjawab sapaan tadi.
Anya berjalan melewati beberapa etalase. Bumbu dapur, alat-alat mencuci, mie instan, jus kaleng, minuman mineral, makanan ringan, sayuran, buah..
“Dimana???” Anya sempat frustasi karena tidak menemukan coklat yang dia inginkan.
Seorang pelayan yang sedari tadi memperhatikan Anya mencoba menyapanya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya pelayan itu ramah.
Anya sempat terkejut dengan suara yang tiba-tiba ada di belakangnya. Ia tersenyum dan mengangguk. “Coklat?”
“Coklat ada di sebelah etalase minuman mineral. Ada etalase sendiri untuk cokelat. Silakan ke etalase nomor 4 di sebelah sana.” Pelayan itu mengatakan dengan ramah dan menunjukkan jalan menuju etalase yang dimaksud. Anya tersenyum lebar dan berkali-kali membungkuk berterima kasih.
Anya berjalan cepat menuju etalase yang dimaksud. Setelah sampai di etalase nomor 4,
“Hwaaaaa~~~!!” Anya terperengarah karena melihat pemandangan yang sangat luar biasa di depannya. Etalase khusus coklat. Semuanya coklat. Dari berbagai merk. Semuanya ada.
Pantas saja ‘Happy Supermarket’. Batin Anya.
“Hm, yang mana ya?” Anya menimang-nimang pemikirannya. Harus memberinya apa? Coklat mana yang dia suka? Pertanyaan-pertanyaan kembali menghinggapi pikiran Anya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” lagi-lagi seorang pelayan yang sejak tadi tidak diketahui Anya keberadaannya mengagetkan Anya dari belakang.
“Ah,,” Anya mencoba mencari perkataan yang sederhana untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan,
“Coklat untuk pacar?” pelayan itu mencoba menebak.
“Ani mida!” Anya menjawab ‘bukan’ dengan cepat, membuat pelayan itu tersenyum. Melihat senyuman pelayan itu, wajah Anya memerah.
“Anu, hanya coklat untuk meminta maaf.” Anya mengatakannya dengan menundukkan kepala. Ia malu mengatakannya.
“Sebelah sini,” diluar dugaan, pelayan itu langsung menunjukkan jalan menuju tempat cokelat yang dimaksudkan Anya.
Di etalase yang sama, tetapi berbeda bentuk isinya. Coklat yang berukuran 2x2 cm yang dibungkus membentuk persegi dengan ukuran 10x10 cm. Ditengahnya terdapat huruf alfabet yang bisa dibaca ‘sorry’. Mata Anya membelalak.
“Hal seperti ini dijual di pasaran??” pertanyaan keras di batin Anya.
“Bagaimana rasanya?” Anya bertanya karena penasaran. Bentuknya unik dengan warna coklat serta putih, bercampur. Untung tidak pink.
“Coklat ini terbuat dari coklat asli swiss. Layaknya coklat delfi. Rasanya pun sama. Memang ini dari merk delfi.” Jelas pelayan itu.
Anya manggut-manggut. Pelayan itu menunjukkan berbagai variasi coklat tanda maaf kepada Anya. Anya mengikuti pelayan itu dari belakang.
“Ini coklat dari cadburry. Berbentuk hati dan terdapat kata ‘sorry’ di bagian tengahnya.” Pelayan itu merekomendasikan coklat imut itu, dengan ukuran 5x5 cm, yang langsung ditepis Anya dengan kibasan tangan menandakan, “Jangan yang itu.”
Pelayan itu mengangguk dan berjalan lagi. “Ini dari vanhouten. Berbentuk bola sepak dan bertuliskan ‘sorry’.” Anya berpikir, sepertinya Rain tidak penggemar bola sepak.. Anya menggeleng.
Pelayan itu mengangguk lagi. Dan menunjukkan berbagai jenis coklat kepada Anya. Tidak ada yang cocok. Pelayan itu hampir menyerah merekomendasikan coklat yang menjadi produk andalannya. Anya berpikir lagi dan lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengambil coklat delfi pertama yang dilihatnya. Berbentuk unik. Banyak bentuk di kotak yang berukuran 10x10 cm itu. Dari bentuk bintang sampai wajah. Anya juga mengambil coklat biasa dari etalase untuk dirinya sendiri dan juga untuk Nam. Sekalian saja. Begitu pikirnya.
Anya berjalan menuju kasir untuk membayar coklat yang ia ambil dari etalase. Kasir segera menghitung harga belanjaan dari Anya.
“Semuanya 50.000 won.” Kata kasir di balik mejanya. Anya mengangguk dan segera mengambil dompet di dalam tasnya, kemudian menyerahkan uang dan segera keluar dari supermarket.
Anya berlari sambil memeluk tas kertas yang berisi barang belanjaannya, coklat, menuju gedung SA. Dengan wajah yang penuh dengan senyum, ia berjalan memasuki lift menuju ke ruang studio.
=========
Ruang studio terasa sangat dingin menusuk hari ini. Entah karena cuaca atau karena faktor lain. Rain yang pendiam, membuat semua orang yang ada di studio begidik kedinginan.
“Ada yang aneh dengan Rain.” Salah satu aktor bernama lengkap Kim Hyun-Joong terus mengawasi gerakan Rain di depan kamera.
“Kau benar Jun.” Lee Min-Ho sependapat.
Hyun yang merasa Min-Ho salah panggil memandangnya tak percaya. “Kau melupakan namaku yang pernah bermain drama bersamamu ya, Min-Ho?”
Min-Ho menghadap Hyun sekarang, memicingkan mata untuk mengingat bahwa ingatannya tidak salah. Kemudian ia menepuk keningnya sendiri. “Hyun-Joong! Maafkan aku.” Min-Ho membungkukkan badannya dari posisi duduk di atas sofa saat mengingat nama rekannya itu.
“Sudahlah.” Hyun memaklumi.
“Dia aneh.” Hyun mengawali pembicaraannya lagi. Lee Hong-Ki mengangguk setuju.
“Rain son-bae benar-benar sedang tahap dilema.” Kata Lee tanpa jeda anggukan setuju di kepalanya sendiri.
“Kau pasti tahu sesuatu kan, Hong-Ki?!” Nam yang tiba-tiba muncul di samping Lee membuat Hyun dan juga Min-Ho terlonjak kaget.
Lee memasang wajah polosnya lagi. “Aku tidak tahu apa-apa Nam-Gil son-bae.” Katanya dengan wajah memelas.
Nam jengkel dengan wajah itu. dipukulnya pelan kepala Lee, membuat Lee merasakan kemarahan son-bae yang dibanggakannya. Air mata Lee meleleh. “Maafkan aku, Nam-Gil son-bae. Aku sudah berjanji dengan Rain hyong untuk tidak mengatakan apa-apa pada Nam-Gil son-bae.” Kata Lee menjelaskan.
“Katakan padaku!” Nam memerintah Lee dengan wajah tersenyumnya.
Lee menarik napas dalam dan segera menceritakan yang sebenarnya kepada Nam. Senyuman Nam merupakan maut bagi orang di sekitarnya.
Nam berdiri dari duduknya dan segera berjalan cepat ke arah Rain yang sedang berpose sexy di depan kamera Kang. Segera ia tarik kerah baju Rain tanpa mempedulikan para juniornya maupun Kang yang berteriak marah kepada Nam.
Nam melemparkan pandangan membunuh ke arah siapa pun yang mau menghentikannya. Segera ia menarik Rain keluar dari studio. Sebelum sampai di pintu ia berbalik dan menatap Kang.
“Lanjutkan pemotretan. Aku ada urusan dengan Rain.” Kata Nam yang langsung membuat Kang mengangguk mengerti. Para junior yang awalnya merasa kurang nyaman pun disuruh Kang untuk bersikap biasa saja.
“Anggap saja kalian tidak melihat apa pun.” Kata Kang kepada seluruh aktor yang ada di ruang studio miliknya.
Semuanya mengangguk setuju.
===========
Nam melepaskan cengkraman di kerah baju milik Rain. Mereka sedang berada di koridor dekat ruangan yang hanya ada kostum disana. Nam menatap marah ke arah Rain saat ini. Dia merasa di nomor sekiankan oleh orang yang benar-benar sudah dianggapnya saudaranya ini.
“Katakan!” Nam mengawali percakapannya, menatap Rain dengan serius. Rain bergeming dan tidak mengatakan apa pun.
Nam meraih kerah baju milik Rain lagi. “Kau pikir aku siapa, hah?!” Nam berteriak marah.
Rain melepaskan cengkraman di kerah bajunya dengan perlahan. “Nam, aku hanya pergi untuk jangka waktu 3 tahun. Tidak lebih.” Kata Rain dengan suara menenangkan kakak nya itu.
Nam merasa benar-benar kalut sekarang. “Bukan masalah jangka waktu, Rain.” Dia hampir frustasi sekarang, “Masalahnya ada di penyakitmu!” Rain menahan napas saat Nam dengan gamblang menyebut masalah itu.
Rain menepuk pelan bahu sahabatnya itu, membuat Nam sedikit melegakan hatinya. “Aku akan baik-baik saja.” Kata Rain sambil menyunggingkan senyuman ke arah Nam.
Usaha Rain gagal. “Tidak bisa! Aku ikut dengan mu!” kata Nam pada akhirnya.
“Untuk apa?” mata Rain membesar karena Nam mengatakannya dengan wajah serius yang lucu.
Nam mendengus, “Tidak akan ada yang tahan dengan mu yang keras kepala ini kecuali aku.”
Sebagai respon dari pernyataan Nam, Rain tertawa sampai terduduk di lantai. “HWAHAHAHAHAHAHAHA................”
“Apanya yang lucu?”
“Tidak ada.” Rain masih menyisakan tawanya. “Hwahahahahahahaha.....”
“Hentikan, Rain.”
“Hwahahahaha, tidak bisa dihentikan, hahahahahahahaha...”
Sebagai penghentian dari Nam, Nam membekap mulut Rain dengan tangan kanannya dan melingkarkan tangan lain ke leher Rain. Mereka berdua terlihat bergumul sekarang. Layaknya 2 anak kecil yang sedang bercanda.
Rain berusaha lepas dari pitingan Nam, sambil terus tertawa, Rain akhirnya lepas dari Nam.
“Kau tidak perlu ikut. Aku bisa sendiri.” Kata Rain kemudian.
“Tidak. Aku tetap ikut.” Kali ini Nam serius dengan ucapannya.
Rain menatap Nam dengan pandangan serius juga. “Penyakitku tidak akan kambuh dengan mudah di luar sana.”
“Tapi tetap saja,,”
“Tidak akan kambuh.” Rain menyela Nam.
“Jika 3 tahun, aku rasa,,”
“Jika aku menjaga diriku, tidak akan ada bedanya dengan orang sehat kebanyakan.” Rain mengatakan itu sambil memegang dadanya sendiri. “Kanker paru-paru bukan yang menentukan hidup dan mati ku.” Kata Rain dengan wajah serius. “Bukan kah sudah ku buktikan dengan hidup bersamamu selama 10 tahun ini?”
Nam kalah telak dengan omongan Rain. Dia benar, Rain tidak akan kambuh dengan mudah. Dia rajin ke dokter waktu ia terjangkit penyakit itu, dan mengikuti segala macam kemotherapy. Dan hasilnya memuaskan. Kankernya bisa ditekan. Dia sudah tidak apa-apa. Tapi tetap saja rasa khawatir menyerang batin Nam.
Rain menepuk pelan bahu Nam, tersenyum. “Kau terlalu berlebihan dengan kanker ku, Nam.”
Bruugghh!!
Suara benda jatuh tak jauh dari tempat Rain dan Nam berdiri sontak membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Mata Rain langsung melebar saat tahu siapa sosok yang ada di ujung sana. Dia lebih terkejut dengan barang bawaan orang itu dan ekspresi orang itu saat menatapnya. Tiba-tiba air mata orang itu jatuh, membuat semua dunia Rain jungkir balik.
“Anya?”
=============
Dengan perasaan lega, Anya kembali melangkahkan kakinya ke arah SA. Dia naik lift dengan perasaan senang sekarang. Di pelukannya sudah ada coklat untuk Nam dan juga Rain. Mereka butuh asupan gula saat bekerja keras seperti ini. Dengan riang gembira Anya keluar dari lift dan segera menuju ke arah studio. Dia akan berbelok ke arah ruang kostum saat mendengar orang sedang berbicara disana. Tanpa prasangka apa-apa dia terus berjalan dan mendapati Nam dan juga Rain sedang bercanda disana.
Anya mengembangkan senyumnya saat tahu dua orang yang sedang dinantinya sudah ada di depan mata. Tangan kanannya sudah terangkat hendak menyapa mereka berdua,
“Kau tidak perlu ikut. Aku bisa sendiri.” Rain bicara sambil bersandar ke dinding di belakangnya.
“Tidak. Aku tetap ikut.” Nam terlihat bersikeras membujuk Rain sekarang.
Rain menatap Nam. “Penyakitku tidak akan kambuh dengan mudah di luar sana.”
Eh? Penyakit? Batin Anya. Ia menurunkan tangannya dan mengurungkan niat untuk menyapa dua orang di depannya. Mereka belum menyadari kehadiran Anya disini.
“Tapi tetap saja,,” Nam terlihat ingin sekali menghentikan keinginan Rain.
“Tidak akan kambuh.” Rain menyela Nam.
“Jika 3 tahun, aku rasa,,”
“Jika aku menjaga diriku, tidak akan ada bedanya dengan orang sehat kebanyakan.” Rain mengatakan itu sambil memegang dadanya sendiri. “Kanker paru-paru bukan yang menentukan hidup dan mati ku.” Kata Rain dengan wajah serius. “Bukan kah sudah ku buktikan dengan hidup bersamamu selama 10 tahun ini?”
Bruuugghhh.....
Anya menjatuhkan barang yang ada di pelukannya tadi. Semua coklat yang dibelinya di Happy Supermarket berhamburan keluar kertas belanjaan. Ia menatap Rain tak percaya sekarang. Tatapannya saat ini tak bisa diartikan. Apa pendengarannya salah? Apa yang sedang Rain bicarakan tadi? Dia menyebutkan apa?
Tanpa terasa, air mata Anya sudah membasahi kedua pipinya. Ia menangis. Entah menangis karena apa, ia sendiri juga tidak mengerti. Yang ia tahu, ia merasa Tuhan tidak adil saja.
“Anya?” Rain dan Nam menyebutkan namanya secara bersamaan. Mereka terkejut melihat Anya berdiri disini. Mereka baru menyadari kehadirannya.
Anya bingung harus mengatakan apa. Harus berkomentar apa, tapi ia yakin, Rain tak butuh komentarnya. “Apa tadi benar?” sebagai ganti komentar, dia bertanya untuk meyakinkan diri sendiri juga.
Anya memandang Rain. Dengan langkah pelan, ia mendekatinya. Saat jarak mereka terpaut 2 meter, Anya berhenti dan mengulangi pertanyaannya lagi. “Apa tadi benar?”
Nam hendak mendekati Anya, tapi Rain mencegahnya. Terlihat Rain mengangguk dan menatap mata Anya dengan serius. “Benar.” Katanya. “Ada kanker disini.” Tambahnya sambil menunjuk dadanya, ke arah paru-paru miliknya.
Anya menahan napas saat itu, memandang ke arah dada Rain dengan pandangan kabur oleh air mata. “Oppa..” katanya lirih..
===================
OWARIIIII~~~~~~~~~~~
masi lanjut, tpi otak gex buntu.
cari inspirasi dbawah phon semangka.
*ngacir sambil bwa pulang semangka
buat Ana, thx buanget udah nunggu lagi..
jgn cape buat nunggu ea..
Sankyu!!
Saigo ni,
buat pra pmbaca, (yg ntah ada ntah g), hontou ni arigato na!
Ja ne!
Ayu deshita!
\^o^/
No comments:
Post a Comment